Di tengah pandemi Covid-19 ini, pemerintah mengeluarkan larangan yang tidak populis, yaitu larangan mudik. Sontak larangan terhadap tradisi yang menjadi rutin tahunan ini dilanggar di sana-sini. Dengan berbagai cara, ada sebagian masyarakat urban yang tetap memaksakannya.
Tindakan pelanggaran tersebut cukup berbahaya karena berpotensi menularkan virus ke kalangan keluarga dan tetangga-tetangga terdekat di kampong. Alih-alih membuat keluarganya senang dengan kedatangan kerabatnya dari kota, bahkan hal tersebut membuat mereka menderita.
Dalam agama, mematuhi larangan mudik tersebut bukan hanya persoalan mengikuti ulil amri (pemerintah), atau menghindarkan diri dari bahaya, tetapi persoalan memilih di antara dua pilihan yang saling bertolak belakang: Perintah bersilaturahim ke kerabat dan larangan memberikan mudarat kepada orang lain.
Pilihan yang seharusnya diambil adalah menahan diri untuk mudik dan menahan kerinduan sesaat terhadap keluarga demi keselamatan bersama. Kaidah beragama menyebutkan, “Menolak bahaya harus didahulukan daripada menarik kemaslahatan,” atau “Jika bertentangan antara bahaya dan kemaslahatan, maka dahulukanlah menolak bahaya.”
Bagaimana Al-Qur’an menanggapi persoalan ini? Ayat tentang keharaman arak dan judi, meskipun di dalamnya ada manfaatnya, dapat dijadikan petunjuk tentang kaidah-kaidah di atas. Allah SWT. berfirman:
“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya.” Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, “Kelebihan (dari apa yang diperlukan).” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 219)
Pada ayat ini dijelaskan bahwa arak dan judi mengandung dua hal yang saling bertentangan: Antara manfaat meminumnya dan bahaya meminumnya karena mendatangkan dosa. Demikian dengan judi. Kita ketahui bersama bahwa meminum khamar dan berjudi hukumnya haram.
Ini mirip dengan mudik di masa pandemi Covid-19. Di sana ada manfaat bersilaturahim, tetapi ada bahaya menyebabkan penularan. Sebagaimana khamar (arak) dilarang karena mendatangkan mudarat, maka demikian pula mudik di masa pandemi.
Kata ganti (dhamir) “kamu” (ka/anta) pada ungkapan “mereka bertanya kepadamu” (yas`alunaka) merujuk kepada Nabi Muhammad. Adapun yang bertanya adalah orang-orang di sekitar beliau.
Kenapa khamar dan judi ditanyakan? Sebab, keduanya sudah merupakan tradisi yang sudah turun-menurun. Mereka harus mengkonfirmasikannya kepada Nabi, sebagai simbol orang yang paling otoritatif menjustifikasi sesuatu apakah dibolehkan atau dilarang.
Ini sekaligus pembelajaran bagi orang-orang saat ini. Tatkala mereka berhadapan dengan persoalan keagamaan yang membingungkan, maka tanyakanlah kepada orang yang memiliki otoritas untuk menjawabnya. Jika pada saat itu orang tersebut adalah Nabi, maka saat ini adalah ulama-ulama yang kredibel, yang memiliki sanad keilmuan yang dapat dipertanggung-jawabkan.
Jawaban Nabi atas pertanyaan yang diajukan tersebut—yang redaksi jawabannya berasal dari wahyu itu—menarik untuk disimak. Nabi tidak langsung menjawab “haram” atau “dilarang”, tetapi beliau menyampaikan argumentasi pendahuluan sebelum pada jawaban “haram” atau “dilarang”.
Ini model jawaban yang perlu diiikuti oleh para ustad dan ulama saat ini. Perlu ada argumentasi-argumentasi pendahuluan sebelum menentukan kepastian hukum.
Untuk menjawab kenapa mudik di masa pandemi Covid-19 dilarang, tentunya perlu disampaikan argumentasi-argumentasi yang disesuaikan dengan kemampuan nalar masyarakat. Beragama itu harus dilandasi akal dan ilmu, bukan hanya bermodalkan semangat. Itulah kira-kira pesan yang ingin disampaikan di sini.
Berilah masyarakat sebuah argumentasi yang sederhana tetapi masuk akal kenapa mudik di masa pandemi Covid-19 dilarang. Termasuk di sana adalah berikan solusi keluar dari kesulitan tatkala mereka tidak mudik.
Tengoklah ujung ayat ini! “Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan.” Kata kuncinya adalah “agar kamu memikirkannya” atau “agar kamu berpikir”. Pikirkanlah tujuan beragama! Pikirkanlah bahwa agama itu menginginkan pemeluknya terhindar dari bahaya! Pikirkanlah bahwa agama mengajarkan bahwa ego demi memuskan diri sendiri harus dikalahkan demi kebaikan orang sebanyak-banyaknya!
Marilah kita taati untuk tidak mudik di masa pandemi Covid-19. Insya Allah itu adalah bagian dari pelaksanaan beragama yang benar, dengan landasan tidak membahyakan diri sendiri dan tidak menebarkan bahaya untuk orang lain. Mudah-mudahan Allah memberikan kemudahan bagi kita semua.
Demikian kajian Al-Qur’an tentang argumentasu tafsir tentang larang mudik yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia. Subhanallah. Begitu dalam dan indah makna yang diperlihatkan ayat di atas. Wallahu a`lam bish-shawab.