Islam adalah salah satu agama yang mendukung ide tentang kebebasan beragama. Dalam Islam ada ayat yang sering kali dikutip oleh para ulama untuk mendukung ide kebebasan beragama, yakni ayat “La Ikraha fi ad-Din” tidak ada paksaan dalam beragama.
Ayat ini ditafsirkan oleh seorang ulama bernama Jaudad Said bahwa Islam mendukung sepenuhnya kebebasan setiap individu untuk masuk ke dalam suatu agama dan untuk keluar dari suatu agama. Banyak ulama yang berkata bahwa ayat ini termasuk di dalam kategori ayat, lafadz, dan teks yang sangat umum, yang disebut dengan lafadz “am”.
Dalam pandangan ushul fiqh mazhab Hanafi, lafadz “am” merupakan dhalalah-nya qadh’i. Dengan demikian tidak bisa dibatalkan oleh hadis ahad. Karena hadis ahad dhalalah-nya adalah dhanni, sementara lafadz “am” dhalalah-nya adalah qadh’i, maka banyak ulama yang berkata bahwa pindah agama sangat dibenarkan berdasarkan ayat “La Ikraha fi ad-Din”.
Tapi tentu saja, pandangan seperti ini akan banyak ditolak oleh para ulama lain, karena sebagian para ulama menyatakan bahwa dhalalah-nya lafadz “am” itu dhanni. Sehingga ayat itu bisa dibatalkan oleh hadis ahad. Salah satu hadis yang sering kali dipakai sebagai hambatan untuk menggagalkan ide kebebasan beragama adalah hadis “Man badhala dinnahu faqtulu” barang siapa yang pindah agama maka bunuhlah.
Namun menurut penjelasan Jaudad Said, hadis di atas dinyatakan bukan hanya tidak jelas dari sudut perawinya, seperti juga tentang bagaimana asal-usul kemunculannya, Banyak ulama justru diragukan kebenaran hadis itu karena bertentangan dengan prinsip dasar yang tertuang dalam ayat Alquran.
Sebagian ulama berkata bahwa ketika hadis bertentangan dengan Alquran, maka bukanlah Alquran yang dibatalkan, tapi justru hadis itu sendiri yang dibatalkan dan disesuaikan dengan Alquran . Ini bisa dianalogikan misalnya, di dalam kasus Indonesia, ketika terjadi seperangkat perundang-undangan, atau produk-produk undang-undang baru bertentangan dengan UUD 45, maka bukan UUD itu yang dibatalkan, tapi produk baru dari undang-undang itu yang harus diadaptasikan dan disesuaikan dengan UUD.
Begitu juga dalam kasus Islam, ketika ada hadis yang menyatakan “membunuh orang yang pindah agama itu dibenarkan”, maka hadis ini harus diadaptasikan dan dicocokkan dengan penjelasan ayat Alquran. Dan, ketika Alquran menyatakan “La Ikraha fi ad-Din”, tidak ada paksaan di dalam beragama, maka jelaslah bahwa ayat inilah yang harus didahulukan untuk menguatkan argumentasi atas ide kebebasan beragama dalam Islam.
Ayat ini juga menjadi dasar bagi sebagian para pemikir Islam mutakhir, untuk mendukung ide-ide kebebasan beragama. Dukungan ini jelas tidak keliru karena di dalam ayat Alquran sering kali dinyatakan bahwa Alquran memberikan kebebasan kepada manusia, apakah ia ingin menjadi orang yang beriman atau ingin menjadi kafir.
Dengan demikian, seharusnya masyarakat Islam tidak memandang bahwa kebebasan beragama itu merupakan ide yang dicangkok dari dunia luar, tetapi justru kebebasan beragama merupakan gagasan yang muncul dan dikembangkan secara internal dalam khazanah Islam.
Sekali lagi, ide kebebasan beragama bukanlah diadopsi dari luar Islam, terutama dari dunia Barat yang sekuler dan liberal, tapi ide kebebasan beragama digali dari perut peradaban pemikiran Islam. Karenanya, umat Islam tidak perlu ragu untuk mendukung ide kekebasan beragama ini. Sebab, kebebasan beragama sangatlah sesuai dan cocok dengan ajaran yang tertuang dalam Alquran.
Sehingga, berbagai fenomena pindah agama yang beberapa bulan terakhir cukup hangat dibicarakan di Indonesia, khususnya adanya sebagian dari kalangan artis yang pindah agama, tidak seharusnya membuat para penganut agama, baik muslim maupun non-muslim, merasa risau dengan kejadian itu. Justru yang perlu dilakukan adalah sebuah apresiasi bahwa orang-orang yang telah pindah agama, dengan seluruh hak dan kebebasan yang dimilikinya, telah benar-benar menemukan keyakinan yang sejati sesuai dengan hati nuraninya.
Agama adalah soal keyakinan individual, ketika seseorang telah mencapai usia yang matang, dia memiliki kebebasan dan hak untuk pindah agama sesuai dengan suara hati dan keteguhan iman baru yang sampai kepadanya. Fenomena pindah agama juga tidak perlu dijadikan isu kontroversi di kalangan masyarakat. Sebab, ketika hidayah atau petunjuk telah sampai kepada seseorang, maka tidak ada satu orang pun yang dapat menghalanginya untuk pindah agama sesuatu dengan petunjuk yang dialaminya.