Salah satu ulama yang sangat masyhur di kalangan mazhab Syafi’iyah adalah Imam Jalaluddin al-Bulqini.
Ia tidak hanya sebagai figur ulama yang sangat alim, akan tetapi juga salah satu ulama yang memiliki jasa besar dalam perkembangan Islam, khususnya ilmu tafsir dan Fiqih. Bahkan, Al-Bulqini merupakan orang pertama yang berhasil mengodifikasikan ilmu tafsir, sebelum kemudian muncul berbagai variasi ilmu tafsir dengan sistem dan cara penulisan yang bermacam-macam.
Lahirnya Al-Bulqini menjadi salah satu awal keemasan dalam perkembangan Islam. Hal itu ditandai dengan cara berpikirnya yang luas dan sesuai dengan keadaan dan zaman. Solusi yang ia berikan sangat sesuai dengan kebutuhan umat.
Misalnya, ketika umat Islam kehilangan cara yang benar untuk memahami Al-Qur’an, ia datang sebagai revolusioner untuk menyelamatkan mereka dari berbagai kesalahan memahami dan menafsirkan firman Allah swt tersebut.
Imam Al-Bulqini merupakan salah satu dari tokoh dan panutan mazhab Syafi’iyah, yang diakui sebagai salah satu pembaharu Islam (mujaddid) pada abad kedelapan, menggantikan posisi Imam Daqiqil ‘Id, yang merupakan pembaharu Islam pada abad ketujuh.
Bahkan, mayoritas ulama hampir sepakat memosisikan Imam Al-Bulqini sebagai mujtahid, yang memiliki otoritas penuh dalam mencetuskan (istinbath) hukum-hukum Islam, sejarahnya terbukukan, dan pendapatnya dikutip oleh mayoritas ulama dari berbagai kalangan.
Nama lengkapnya adalah Abdurrahman bin Umar bin Ruslan bin Nashir bin Shalih bin Abdul Khalik bin Abdul Haq Jalaluddin al-Mishri al-Bulqini.
Ia dilahirkan di desa Bulqina, salah satu desa yang terletak di kota Mesir. Menurut salah satu riwayat, Al-Bulqini dilahirkan pada tanggal 15, tahun 763 H, ada juga yang mengatakan, ia dilahirkan pada bulan Jumadal Ula tahun 762 H, dan ada yang mengatakan pada tahun 763 H.
Sedangkan mengenai wafatnya, para ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan wafat pada malam Kamis, tanggal 11, bulan Syawal, tahun 824 H, ada juga yang mengatakan tanggal 27 Dzulqa’dah tahun 824 H. (Jamaluddin Abul Mahasin, al-Manhalus Shafi wal Mustaufa Ba’dal Wafi, [Bairut, Darul Fikr, cetakan kedua: 1992, tahqiq: Syekh Muhammad Ami], juz II, halaman 104].
Pada mulanya, Al-Bulqini mendapatkan bimbingan langsung dari ayahnya. Ketekunan dan rasa haus akan ilmu pengetahuan sangat tampak darinya. Semua ilmu yang dimiliki ayahnya ia lahap secara perlahan. Semangatnya sangat menggelora. Pada umur yang masih relatif muda, ia sudah mampu menghafalkan Al-Qur’an dan beberapa matan-matan kitab lainnya
Setelah Al-Bulqini belajar di bawah bimbingan ayahnya, tiba saatnya untuk mengembara ilmu kepada para ulama-ulama tersohor di Mesir saat itu.
Di antara gurunya yang sangat masyhur adalah Syekh Abdullah bin Muhammad bin Abdullah bin Khalil al-Utsmani al-Maki asy-Syafi’i (wafat 774 H), dan Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad al-Ayyubi, serta beberapa ulama lainnya.
Di bawah bimbingan ulama-ulama tersohor ini, ia tumbuh sebagai sosok yang sangat semangat. Tidak ada waktu yang ia sia-siakan, semuanya digunakan untuk mempelajari ilmu dan memperluas wawasannya. (Syamsuddin as-Sakhawi, adl-Dlau’ul Lami’ li Ahlil Qurunit Tasi’, [Lebanon, Bairut, Darul Fikr], juz II, halaman 258).
Rihlah yang ditempuh oleh Imam Al-Bulqini sebagai sosok yang haus akan ilmu sangat menginspirasi, ia sangat semangat dalam meraih ilmu. Di bawah bimbingan para ulama, ia tumbuh menjadi sosok yang sangat cerdas, paham ilmu fiqih dengan semua cabang-cabangnya, memiliki rasio yang luas, sehingga sangat mudah untuk dimengerti semua penjelasannya.
Tidak hanya itu, ia juga menjadi salah satu ulama yang sangat kuat daya hafalnya, lembut suaranya, dan sangat luhur etikanya.
Setelah beberapa tahun hidup dalam pengembaraan menjadi seorang thalib (penuntut ilmu), saatnya ia menuai hasil, tepatnya setelah beberapa tahun belajar kepada para ulama, Imam Al-Bulqini akhirnya mulai mandiri, dan bisa merumuskan pendapat sendiri dalam cabang tafsir, hadits, ilmu fiqih dan beberapa cabang ilmu lainnya.
Ilmunya yang sangat luas menjadikannya sebagai salah satu ulama yang sangat disegani oleh para pembesar Mesir dan dicintai oleh semua rakyatnya. Hal itu ditandai dengan dakwahnya yang selalu dinanti dan disenangi oleh masyarakat.
Tidak hanya bergelut dalam dunia pendidikan dan dakwah. Imam Al-Bulqini juga sukses dalam menelurkan berbagai karya tulis, sebagai manifestasi keberlangsungan Islam sebagai agama yang ilmiah, khususnya dalam ilmu Tafsir.
Di antara karyanya yang sangat masyhur dalam ilmu tafsir adalah kitab Mawaqi’ul Ulum min Mawaqi’in Nujum, sementara karyanya dalam ilmu hadits, yaitu, Al-Ifham bima Waqa’a fi Shahihil Bukhari minal Ibham, sedangkan dalam ilmu fiqih, yaity: at-Tajarrud wal Ihtimam bi Fatawa Syaikhil Islam al-Bulqini, dan berbagai kitab-kitab lainnya, seperti, (1) Badlun Nasihah fi Daf’il Fadhihah, (2) Risalatul Kaba’ir wash Shaghair, (3) Jawabul As’ilah al-Makiah, (4) Jawabul As’ilah al-Maghribiah; dan (5) an-Nukatu ala Minhajith Thalibin lin Nawawi.
Syekh Abul Falah Ibnul Imad (wafat 1089 H), dalam kitabnya mengatakan, Imam Al-Bulqini lahir sebagai salah satu figur teladan bagi umat Islam, potret yang memiliki ilmu sangat luas kemudian mengamalkannya, semua itu sangat tampak dalam jiwanya.
Ia sebagai Imam dalam masalah syariat, dan panutan dalam ilmu hakikat, sangat rendah hati, dan melayani anak-anak kecil beserta orang fakir-miskin, mulai dari siang hingga larut malam. Semua waktunya digunakan hanya untuk melayani umat; mulai dari ilmu, dan sandang pangan.
Dalam mukadimah kitab Mawaqi’ul Ulum min Mawaqi’in Nujum, disebutkan bahwa Imam Al-Bulqini selain sebagai teladan yang sangat alim, ia juga sebagai pribadi yang ahli ibadah.
Ia tidak pernah meninggalkan ibadah pada malam hari (qiyamul lail), baik ketika musim panas, maupun musim dingin. Ia hanya tidur sedikit pada malam hari, kemudian melakukan shalat sunnah witir dan shalat sunnah Fajar sebanyak tujuh puluh rakaat.
Selanjutnya, Imam Al-Bulqini pergi ke Masjid untuk melaksanakan shalat Subuh secara berjamaah. Sebelum waktu Subuh tiba, ia masih menyempatkan diri untuk melakukan shalat Sunnah Tahiyat, kemudian membaca Al-Qur’an dengan senyap.
Setelah adzan Subuh selesai, ia membaca Al-Qur’an dengan keras. Suaranya yang merdu, dan bacaannya yang tepat, membuat hati masyarakat sekitar terpanggil untuk melakukan shalat Subuh secara berjamaah.
Melalui bacaannya itu, tidak hanya masyarakat setempat yang merasakan kerinduan untuk bermunajat kepada Allah swt, dengan cara shalat berjamaah dengan Imam Al-Bulqini, akan tetapi juga banyak orang-orang yang jaraknya sangat jauh dengan masjid, turut hadir untuk melakukan shalat berjamaah dengannya.
Bahkan, bacaannya tidak hanya memberikan bekas kebaikan pada umat Islam, lebih dari itu, mampu menjadi jalan hidayah bagi orang Nasrani untuk masuk Islam. Sebagaimana disebutkan:
مَرَّ نَصْرَانِي مِنْ مُبَاشِرِ القَلْعَةِ يَوْمًا فِي السَّحَرِ، فَسَمِعَ قِرَائَتَهُ، فَرَقَّ قَلْبُهُ وَأَسْلَمَ عَلَى يَدَيْهِ.
Artinya, “Seorang Nasrani lewat di depan menara (masjid) pada waktu sahur, maka ia mendengar bacaan (Al-Qur’an) Imam Al-Bulqini, kemudian hatinya bergetar dan masuk Islam di hadapannya.” (Al-Bulqini, Muqaddimah Mawaqi’ul Ulum min Mawaqi’in Nujum, [Darus Shahabah lit Turats, cetakan empat: 2007, tahqiq: Muhammad Anwar al-Mursi], halaman 13).
Demikian biografi singkat dan salah satu karamah Imam Al-Bulqini. Semoga dengan membacanya, kita bisa meneladani kepribadiannya dan menambah semangat untuk memperdalam ilmu Islam. Amin.