Urusan sejarah bahasa Indonesia dilupakan dan disimpan saja di buku-buku lama. Peringatan Sumpah Pemuda malah gampang dianggap pula peringatan 90 tahun kelahiran bahasa Indonesia. Anggapan sering disampaikan para pejabat dan pakar bahasa Indonesia. Kita terlalu lama membiarkan masalah sejarah Sumpah Pemuda dan bahasa Indonesia.
Pada 1988, terbit buku peringatan 60 tahun Sumpah Pemuda berjudul Ilmuwan dan Bahasa Indonesia. Buku berisi tulisan-tulisan para ilmuwan dari pelbagai bidang keilmuan. Di situ, kita membaca ada tulisan pendek dari Harimurti Kridalaksana, pakar bahasa Indonesia dan rajin menerbitkan buku-buku mengenai bahasa Indonesia.
Ia berpendapat: “Sesudah 17 Agustus, pastilah 28 Oktober adalah hari keramat bagi bangsa Indonesia.” Ia belum mengajukan usul mengenai hari keramat bagi bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda memang mengajak orang-orang menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Sumpah itu meminta pemenuhan dan semaian saat Indonesia kelimpungan meladeni pengaruh bahasa-bahasa asing di abad XXI.
Pada 1991, terbit buku berjudul Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai dengan editor Harimurti Kridalaksana. Pembuat Kamus Mini Kata-Kata Asing dan Kamus Linguistik itu mengingatkan: “Namun dari sudut sosiologis, jelas bahwa bahasa Indonesia boleh dianggap lahir atau diterima eksistensinya dalam Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928… Di samping itu, secara yuridis pastilah baru pada tanggal 18 Agustus 1945 bahasa kita itu secara resmi diakui adanya, karena Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 36 menyebutkan: Bahasa negara ialah bahasa Indonesia.”
Dua buku itu belum memunculkan gelagat Harimurti Kridalaksana berpikiran hari paling tepat untuk menentukan kelahiran bahasa Indonesia. Di kalangan pakar bahasa dan pemerintah, perkara hari kelahiran bahasa Indonesia belum terlalu mendapat perhatian.Tahun demi tahun berlalu dan abad pun berganti.
Pada 2018, Harimurti Kridalaksana mengusulkan ada pengesahan hari kelahiran bahasa Indonesia dengan penjelasan dan argumentasi dimuat di buku berjudul Masa-Masa Awal Bahasa Indonesia. Usulan “terlambat” jika kita mengikuti sejarah dan perkembangan bahasa Indonesia dalam pemaknaan di peringatan Sumpah Pemuda. Pelaksanaan sekian Kongres Bahasa Indonesia dan penerbitan buku-buku bertema bahasa Indonesia belum bergairah ke penentuan hari kelahiran bahasa Indonesia.
Harimurti Kridalaksana menganggap Kongres Pemuda I (30 April-2 Mei 1926) menjadi babak penting kelahiran bahasa Indonesia. Ia mulai dengan pencarian tokoh mengusulkan nama bahasa Indonesia. Tokoh itu bernama Mohamad Tabrani. Pada 2 Mei 1926, Tabrani berdebat alot dengan Muhammad Yamin. Perdebatan memusat ke penamaan bahasa untuk misi persatuan Indonesia. Yamin selaku pembuat rumusan keputusan kongres menginginkan nama bahasa Melayu.
Penamaan dipengaruhi biografi, ketekunan bersastra, dan pengetahuan kebahasaan. Tabrani menginginkan nama bahasa Indonesia. Penamaan dipengaruhi situasi politik di tanah jajahan dan semaian ide-imajinasi di kalangan pergerakan politik kebangsaan di Indonesia dan kaum muda nasionalis sedang berkuliah di Belanda.
Debat itu memengaruhi penundaan pembuatan dan pengucapan sumpah, menunggu sampai 28 Oktober 1928. Usulan Tabrani agar kaum muda mengakui dan menjunjung bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia diterima Yamin dengan “terpaksa”, sebelum ikhlas dan bergairah memberi penjelasan panjang.
Peristiwa dan peran pengusul nama bahasa Indonesia itu dikutip Harimurti Kridalaksana dari buku berjudul Anak Nakal Banyak Akal, autobiografi Tabrani. Sumber itu belum mendapat penguatan dari buku-buku berkadar ilmiah atau dokumen-dokumen sejarah dari 1926 dan 1928. Sumber utama itu memberi kepastian Harimurti Kridalaksana mengumumkan ke para pembaca: “Tanggal 2 Mei 1926 jelas merupakan hari lahir bahasa Indonesia dan yang mengusulkan nama itu ialah M. Tabrani.”
Usulan serius berdalih belum ada buku mengenai hari lahir bahasa Indonesia dan penghormatan pada tokoh di babak bersejarah bahasa Indonesia. Selama puluhan tahun, Harimurti Kridalaksana menganggap para pakar bahasa dan publik tak pernah memersoalkan hari kelahiran bahasa Indonesia.
Usulan masih sepi dari perbincangan dan perdebatan. Harimurti Kridalaksana terlalu berharap ada orang-orang mulai memberi perhatian ke hari lahir bahasa Indonesia. Perhatian untuk penentuan hari bersejarah. Usul disetujui bisa lekas diajukan ke pemerintah agar menetapkan dan mengadakan hari peringatan secara resmi. Kita pun bakal memiliki tambahan hari “keramat” dan sibuk membuat acara peringatan.
Kita mendingan mundur ke masa lalu dulu, bermaksud menemukan bacaan-bacaan berkaitan sejarah bahasa Indonesia dan Sumpah Pemuda. Pada 1974, Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah Jakarta menerbitkan buku berjudul 45 Tahun Sumpah Pemuda. Buku berisi uraian-uraian sejarah bahasa Indonesia dan gerakan kaum muda. Di bagian belakang, pembaca disuguhi tulisan-tulisan dari para pelaku sejarah.
Buku lawas itu tak tercantum di buku garapan Harimurti Kridalaksana. Buku penting tapi terlewati dalam usaha menentukan hari kelahiran bahasa Indonesia. Di halaman 65, penjesan pendek posisi bahasa Indonesia dalam Kongres Pemuda II (1928): “Perihal bahasa dikatakan bahwa bahasa Indonesia sewaktu Kongres Pemuda itu telah menjelma menjadi bahasa Indonesia. Dinyatakan bahasa Indonesia memberi pengaruh pada persatuan bangsa Indonesia yang terdiri dari begitu banyak suku bangsa yang mempergunakan beberapa ratus bahasa daerah.”
Kita simak tulisan mengenang dari Tabrani untuk mengerti penamaan bahasa Indonesia dan Sumpah Pemuda. Pada Kongres Pemuda I, Tabrani berperan sebagai pimpinan. Pada Kongres Pemuda II, ia sedang berada di negeri asing. Kongres Pemuda I diikuti kaum muda memilih sering berbahasa Belanda. Mereka berpikir dan mengimajinasikan Indonesia dengan bahasa milik penjajah.
Tabrani mengingat keseriusan Yamin menjelaskan segala hal mengenai bahasa persatuan: “Secara teliti, teratur, dan terus terang, M. Yamin memberikan gambaran tentang kemungkinan-kemungkinan hari depan bahasa-bahasa Indonesia dan kesusastraannya. Dengan tidak bermaksud mengurangi penghargaan terhadap bahasa daerah seperti bahasa Sunda, Aceh, Bugis, Madura, Minangkabau, Batak, dan lain-lainnya, maka menurut pendapatnya hanya dua bahasa (bahasa Jawa dan bahasa Melayu), yang mengandung harapan menjadi bahasa persatuan.”
Tabrani pun mengingat peristiwa perbincangan tiga tokoh di Kongres Pemuda I: Tabrani, Yamin, dan Adinegoro. Tabrani menerima uraian kesejarahan dari Yamin tapi tak setuju memilih bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Tabrani ingin bahasa persatuan itu “wajib” bernama bahasa Indonesia. Yamin dan Adinegoro mengerti keinginan Tabrani.
Perdebatan 3 orang itu memicu masalah dalan pembuatan keputusan kongres. Sejarah pun tercipta di Kongres Pemuda II (1928) saat Tabrani dan Adinegoro berada di negeri asing. Penamaan bahasa Indonesia diakui dan ada di Sumpah Pemuda. Yamin berperan besar dalam menerima usulan penamaan dan memberi “bara” penjelasan politis.
Peristiwa itu digenapi peran Adinegoro saat berada di Eropa dengan menerbitkan Kamoes Kemadjoean (1928). Di tanah air sedang ditinggalkan, bahasa Indonesia mulai dianggap “ada” untuk pembesaran nasionalisme dan pemajuan tatanan hidup di Indonesia. Kamus itu telanjur terbit, belum mencantumkan penamaan bahasa Indonesia tapi menjadikan bahasa Melayu adalah bekal besar ke arah persatuan dan pemajuan Indonesia.
Adinegoro tetap bermufakat dengan Sumpah Pemuda meski di negeri asing. Sumpah Pemuda terakui sejarah menentukan bagai bahasa Indonesia ketimbang di Kongres Pemuda I. Jerome Samuel (2008) juga tetap menjadikan 28 Oktober 1928 adalah kelahiran bahasa Indonesia secara politik.
Bahasa Indonesia turut dalam “mitos peletak dasar Indonesia modern”, secara rutin diperingati setiap 28 Oktober.
Kini, kita digoda melakukan “ralat” hari bersejarah bahasa Indonesia dan membuat mufakat tentang hari kelahiran bahasa Indonesia. Harimurti Kridalaksana mengusulkan sejarah itu dimulai 2 Mei 1926 berdalih penamaan oleh Tabrani. Penamaan tentu belum memadai dalam penentuan dasar-dasar kebahasaan dan kebangsaan.
Peran Tabrani ingin dibesarkan meski Harimurti Kridalaksana masih enggan mengajukan tokoh-tokoh berbeda tapi berpengaruh di Kongres Pemuda I dan II. Kita masih menunggu ada bukti-bukti otentik dan tumpukan argumentasi bermutu demi mengerti dan memuliakan bahasa Indonesia tanpa keharusan penetapan hari kelahiran berpamrih ada rutinitas peringatan setiap tahun. Begitu.