Bekal pergi naik haji ke Tanah Suci adalah kertas dan pena. Bekal itu sengaja dibawa oleh Boechory Setyawan. Ia sudah meniatkan diri menunaikan haji dan menulis puisi. Kita menduga selama ia mengikuti bimbingan di tanah air, materi puisi tak pernah diajarkan oleh panitia.

Puisi belum mendesak disampaikan ke calon jemaah haji dalam memenuhi panggilan Allah. Mereka mendingan belajar dan menghapalkan sekian tata cara ibadah haji dan doa-doa bakal diungkapkan selama di Mekah dan Madinah. Puisi belum terlalu penting dipikirkan sebelum, saat, dan setelah menunaikan sekian rukun haji.

Boechory Setyawan, nama sulit teringat di album kesusastraan Indonesia masa 1990-an. Semula, ia mungkin pengarang atau memiliki pekerjaan mapan tapi berselera sastra. Keinginan menulis puisi memerlukan kaidah, bekal materi, alat, dan kemahiran membagi waktu.

Kepergian ke Tanah Suci ingin berarti, tak cuma pulang dengan gelar haji. Ia menambahi dengan memberi puisi-puisi sebagai bacaan ke publik. Puisi itu biografi. Puisi itu dokumentasi. Puisi demi puisi digubah saat berada di Indonesia dan Arab Saudi.

Ia berhasil menggubah 41 puisi. Kebijakan terpenting adalah menerbitkan menjadi buku. Pada 1997, terbitlah buku berjudul 41 Puisi Haji. Buku diterbitkan Maulana Offset, Surakarta.

Buku itu jangan diharapkan dikutip dalam studi perkembangan sastra-religius di Indonesia, dari masa ke masa. Buku pun tak perlu mendapat pembahasan dalam buku susunan Henri Chambert-Loir. Buku puisi itu sederhana tapi bukti ketekunan orang menunaikan ibadah haji dan menggubah puisi. Berhaji dan berpuisi.

Ia menghadirkan puisi-puisi di hadapan sidang pembaca, menanti tanggapan secara lisan dan tulisan. Pilihan menerbitkan buku puisi bertema haji mungkin dianggap amal. Buku jadi representasi menggenapi koleksi foto. Di keluarga, buku itu persembahan bakal diwariskan ke anak-cucu, mungkin bacaan mengajak anak-cucu turut menunaikan haji.

Si penggubah puisi tak mewajibkan ana-cucu menggubah puisi. Pada zaman berbeda, menunaikan haji cenderung berfoto untuk dipamerkan di media sosial, tak cukup foto itu dicetak dan mendapat bingkai untuk dipajang di dinding ruang tamu.

Buku puisi mendapat pujian dari pimpinan Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (Surakarat): “Penerbitan buku 41 Puisi Haji ini termasuk juga salah satu usaha membantu para jemaah haji Indonesia dalam menghayati makna dan hikmah kegiatan ibadah haji beserta rangkaian ibadah lainnya karena di dalam beberapa puisi terkandung doa-doa yang diucapkan oleh jemaah yang sedang melaksanakan ibadah haji.”

Buku tetap berfaedah mungkin terbaca oleh orang-orang agak mengerti sastra atau mau bersabar menikmati larik demi larik berkaitan haji. Puisi tak serumit gubahan Zawawi Imron, Taufiq Ismail, atau Abdul Hadi WM. Puisi-puisi bersahaja tanpa pamrih mendapat tempat di puncak-puncak sastra-religius di Indonesia.

Puisi berjudul “Dari Atap-Atap Masjidil Haram”, tercatat tempat dan waktu: Masjidil Haram, 11 April 1996. Ia memiliki waktu senggang menggubah puisi.

Kita mengutip pengalaman berhaji dan berpuisi: tujuh kali aku memutari Baitullah, Ka’bah-Mu/ sekali itu pula terbajakan imanku dan tertempalah nyali hidupku/ nyali hidup untuk tetap berjalan di lorong lempang/ nyali hidup untuk tetap bersujud di bawah kaki-Mu/ nyali hidup untuk tetap menebarkan benih-benih ma’ruf/ nyali hidup untuk tetap menyiangi rumput-rumput munkar.

Larik-larik apik bagi orang sedang beribadah dan tekun memilih diksi-diksi dalam menambahi iman dan mengesahkan ketakjuban di tempat pilihan Tuhan. Di situ, kita cenderung menemukan peristiwa ketimbang perincian deskripsi saat berada di Masjidil Haram. Puisi-peristiwa agak menghindari peniruan dari dampak potret.

Kita mendapat suguhan pengalaman tatapan mata-pengataman di puisi berjudul “Makkah Al-Mukarramah”. Puisi ditulis di Makkah, 18 April 1996. Mata melihat dan merekam dengan kata-kata. Kita membaca puisi sambil mengingat masa lalu, sebelum tempat itu berubah mencengangkan di abad XXI.

Puisi berperan mendokumentasikan: Makkah Al-Mukarrahmah/ kota tempat pencakar langit berjulangan/ dan lereng-lereng bukit terjal yang mendukung bangunan/ tempat tegak Masjidil Haram, pusat pelaksanaan/ rukun kelima Islam/ Istana Raja Fahd di Makkah bagai benteng tua/ di samping masjid raya/ disambung dengan kantor-kantor pemerintah dan sebuah penjara/ di dekatnya restoran, hotel, bank, dan plaza/ serta pasar yang menggelar berbagai kebutuhan/ pendatang, mukimin dan penduduk kota.

Puisi itu terbuktikan oleh orang-orang ke Tanah Suci masa 1990-an. Kini, tempat dan suasana berubah. Puisi baru perlu digubah oleh orang-orang sedang menunaikan haji atau umroh. Si pembuat puisi memiliki kemauan, tak tergoda dengan jeprat-jepret menggunakan gawai.

Di Mekah, menulis puisi itu kelaziman bagi orang-orang Arab, sejak sekian abad silam.

Kehadiran orang Indonesia ke situ untuk beribadah dan menggubah puisi mengisahkan Mekah terasa imbuhan. Puisi berbahasa Indonesia, berbeda pesona dengan kesejarah puisi berbahasa Arab mengenai Mekah, sejak masa lalu.

Puisi-puisi gubahan Boechory Setyawan mengandung doa-doa. Puisi melampaui kenangan sebagai pengunjung Tanah Suci. Di Mina, ia menggubah puisi berjudul “Terimalah Taubatku”. Kita mengutip:

Ya, Allah, bukakan pintu-Mu/ masukkanlah aku ke dalamnya/ lagi terimalah taubatku/ taubat seorang hamba yang pernah merasakan/ betapa panas udara Arafah/ sesangar udara Mina/ tatkala wukuf dan melontar jumrah di sana.

Puisi sederhana, tak mau rumit dan sesak metafora. Doa itu terpenting ketimbang berlagak jadi puisi mumpuni. Ingat doa, kita mengingat pengalaman Ali Audah naik haji dan menuliskan di buku berjudul Dari Khazanah Dunia Islam (1999).

Sastrawan dan penerjemah itu mengungkapkan: “Terkejut juga saya membaca buku manasik dari Departemen Agama yang dibagikan kepada calon haji. Terdapat sekumpulan doa yang sama sekali tidak diajarkan oleh Rasulullah atau para sahabat. Orang akan pusing membacanya–apalagi menghafalkan–doa-doa sebanyak itu dan berkepanjangan.”

Panitian dianggap kurang realistis dengan menghidangkan doa-doa panjang dan sulit ke orang-orang sudah tua. Kritik itu pernah diajukan meski Ali Audah tak mau mengusulkan agar di buku manasik ada puisi atau kutipan-kutipan dari teks-teks sastra bertema haji.

Pilihan berdoa dengan menggubah puisi mungkin cara terindah dalam menikmati hari-hari di Tanah Suci. Pulang, ia mendapat gelar haji. Di Surakarta, puluhan puisi diterbitkan jadi buku.

Haji itu memberi puisi, membedakan selera dari buku manasik haji terbitan pemerintah. Puisi mungkin membuat orang merasakan religiositas-estetis, bukan cuma teknis. Doa si penggubah puisi atas penerbitan buku: “semoga menjadi setitik amal yang dapat diterima-Nya.” Begitu.

Leave a Response