Kehidupan kaum sufi selalu identik dengan hidup zuhud, jauh dari kenikmatan dan kemewahan duniawi. Zuhud disimbolkan dengan penampilan sederhana dan fakir. Kata sufi atau tashawuf sendiri berasal dari kata shuf yang berarti wol. Sejenis kain berbahan bulu domba yang kasar. Kaum sufi biasanya memakai mantel berbahan wol kasar ini sebagai simbol kesederhanaan dan kezuhudan.

Kehidupan demikian jauh berkebalikan dengan cara hidup seorang sufi besar, al-Syeikh Abu Hasan Ali asy-Syadzili (593–656 H/1197–1258 M). Berbeda dengan para salik pada umumnya, ia selalu berpenampilan perlente; baju yang indah dan bagus; menyukai kuda yang tegap dan kuat yang ditungganginya dalam bepergian; menikmati makanan yang baik dan lezat; dan tinggal di rumah bak istana.

Kondisi semacam ini mengusik batin salah seorang jamaah majlis pengajian asy-Syadzili yang kebetulan lewat di depan rumahnya. Ia kaget dan hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seseorang yang sering berbicara tentang zuhud dalam majlisnya ternyata tinggal di rumah yang megah yang jauh dari kesederhanaan.

Beberapa hari telah berlalu, tetapi tanda tanya besar tentang keganjilan itu terus mengelayut dalam hatinya. Batinnya berontak. Namun, akhlaqnya sebagai santri mencegahnya berburuk sangka. Akhirnya, ia mendatangi Asy-Syadzili ke rumahnya. Ia ingin mengklarifikasi dan mengkonfirmasi apa yang pernah dilihatnya.

Setelah beberapa saat terdiam, orang itu memberanikan diri berbicara kepada asy-Syadzili, “Wahai syeikh, dalam setiap majlismu, engkau senantiasa menjelaskan tentang zuhud. Saya kagum dan terpesona dengan caramu mengajarkan. Namun, setelah saya melihat engkau beberapa hari yang lalu muncul banyak tanya di benakku.”

“Apa maksud anda?” tanya asy-Syadzili.

“Saya melihat sesuatu yang berkebalikan antara apa yang anda sampaikan dalam majils pengajian anda dengan apa yang saya lihat dalam kehidupan anda,” jawabnya menimpali.

Mendengar jawaban orang itu, asy-Syadzili mafhum. Ia kemudian tersenyum dan berkata, “Saya akan menjawab kegundahan anda. Tetapi, sebelum itu, saya ingin mengajak anda untuk berkeliling kota mengendarai keretaku. Syaratnya, anda pegangi cawan berisi air ini. Jagalah jangan sampai airnya tumpah hingga kita tiba kembali di rumah,” kata asy-Syadzili mewanti-wanti.

Singkat cerita, keduanya berkeliling kota. Sesampainya kembali di rumah, asy-Syadzili lalu bertanya kepada salah seorang jamaahnya itu, “Bagaimana perjalananmu? Apakah anda melihat indahnya istana raja?”

“Bagaimana asyiknya pertunjukan-pertunjukan yang ditampilkan di alun-alun tadi?”

“Atau barang-barang yang dijajakan di pinggir jalan. Apakah anda melihatnya?”

Orang itu lalu menjawab, “Bagaimana saya bisa melihat dan menikmati semua itu, Syeikh?”

“Sepanjang perjalanan, saya hanya memperhatikan cawan ini dan berupaya agar air yang ada di dalamnya tidak tumpah.”

Dengan segera asy-Syadzili menimpali,”Demikian pula saya. Perhatianku pada sang Khaliq seperti halnya perhatianmu pada air yang ada pada cawan itu. Keindahan dan kemegahan duniawi apapun tidak memalingkanku dari-Nya.”

“Jika anda memiliki harta berlimpah, sebenarnya anda hanya diberi beban oleh Allah untuk memikulnya dan amanah untuk mengelolanya dengan benar. Anda boleh memilikinya, tetapi jangan sampai dikuasai dan dimiliki harta. Harta boleh di tangan, tetapi jangan sampai melekat dan bersemayam di dalam hati,” lanjut asy-Syadzili berpetuah.

Artikel ini juga tersedia dalam bahasa:

Baca juga :  Kewiraian Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang Patut Diteladani

English

Leave a Response