Tidak mungkin Al-Qur’an diam seribu bahasa mengenai cara menangkal wabah virus corona atau Covid-19. Toh Al-Qur’an sendiri secara keseluruhan merupakan obat (syifa’) bagi orang-orang yang beriman. Al-Qur’an pasti menawarkan penangkal. Bukan saja penangkal bagi penyakit lahir, bahkan penangkal segala penyakin batin. Tinggal persoalannya bagaimana kita menjadikannya sebagai obat.
Memahami kenyataan bahwa Al-Qur’an sebagai obat jangan dimaknai bahwa Kitab Suci ini menawarkan resep-resep sebagaimana yang diberikan oleh dokter. Namun, harus dipahami bahwa Kitab Suci ini memberikan isyarat-isyarat umum mengenai bagaimana cara menangkal penyakit, termasuk cara menangkal Covid-19.
Ada keyakinan bahwa membaca ayat-ayat Al-Qur’an sendiri, terutama ayat-ayat tentang doa, merupakan obat itu sendiri untuk menghilangkan setgala penyakit. Tentu keyakinan ini adalah upaya pengobatan secara spiritual. Meski ada pula riwayat yang menjelaskan bahwa ayat-ayat tertentu dijadikan Nabi sebagai bagian dari penyembuhan secara lahiriah.
Dalam posisinya sebagai kitab petunjuk (huda), Al-Qur’an—sebagaimana makna petunjuk pada umumnya—tidak merinci sesuatu yang bisa diselesaikan oleh akal pikiran manusia. Perinciannya boleh jadi diberikan oleh penjelasan Nabi, ijtihad para pakar, atau pemikiran para ahli. Dan justru inilah yang menjadikannya relevan untuk setiap zaman dan masa (shalihun li kulli makananin wa zamanin).
Ada banyak ayat yang bisa dirujuk sebagai petunjuk untuk menangkal Covid-19. Misalnya ayat tentang dahsyatnya doa, tentang menjaga kesehatan, tentang cara berinteraksi dengan sesama, tentang ketaatan kepada pemerintah. Lalu ayat tentang kesabaran dan ketawakalan, tentang menghindar dari kebinasaan, dan lain sebagainya. Semuanya berisi petunjuk-petunjuk tentang penangkal tersebut.
Di antara ayat yang memberikan petunjuk tentang bagaimana cara Al-Qur’an menangkal Covid-19 adalah firman Allah SWT.:
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al-Baqarah [2]:153)
Ayat ini diawali dengan huruf ya’ yang menunjukkan panggilan (nida). Dalam konteks ayat ini, panggilan atau sapaan ini sebagai ekspresi kasih sayang Allah kepada orang-orang yang dipanggilnya, yaitu kaum mukminin.
Sapaan seperti ini dalam berkomunikasi sangat penting karena setelah sapaan tersebut akan ada beban/perintah yang boleh jadi dianggap beban berat oleh mereka yang disapa. Beban/perintah pada ayat ini adalah memohon pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat.
Mereka yang disapa adalah kaum mukminin (al-ladzina amanu). Terjemahan ungkapan tersebut adalah “orang-orang yang beriman”. Redaksi yang dipakai bukan isim fa’il al-mu’minin, tetapi redaksi isim maushul berbentuk al-ladzina yang diikuti dengan fi`il madhi (amanu). Keberadaan fi`il madhi menunjukkan ketelah terjadian (hushul).
Pada ayat ini, yang disapa adalah orang-orang yang mana keimanan telah menancap dalam dadanya, baik yang tingkat keimanannya rendah, sedang, maupun tinggi. Yang disapa adalah kaum mukminin secara keseluruhan.
Isti`anah artinya memohon pertolongan. Pada ayat perintah memohon pertolongan dinyatakan dalam bentuk fi`il amr (kata kerja perintah) “ista’inu”, seakar dengan kata ‘awn (pertolongan) dan ma’unah. Bentuk ini memberikan pengertian bahwa hal tersebut merupakan kewajiban setiap individu yang tidak boleh ditinggalkan.
Untuk menangkal Covid-19, kita disuruh untuk memohon pertolongan kepada Allah dengan dua cara, yaitu sabar dan shalat (bi al-shabri wa al-shalah). Antara keduanya dirangkai oleh preposisi “dan” yang dalam gramatika Bahasa Arab memberikan arti penggabungan dalam waktu yang bersamaan. Artinya, kedua-duanya harus dijalankan secara berbarengan, bukan memilih salah satunya saja.
Kenapa dengan sabar dan shalat? Sabar adalah aktivitas batin, sedangkan shalat aktivitas lahir. Kita harus menangkal Covid-19 dengan usaha lahir dan batin. Sabar adalah simbol menata hati, sedangkan shalat adalah simbol menata tubuh.
Banyak penelitian yang menjelaskan bahwa kesembuhan banyak ditentukan pula oleh keyakinan hati bahwa dirinya bisa sembuh, bahwa Covid-19 dapat disembuhkan, bahwa seseorang mampu melawannya. Optimisme diri, kata para ahli, adalah pangkal penyembuh dari segala penyakit.
Bagaimana dengan shalat? Pembahasan tentang peran shalat dalam kesehatan fisik terlalu luas untuk ditulis di sini. Ada yang menarik, jika menghadapi persoalan yang rumit dan sulit, Nabi selalu bergegas untuk shalat.
“Wahai Bilal, kumandangkan azan untuk shalat, saya akan menenangkan diri dengan shalat.” Begitu beliau bersabda kepada Bilal.
Shalat dimaknai pula sebagai isyarat berobat secara fisik. Nah, berobat dengan cara ini perlu disampaikan bagi sebagian orang yang meyakini bahwa menangkal Covid-19 cukup hanya berdoa saja kepada Allah, cukup membaca Al-Qur’an saja. Tidak, mengobatinya harus dengan pendekatan batin (sabar) dan pendekatan lahir (shalat). Mari kita tangkal Covid-19 dengan kedua-duanya.
Demikian tafsir ayat Al-Qur’an tentang cara menangkal Covid-19 yang melanda seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Subhanallah. Begitu dalam dan indah makna yang diperlihatkan ayat di atas. Wallahu a`lam bish-shawab. (mzn)
Tulisan ini disarikan dari Gerakan Peduli Bahasa Al-Quran.