Pengertian Moderasi beragama adalah wacana keagamaan yang berkembang sejak beberapa tahun ke belakang hingga sekarang. Wacana ini digaungkan kembali oleh Kementerian Agama Republik Indonesia karena merespons ekspresi keagamaan yang dianggap membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kata moderasi berasal dari Bahasa Latin moderâtio, yang berarti ke-sedang-an. Maksud sedang di sini ialah tidak kelebihan dan tidak kekurangan. Secara bahasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah moderasi berakar dari kata sifat “moderat” yang berarti selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem. Kata ini juga bisa dimaknai berkecenderungan ke arah dimensi atau jalan tengah.

Adapun definisi atau pengertian moderasi beragama menurut para ahli dijelaskan berikut ini:

Menurut Quraish Shihab, moderasi beragama dalam konteks Islam sebenarnya sulit didefinisikan. Hal itu karena istilah moderasi baru muncul setelah maraknya aksi radikalism dan ekstremisme. Pengertian moderasi beragama yang paling mendekati dalam istilah Al-Qur’an yakni “wasathiyah”.

Wasath berarti pertengahan dari segala sesuatu. Kata ini juga berarti adil, baik, terbaik, paling utama. Hal ini diterangkan dalam surat Al-Baqarah ayat 143 (wa kadzalika ja’alanakum ummatan wasathan) yang dijadikan sebagai titik tolak moderasi beragama.

Ada tiga kunci pokok dalam penerapan wasathiyyah ini, yaitu pengetahuan yang benar, emosi yang terkendali dan kewaspadaan. Tanpa ketiga hal ini, wasathiyyah akan sangat susah bahkan mustahil untuk diwujudkan.

Menurut Komaruddin Hidayat, pengertian moderasi beragama muncul karena ada dua kutub ekstrem, yakni ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Ekstrem kanan terlalu terpaku pada teks dan cenderung mengabaikan konteks, sedangkan ekstrem kiri cenderung mengabaikan teks. Maka, moderasi beragama berada di tengah-tengah dari dua kutub ekstrem tersebut, yakni menghargai teks tetapi mendialogkannya dengan realitas kekinian.

Dalam konteks Pendidikan Islam, moderasi ini berarti mengajarkan agama bukan hanya untuk membentuk individu yang saleh secara personal, tetapi juga mampu menjadikan paham agamanya sebagai instrumen untuk menghargai umat agama lain.

Menurut Azyumardi Azra, moderasi beragama di Indonesia yang sangat terlihat adalah umat Islam. Pengertian Moderasi beragama dalam konteks umat Islam kemudian disebut Islam Wasathiyah.  Kondisi moderasi beragama di Indonesia saat ini sudah mapan dengan adanya Islam Wasathiyah. Artinya, dalam memahami agama tidak banyak masyarakat Indonesia yang ekstrem kanan ataupun yang ekstrem kiri.

Keunikan dari Moderasi Islam Indonesia adalah umat Islam sebagai mayoritas, tapi para pemimpin dan ulamanya menerima empat pilar kebangsaan; Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, NKRI dan Undang-Undang 1945. Hal ini yang kemudian membuat peneliti Eropa terheran-heran mengapa umat Islam Indonesia tidak menjadi Islam, padahal Islam mayoritas.

Moderasi Islam Indonesia senantiasa dijunjung dan dikembang oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. NU dengan gagasan Islam Nusantara-nya sejalan dengan Islam Wasathiyah. Begitu pula dengan Muhammadiyah dengan gagasan “Islam berkemajuan”-nya juga merupakan Islam Wasathiyah.

Menurut Lukman Hakim Saifuddin, dalam istilah moderasi beragama harus dipahami bahwa yang dimoderasi bukan agamanya, melainkan cara kita beragama. Hal ini karena agama sudah pasti moderat.

Hanya saja ketika agama membumi, lalu hakikatnya menjadi sesuatu yang dipahami oleh manusia yang terbatas dan relatif. Agama kemudian melahirkan aneka ragam pemahaman dan penafsiran. Oleh karena itu, moderasi beragama merupakan keniscayaan untuk menghindari penafsiran yang berlebihan dan paham keagamaan yang ekstrem, baik ekstrem kanan maupun kiri.

Moderasi beragama seperti istilah moderasi Islam. Agama Islam tak perlu dimoderasikan lagi, namun cara seseorang berislam, memahami Islam, dan mengamalkan Islam yang senantiasa harus dijaga pada koridornya yang moderat.

Ada dua poin penting dalam melihat Moderasi Islam. Pertama, senantiasa adil, yakni memosisikan diri ke tengah tidak condong ke salah satu sisi. Dalam konteks beragama, seseorang harus adil melihat berbagai sudut pandang berbeda asalkan masih dalam koridor moderat. Jika mengarah ke sudut pandang ekstrem, maka itu tak bisa ditoleransi.

Kedua, keseimbangan. Banyak kalangan yang mencoba untuk menafsirkan ajaran agama supaya bisa menjadi pedoman kehidupan manusia. Akan tetapi, keterbatasan manusia menyebabkan upaya penafsiran tersebut tidak sempurna sehingga muncul sudut pandang berbeda dalam menafsirkan agama.

Dalam konteks kehidupan berbangsa, moderasi dalam beragama sangat erat terkait dengan menjaga kebersamaan dengan memiliki sikap tenggang rasa. Hal itu agar paham agama yang berkembang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan.

Dalam kebijakan moderasi beragama harus menjadi model keberagamaan mainstream (arus utama) di tengah meletupnya klimaks politik identitas, ujaran kebencian (hate speech), dan berita bohong (hoax).

Leave a Response