Mari melayangkan sejenak pandangan ke sekitar, bila Anda sedang berada di area publik sebuah perkotaan. Amati baik-baik mulai dari ketika Anda memasuki pintu jalan tol yang bertuliskan e-tol hingga saat cuma akan membeli minuman mineral di swalayan mini yang menerakan tulisan pada pintunya: open, dan pada gagang tarik pintunya di kanan kiri tercantum: pull dan push. Nama swalayan pun berlabel mini market (mini mart).

Layangkan pula amatan Anda pada sejumlah ikan yang dipasang di celah pertigaan mulai dari spanduk hingga pada papan khusus, yang terasa lebih genit dengan pamer memromosikan iklan produk tertentu dengan berbahasa Inggris. Pertanyaan kita, tidak mampukah mereka, para pencantum, sebagaimana disebutkan, berbahasa Indonesia?

Bopeng

Kusumawijaya dalam bukunya Kota Rumah Kita (2006), menyatakan bahwa ruang publik adalah sebagai ruang atau lahan umum, tempat masyarakat dapat melakukan kegiatan publik fungsional maupun kegiatan sampingan lainnya yang dapat mengikat suatu komunitas, baik melalui kegiatan sehari-hari atau kegiatan berkala.

Pemakaian bahasa Indonesia pada ruang publik beragam tampilan dan rupa. Secara kebahasaan “kepemilikan” dwibahasa dan multibahasa menandai penggunaan bahasa pada ruang publik.

Memang tak dapat dipungkiri, arus globalisasi, heterogenitas suku bangsa di Indonesia, dan disepakatinya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional berimplikasi pada terjadinya fenomena kedwibahasaan serta kemultibahasaan tersebut. Oleh sebab itu, secara dadakan dapat disimpulkan wajah bahasa di ruang publik memang menampilkan rupa bopeng.

Sebuah iklan sangat langka kita temukan menuliskan secara utuh hanya berbahasa Indonesia.  Sikap dan rasa cinta terhadap bahasa Indonesia terkalahkan oleh bahasa Inggris. Padahal, penggunaan bahasa, terutama pada ruang publik, sudah diatur negara, sehingga penggunaan bahasa pada ruang publik di seluruh wilayah Indonesia harus mengikuti aturan tersebut.

Pengaturan itu dapat kita baca pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang ”Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.” Pasal 36, 37, dan  38 memerikan bentuk-bentuk publikasi di ruang publik yang harus menggunakan bahasa Indonesia.

Pasal 36 menyatakan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nama geografi di Indonesia serta untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.

Pasal 37 menekankan bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia. Pasal 38 menegaskan bahwa bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum.

Bagian akhir masing- masing pasal tersebut dijelaskan bahwa bahasa daerah dan bahasa asing boleh dipergunakan sebagai pelengkap. Artinya, ketika bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing digunakan pada ruang publik, bahasa Indonesia ditempatkan paling atas.

Sejalan dengan itu, Badan Bahasa menyederhanakan amanat Undang-undang tersebut dengan tiga butir penting yakni: utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing menadi penegasan yang hendaknya disikapi pemakai bahasa Indonesia di ruang publik menaatasasinya.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka selayaknya para pembuat iklan dan penyampai informasi lainnya di ruang publik hendaknya membiasakan untuk mengutamakan pemakaian bahasa Indonesia ketika akan berkomunikasi. Pembiasaan yang mengerucut sebagai sikap budaya dengan demikian akan tertanam dari generasi ke generasi berikutnya.

Pengutamaan pemakaian bahasa Indonesia di ruang publik hendaknya menjadi sikap budaya kita sebagai bangsa Indonesia yang harus bangga dan bersyukur karena memiliki bahasa nasional sekaligus persatuan bahasa Indonesia. Kita pasti mampu, asal niat suci selalu tertanam di hati.

 

Leave a Response