Konon, umat Islam, pada satu waktu, terlibat dalam suatu peperangan. Lawan peperangan saat itu adalah bangsa Rum (Romawi). Salah satu pasukan perang saat itu adalah seorang laki-laki yang (kira-kira) namanya al-Dailami (yuqalu lahu).

Namun, nasibnya tak mujur. Ia kalah dan tertangkap. Oleh pasaukan Romawi, al-Dailami disalib pada suatu tiang kapal.

Kabar tertangkap dan disalibnya al-Dailami ini akhirnya sampai juga di telinga kawan-kawannya sesama pasukan perang. Singkat cerita, mereka (pasukan muslim) akhirnya berhasil merebut kapal tempat al-Dailami disalib dan menurunkannya dari tiang salib.

Setelah diturunkan, al-Dailami langsung meminta air. Namun, air itu ia minta bukan untuk diminum, melainkan untuk disiramkakn ke tubuhnya. Kawan-kawannya pun penasaran tentang permintaan aneh al-Dailami ini.

“Mengapa kamu minta airnya disiramkakn?” tanya kawan-kawannya.

“Aku junub,” al-Dailami menjawab.

“Ceritanya, saat aku disalib oleh pasukan Romawi, aku tiba-tiba sangat mengantuk. Akhirnya, aku pun tertidur. Dalam tidurku, aku merasa berada di suatu sungai. Di sana, aku tidak sendiri. Ada banyak gadis-gadis peraawan di sekitarku. Aku lantas mernarik salah satu dari mereka dan kemudian menyetubuhinya. Dan itulah yang menyebabkan aku junub,” tambahnya mengakhiri cerita.

Kisah di atas penulis dapatkan dari kitab Sifah al-Shafwah, karangan Jamaluddin Abi al-Faraj ibn Jauzi (Ibnu Jauzi). Tidak disebutkan secara pasti darimana riwayat kisah itu berasal. Oleh karenanya, kisah di atas bisa dikatakan benar dan bisa pula salah (hanya anekdot belaka).

Berangkat dari kisah lucu al-Dailami yang mimpi basah saat di tiang hukuman, kita bisa belajar banyak hal dari kisah tersebut, yaitu:

Meski pada akhirnya musuh berhasil menangkap dan menyalibnya, namun yang harus diinngat adalah al-Dailami tetap ikut andil dalam perjuangan di jalan Allah, yakni ikut perang melawan pasukan Romawi.

Belajar dari sini, seorang muslim hendaknya selalu ikut aktif dalam perjuangan di jalan Allah, tentu dalam bidang yang sesuai dalam kealiannya. Misalnya, seorang yang pintar, aktif mengajari masyarakat; yang kaya tidak pelit dan selalu menginfakkan hartanya; dan yang punya kekuasaan mau mengatur dengan jujur dan adil.

Kekalahan dan disalibnya al-Dailami menujukkan betapa hasil itu adalah hak prerogatif Allah. Manusia hanya bisa berusaha dan Allah-lah yang menentukan hasilnya. Dia menngetahui secara pasti apa yang terbaik untuk hamba-hambanya.

Misalnya, seorang guru yang mengajar, jika ternyata para muridnya tak ada yang pintar dan tak bisa menyerap ilmu darinya dengan baik, itu tak lagi menjadi urusannya. Kewajibannya sudah selesai. Yang penting ia mengajar. Begitu pula dengan kasus lainnya (si kaya yang sedekah, pemerintah yang mengurus negara, atau yang lainnya).

Secara zahir, al-Dailami memang disalib. Namun, secara batin, dalam mimpinya, ia malahan sedang bercumbu mesra dengan seorang gadis perawan. Jika demikian, sudah barang tentu ia tak merasakan sakit apapun. Yang ia rasakan justru suatu kenikmatan. (Secara hukum, seseorang tak bisa dihukum berdasar kesalahan yang ia lakukan dalam mimpi).

Pejuang di jalan Allah, apapun bentuknya, meski secara zahir ia seakan merasakan kesakitan, namun belum tentu dengan batinnya. Bisa jadi, yang ia alami adalah kebalikannya.

Ambillah contoh, seorang kiai kampung yang secara zahir hidupnya pas-pasan. Keseharianya hanya ke sawah; mengajar ngaji anak-anak kecil; dan mengurus surau. Namun demikian, belum tentu batinnya merasa menderita. Bisa jadi ia meraskan kepuasann batin yang tiada tara saat mengerjakan itu semua. Bukankah kita tak bisa menilai buku dari sampulnya?

Leave a Response