Al-Syifa binti Abdillah adalah termasuk ke dalam perempuan pertama yang masuk Islam. Ia adalah isteri dari Abu Khasmah. Ia juga turut serta berhijrah bersama Nabi Muhammad saw ke Madinah dan memberikan bai’atnya di sana.

Dikutip dari buku 25 Perempuan Teladan karya Umma Farida, sejak masa jahiliyah, ia sudah dikenal sebagai perempuan yang memiliki kemampuan tulis-menulis dan juga pengobatan. Setelah masuk Islam, kelebihannya ini membawa dampak yang signifikan dan dimanfaatkan untuk dakwah Islam.

Rasulullah saw pernah bersabda kepada al-Syifa, “Wahai Syifa, ajarkanlah kepada Hafshah mengobati penyakit sebagaimana engkau mengajarinya menulis.” Untuk mendukung aktifitasnya, bahkan Rasulullah saw menyediakan rumah untuk al-Syifa dan anak-anaknya.

Kepandaian al-Syifa dalam tulis-menulis sudah diperolehnya dari sebelum ia masuk Islam. Itu artinya, bisa dikatakan bahwa ia adalah guru pertama umat Islam dalam hal tulis-menulis. Yang menarik dari sosok guru pertama ini adalah fakta bahwa ia seorang perempuan. Padahal, saat itu status sosial sebagai perempuan dipandang sebelah mata. Budaya patriarki masyarakat Arab masih sangat dominan. Mereka tidak memberikan ruang yang sama bebasnya dengan laki-laki kepada perempuan.

Selain itu, budaya Arab saat itu juga tidak memandang penting keahlian dalam tulis-menulis. Sebaliknya, budaya yang berkembang memberi ruang yang dominan untuk menghafal. Kekuatan hafalan lebih prestisius dibandingkan baca-tulis. Oleh karena itu, al-Qur’an dengan revolusioner menurunkan ayat pertama dengan perintah membaca yang sangat bersebrangan dengan kebiasaan mayoritas masyarakat.

Di sinilah peran utama Al-Syifa dalam bidang literasi umat Islam. Jika kaum laki-laki sibuk dengan perdagangan atau bahkan peperangan, maka al-Syifa mewakili kaum perempuan menyalakan harapan untuk masa depan. Ia mengajarkan baca-tulis kepada umat Islam khususnya kaum perempuan. Sementara, membaca dan menulis adalah keahlian dasar untuk berkembangnya ilmu pengetahuan. Tanpa keahlian tersebut, masyarakat akan selamanya berada dalam kegelapan.

Al-Syifa tidak hanya piawai membaca dan menulis, tetapi ia juga ahli dalam bidang medis. Tentu ini menjadi nilai tambahan bagi kualitas al-Syifa di tengah masyarakat yang masih minim pendidikan. Ini sekaligus menjadi bukti bahwa al-Syifa memiliki etos tinggi dalam belajar walaupun lingkungan sekitarnya tidak mendukung.

Sementara itu, keahlian al-Syifa dalam bidang pengobatan akan sangat berguna ketika misalnya ada pasukan muslim yang terluka dalam medan perang. Ia dapat menjalankan tugas menjadi seorang perawat yang menyelamatkan banyak nyawa. Kontribusi seperti ini walaupun tidak tampak di depan, tetapi sangat vital dan dibutuhkan.

Kemahiran al-Syifa binti Abdillah dalam tulis-menulis membuat Umar bin Khattab memberikan perhatian lebih kepadanya. Tidak jarang Umar meminta pendapat tentang suatu urusan kepadanya. Bahkan, Umar memberikan posisi yang sangat strategis dengan menunjuknya sebagai pengatur pasar Madinah. Umar mempercayakan managemen pasar kepada seorang perempuan yang bernama al-Syifa binti Abdillah. Itu artinya, semua aturan main yang terkait dengan pasar Madinah ada dalam wewenang al-Syifa.

Selain itu, al-Syifa juga berperan dalam meriwayatkan hadis Nabi Muhammad Saw. Hadis-hadis yang diriwayatkannya banyak terdapat dalam kitab hadis Sunan Abi Dawud. Di antara hadis yang diriwayatkannya adalah hadis tentang amalan yang paling utama. Perempuan yang sangat berjasa dalam menyebarkan literasi di kalangan umat Islam ini akhirnya meninggal pada tahun 20 H pada masa Khalifah Umar bin Khattab.

Kisah al-Syifa ini harus dijadikan inspirasi oleh para perempuan di era kontemporer bahwa mereka harus peduli terhadap pendidikan karena itu adalah aset masa depan. Terlebih, mereka akan menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. Kita tidak bisa membayangkan akan seperti apa masa depan bangsa jika para ibu tidak mendidik anak-anaknya dengan benar. Berjenis kelamin perempuan tidak boleh menjadi penghalang untuk berkembang dan mencapai pendidikan yang tinggi.

Leave a Response