Saat ini merokok menjadi salah satu gaya hidup sebagian orang. Bagi kalangan tertentu, kehidupan sehari-hari kurang lengkap bila tidak menikmati racikan yang bahan utamanya terbuat dari tembakau itu.
Hal ini sebab sensasi rokok dinilai memberikan efek-efek psikologis seperti rileks, tenang, nyaman, fokus ketika menghisapnya secara perlahan-lahan. Belum lagi kenikmatan merokok ketika sedang bekerja atau bersantai sambil menyeduh minuman hangat (wedang) seperti kopi, jahe, teh, susu dan lain sebagainya.
Perihal hukum rokok, para ulama berbeda pendapat, ada yang menghukumi rokok itu haram, mubah, dan makruh. Perdebatan ini sudah berlangsung sejak lama, dan sampai sekarang umat pun ‘dibebaskan’ memilih hukum yang relevan sesuai konteks diri masing-masing.
Selain soal hukum, secara praktik di lapangan tidak sedikit kalangan ulama, kiai, hingga dai yang merokok. Bahkan ada sebagian kalangan yang mengaku bahwa mereka merasa tidak tenang dan tidak semangat mengajar bila tidak merokok.
Di sisi lain, bagi kalangan yang tidak merokok menganggap aktivitas merokok hanyalah perkara yang tidak berguna, sumber penyakit, bahkan menghambur-hamburkan uang. Sehingga ada istilah, merokok itu seperti membakar uang secara sia-sia belaka.
Lalu, bagaimana pandangan fikih menyikapi hal tersebut? Apakah benar merokok termasuk dari perkara yang menghambur-hamburkan uang?
Untuk menyikapi hal tersebut, pekerjaan menghambur-hamburkan uang termasuk dalam bab safih (orang yang dungu). Hal ini sebagaimana definisi yang ada dalam kitab Fathul Qorib:
ا(اَلصَّبِيُّ وَالْمُجْنُوْنُ وَالسَّفِيْهُ) وَفَسَّرَهُ الْمُصَنِّفُ بِقَوْلِهِ (اَلْمُبَذِّرُ لِمَالِهِ) أَيْ يُصَرِّفُهُ فِيْ غَيْرِ مَصَارِفِهِ
Artinya: “(Anak kecil, orang gila dan orang dungu). Pengarang kitab menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan orang dungu adalah orang yang menyia-nyiakan. (Menghambur-hamburkan hartanya). Dalam arti, ia mentransaksikan hartanya tidak sesuai tempatnya.” (Al-Baijuri, cet. DKI Beirut, hal. 701)
Dalam kitab Hasyiah Baijuri, Syekh Ibrohim Al-Baijuri memberikan contoh dari keterangan di atas sebagaimana berikut.
قَوْلُهُ (فِيْ غَيْرِ مَصَارِفِهِ) وَهُوَ كُلُّ مَا لَا يَعُوْدُ نَفْعُهُ اِلَيْهِ لَا عَاجَلاً وَلَا اَجِلًا فَيَشْمُلُ الْوُجُوْهُ الْمُحَرَّمَةُ كَأَنْ يَشْرَبُ بِهِ الْخَمْرَ أَوْ يَزْنِى بِهِ اَوْ يَرْمِيْهِ فِى الْبَحْرِ اَوْ فِيْ الطَّرِيْقِ وَالْمَكْرُوْهَةُ كَاَنْ يَشْرَبَ بِهِ الدُّخَانَ الْمَعْرُوْفَ
Artinya: Yang dimaksud dari ‘tidak sesuai tempat (transaksinya)’ adalah setiap sesuatu yang tidak kembali menfaatnya secara langsung maupun ditempokan. Maka dari pengertian ini mencakup kepada arah yang diharamkan seperti meminum minuman arak, berzina, melemparkan hartanya ke laut dan ke jalan. Atau dari arah yang dimakruhkan, seperti merokok yang sudah terkenal itu. (Al-Baijuri, cet. DKI Beirut, hal. 701)
Jika rokok dikategorikan sesuatu yang makruh dan tidak ada manfaatnya, maka berdasarkan keterangan di atas, hukum merokok termasuk dalam perkara yang menyia-nyiakan harta.
Meskipun begitu, Syekh Ibrahim Al-Baijuri menambahkan keterangan dalam lanjutan pembahasan tersebut.
فَإِنَّ الْاَصْلَ فِيْهِ اَلْكَرَاهُة فَصَرْفُ الْمَالِ فِيْهِ مِنَ التَّبْذِيْرِ حَيْثُ لَا نَفْعَ فِيْهِ
Artinya : Maka asal dari hukum kemakruhan tersebut adalah transaksi harta dalam bentuk menghambur-hamburkan sekiranya tidak ada manfaatnya. (Al-Baijuri, cet. DKI Beirut, hal. 701)
Sehingga untuk menjawab masalah pertanyaan di atas, maka merokok dapat dikategorikan sebagai menghambur-hamburkan harta apabila tidak ada manfaatnya.
Sedangkan apabila terdapat manfaat bagi kalangan tertentu, semisal dapat mendatangkan ketenangan, fokus, menekan stres ketika sedang bekerja, belajar, atau lain sebagainya, maka tidak termasuk menghambur-hamburkan uang atau harta.
Akan tetapi, hal demikian juga disesuaikan dengan kondisi finansial (ekonomi) masing-masing. Sikap bijaksana–apalagi bagi yang sudah berkeluarga–sangat penting diperhatikan oleh para perokok supaya harta yang dibelanjakan untuk membeli rokok benar-benar sesuai kebutuhan. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.