Umat Islam telah melewati bulan Ramadan yang dikenal juga dengan sebutan syahr al-Quran; bulan Alquran. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah Al-Baqarah ayat 185 yang cukup populer dikutip oleh para penceramah memperingati nuzul al-Quran.

Ceramah tersebut kemudian akan sampai pada narasi kisah pewahyuan pertama Nabi Muhammad di Gua Hira. Secara spesifik, firman Allah yang disampaikan adalah surah Al-‘Alaq ayat 1-5. Benarkah demikian?

Pemahaman tersebut telah menjadi pengetahuan umum di kalangan umat Islam. Hampir tidak ada tokoh yang mempunyai pendapat yang berbeda. Tetapi, jika kita buka salah satu kitab babon dalam kajian Ulumul Quran, yaitu al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran, kita akan menemukan penjelasan yang beragam.

Imam Al-Suyuthi menghadirkan empat pendapat seputar surah apa yang pertama kali diturunkan.

Pertama, wahyu pertama yang turun yaitu surah Al-‘Alaq ayat 1-5. Pendapat ini merupakan pendapat yang sahih dan populer. Hal ini sebagaimana hadis yang cukup panjang dari Imam Bukhari dan Muslim; dinukil dari Aisyah. Singkat cerita, narasi hadis tersebut bertutur bahwa wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad adalah Iqra` bismi rabbik.

Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa surah yang pertama kali turun adalah Surat Al-Muddatstsir. Hal ini juga berdasarkan hadis dari Bukhari dan Muslim dari Abi Salamah bin Abdurrahman.

Suatu ketika ia berkata, aku pernah bertanya kepada Jabir bin Abdullah, “Mana Alquran yang diturunkan terlebih dahulu, yaa ayyuhal muddatstsir atau iqra` bismi rabbik?

Jabir menjawab dengan narasi yang cukup panjang, tetapi intinya adalah ia menegaskan surah Al-Muddatstsir.

Beberapa ulama mencoba merekonsiliasi antara pendapat pertama dan kedua. Ada yang memahami bahwa maksudnya adalah tentang turunnya satu surah secara sempurna. Maka jelas Al-Muddatstsir merupakan surah awal yang turun secara utuh. Sebab, sebagaimana diketahui, surah Al-‘Alaq yang turun di awal baru ayat 1-5. Sedangkan ayat selanjutnya turun belakangan.

Pendapat lain mengatakan bahwa pernyataan Jabir tersebut atas dasar ijtihadnya, bukan dari riwayat. Sehingga hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah harus didahulukan.

Ketiga, pendapat yang menyebutkan bahwa surah yang pertama kali turun adalah surah Al-Fatihah. Imam Al-Suyuthi mengutip pendapat dari al-Razi dalam kitabnya al-Kasysyaf menyebutkan bahwa sebagian besar ahli tafsir berpendapat surat yang pertama kali turun adalah Faatihatul kitab.

Menarik jika mencermati pendapat Al-Razi, sebab ia tidak menyebutkan nama, hanya mengatakan sebagian ahli tafsir. Menurut Ibn Hajar, pendapat pertama lebih banyak diikuti oleh para ulama daripada pendapat yang menyebutkan surat Al-Fatihah.

Keempat, pendapat terakhir  yang mengatakan bahwa wahyu yang pertama kali diturunkan adalah bismillah al-rahman al-rahim.

Hal ini disandarkan pada pendapat dari Ikrimah dan Hasan yang menyebutkan “Pertama kali yang diturunkan dari Alquran adalah bismillah al-rahman al-rahim dan awal surat iqra` bismi rabbik”. Pendapat serupa juga disampaikan oleh al-Dhahhak dari jalur Ibn ‘Abbas.

Pendapat terakhir ini ditanggapi langsung oleh Imam Al-Suyuthi. Menurutnya pendapat ini tidak dapat diterima, sebab sudah jelas konsekuensi turunnya suatu surah adalah dengan turunnya basmalah bersama surah tersebut, sehingga ia merupakan ayat yang pertama kali turun secara mutlak.

Oleh karena itu, jika menimbang dari beberapa pendapat yang ada, dapat kita ketahui bahwa pendapat yang unggul adalah argumen pertama. Meski demikian, kita juga paham bahwa ternyata ada perbedaan pendapat di kalangan ulama seputar hal tersebut.

Perbedaan tersebut lahir dari perbedaan sudut pandang. Jika dilihat dari surat pertama yang secara utuh diturunkan, maka jawabannya adalah surah Al-Muddatstsir. Sedangkan jika yang dipahami adalah kata pertamanya, maka yang turun awal adalah lafaz basmalah.

Adapun jika yang dimaksud adalah peristiwa sejarah pertama Nabi Muhammad mendapat wahyu dari Malaikat Jibril setelah menyendiri di gua Hira, maka jawabannya adalah surah Al-‘Alaq ayat 1-5.

Dengan demikian, melalui keragaman pendapat tersebut, kita dituntut untuk lebih peka dengan kesejarahan Alquran. Belajar Alquran tidak sekadar menerima apa adanya (taken for granted) tanpa menyelami kandungannya lebih jauh. Sebab, Alquran semakin diselami, akan nampak mutiara-mutiara hikmah yang tiada bertepi.

Poinnya adalah bahwa Alquran yang kita terima saat ini, merupakan hasil dari kesejarahan yang panjang sejak zaman Nabi Muhammad hingga sekarang. Sehingga tugas kita saat ini adalah melanjutkan kesejarahan Alquran dengan membumikan nilai-nilai universal yang terkandung di dalamnya. Wallahu a’lam bish showwab.

 

Leave a Response