Ramadhan tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, karena tahun ini—pada saat yang bersamaan—kaum muslimin sedang diuji dengan wabah virus corona (COVID-19).

Di antara perbedaan itu adalah kaum muslimin dianjurkan (baca: diperintahkan) untuk tetap berada di rumah, atau menjalankan ibadah puasa Ramadhan beserta rangkaiannya dari rumah saja (Stay at Home).

Anjuran ini sebenarnya tidak semata-mata mengikuti regulasi pemerintah, atau mengikuti protokoler kesehatan, tetapi sebenarnya secara tidak langsung diperintahkan pula oleh agama Islam, baik tuntunan Al-Qur’an maupun hadits.

Ayat-ayat yang bisa dirujuk untuk masuk kepada persoalan ini adalah yang bertalian dengan perintah untuk mengikuti ulil amri (pemerintah). Maksudnya, perintah untuk tidak menjatuhkan diri ke dalam kebinasaan, perintah untuk tidak merugikan orang lain, perintah untuk berbuat kebaikan kepada orang lain, keringanan (rukhshah) dalam kondisi darurat, dan lain sebagainya.

Kajian ini akan menelaah anjuran Stay at Home melalui ayat yang bertalian dengan keringanan di masa darurat. Darurat adalah kondisi luar biasa yang mengharuskan orang-orang meninggalkan kebiasaan sehari-hari.

Dalam konteks ini, kedaruratan di masa pandemi COVID-19 ini sesungguhnya telah ditetapkan oleh Pemerintah dan MUI. Jadi, kita tidak perlu mempersoalkan lagi apakah pandemi ini menyebabkan kondisi darurat atau tidak.

Salah satu ayat yang berbicata tentang keringanan di masa darurat ini adalah firman Allah SWT:

“Siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al-Baqarah/2:185)

Kedaruratan yang ditunjukkan pada ayat ini adalah kondisi sakit atau dalam perjalanan sehingga yang mengalaminya merasa berat untuk menjalankan ibadah puasa.

Dalam redaksi wa man kana maridhan (siapa sakit atau dalam perjalanan), kata “man” (siapa) dalam Bahasa Arab merujuk kepada siapa saja, atau berlaku secara umum, apakah dia laki-laki atau perempuan, apakah dia penduduk kota atau penduduk kampung, bahkan—menurut sebagian ahli tafsir—apakah sakitnya berat atau sedang-sedang saja, dan lain sebagainya.

Jadi, sakit adalah kondisi darurat yang menyebabkan orang yang menderitanya mendapat keringanan. Dalam konteks ayat ini, ia boleh tidak berpuasa di saat sakit di bulan Ramadhan, tetapi harus menggantinya setelah Ramadhan.

Perhatikan ungkapan aw ala safarin (atau dalam perjalanan). Preposisi aw (artinya: atau) menunjukkan bahwa hukum orang yang sedang dalam perjalanan sama dengan orang yang sakit: Sama-sama dalam keadaan darurat sehingga ia boleh meninggalkan kewajiban berpuasa, tetapi—lagi-lagi—ia  harus menggantinya setelah Ramadhan.

Lalu redaksi ala safarin terdiri dari harf jarr dan majrur lah. Polanya berbeda dengan kata “maridhan” (polanya isim fa’il), meskipun kedua-duanya dihubungkan dengan harf ‘athaf.  Biasanya pola yang digunakan seharusnya “safiran” supaya sama dengan pola kata “maridhan”.

Ada rahasia makna di sana. Ungkapan “ala safarin” untuk memberikan makna bahwa keringanan diberikan bagi orang yang dalam perjalanan ketika ia sudah meninggalkan wilayah domisinya. Jadi, benar-benar sudah dalam perjalanan. Ia tidak boleh berbuka di saat masih di rumah, atau di saat sudah sampai di tempat tujuan.

Adapun ungkapan fa`iddatun min ayyamin ukhar (maka [wajiblah baginya berpuasa], sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain). Preposisi fa (maka) menunjukkan bahwa puasa yang ditinggalkan di bulan Ramadhan karena darurat, harus segara diganti begitu bulan Ramadhan usai. Tidak boleh ditunda-tunda. Bahkan, dalam aturan fiqih ada ketentuan denda bagi yang menunda-nunda.

Di masa pandemi COVID-19 sekarang ini, illat kedaruratan sebenarnya lebih sekedar sakit biasa, bahkan sakit yang menyebabkan kematian. Maka, di sinilah keringanan-keringanan yang Allah berikan kepada kita.

Namun, keringanan pandemi COVID-19 di masa ini bukan bertalian dengan kewajiban berpuasanya, tetapi bertalian dengan kewajiban atau kesunahan yang dilaksanakan di luar rumah, seperti shalat tarawih, shalat Jum`at, kewajiban menghadiri undangan, kewajiban mengurus jenazah, dan lain sebagainya.

Yuridullah bikum al-yusra wa la yuridu bikum al-usra (Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu). Di sana ada kata “yuridu”. Ini adalah bentuk fi`il mudhari. Di dalam gramatika bahasa Arab, fi`il ini menunjukkan ke-sekarang-an (hal) dan ke-akan datang-an (istiqbal).

Demikian ini menunjukkan bahwa kehendak Allah memberikan keringanan dalam masa darurat berlaku untuk seterusnya, dan ini merupakan mazhab keberagamaan Islam.

Begitu indah dan manusiawinya ajaran Islam, yang telah memberikan keringanan-keringanan di saat darurat. Beribadah di rumah di saat pandemi COVID-19 sesungguhnya bagian dari kemudahan ini. Kenapa kita harus menyulitkan diri jika Allah sudah memberikan keringanan kepada kita semua?

Demikian kajian tentang ibadah di rumah saja dalam pandangan Islam melalui tafsir Al-Qur’an.

Subhanallah, begitu dalam dan indah makna yang diperlihatkan ayat di atas. Wallahu a`lam bish-shawab. (mzn)

Tulisan ini disarikan dari Gerakan Peduli Bahasa Al-Quran.

Leave a Response