Membicarakan budaya sama halnya dengan membicarakan segala aspek kehidupan manusia, sebab budaya memiliki cakupan yang sangat luas. Budaya berkenaan dengan keseluruhan cara hidup manusia dan juga berkenaan dengan bentuk, struktur fisik dan lingkungan sosial yang memengaruhi hidup masyarakat.

Kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang dan diterima eksistensinya oleh semua anggota masyarakat merupakan budaya. Budaya dapat dibentuk dan membentuk pola-pola kehidupan masyarakat itu sendiri. Nasrullah (2012:15) kebudayaan terdapat suatu nilai yang disepakati bersama dan diwariskan pada generasi berikutnya.

Dalam tulisan ini, penulis akan membahas budaya dalam perspektif semiotika yakni budaya sebagai simbol atau tanda. Cliffort Geerzt dalam Martin dan Nakayama (1997:47) mengartikan budaya sebagai nilai yang secara historis memiliki karakteristik dan dapat dilihat dari simbol-simbol yang muncul yang memaknai budaya sebagai karakteristik budaya tersebut. Simbol tersebut mengandung makna yang terus berkembang seiring dengan pengetahuan manusia dalam menjalani kehidupan.

Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tentang tanda yang diberikan makna oleh manusia dalam kehidupannya. Semua yang hadir dalam kehidupan dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberi  makna (Hoed, 2014: 5). Tanda adalah segala sesuatu seperti warna, isyarat, objek, rumus, kata-kata, gambar, bunyi, dan gerak tubuh yang merepresentasikan sesuatu yang lain selain dirinya (Danesi, 2004: 6).

Dengan perspektif semiotik, penulis berharap dapat menemukan dan mengeksplorasi yang terkandung dalam suatu budaya baik makna secara eksplisit maupun implisit. Dalam tulisan ini, kebudayaan yang akan dibahas dengan perspektif semiotik adalah Petik Laut. Petik Laut adalah salah satu kebudayaan yang terdapat di Madura. Namun Petik Laut yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah Petik Laut yang biasa dirayakan oleh masyarakat Gili Genting.

Petik Laut adalah sebuah perayaan laut. Kata Petik Laut diambil dari bahasa Madura yaitu Rokat Tase’. Rokat merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu Ruwat yang bermakna syukur kepada Allah. Hingga saat ini yang biasa digunakan oleh masyarakat Gili Genting adalah Petik Laut.

Petik Laut diartikan sebagai bentuk syukur masyarakat Gili Genting – yang 90% masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan – kepada Allah Swt. setelah mereka memetik hasil laut. Setelah dipetik hasil lautnya lalu melakukan selamatan dengan perayaan laut. Dengan demikian disebutlah perayaan Petik Laut (Asmar: wawancara).

Tradisi ini sebenarnya merupakan tradisi serapan atau diadaptasi dari tradisi masyarakat Jawa Tengah. Tepatnya di pantai area Nyi Roro Kidul terdapat tradisi Rowat Segoro. Tradisi ini dimaknai sebagai pemberian sesajen terhadap Nyi Roro Kidul. Hingga sampai pada masyarakat Madura, tradisi Rowat Segoro mengalami pergeseran makna menjadi perwujudan rasa syukur terhadap nikmat Laut yang diberikan oleh Allah Swt.

Pelaksanaan tradisi Petik Laut di Gili Genting pertama kali dilakukan oleh komunitas nelayan di Desa Gedugan dengan sumbangan dana dari masyarakat setempat. Hingga saat ini hampir semua desa di Gili Genting juga melaksanakan perayaan Petik Laut setiap tahun. Di Desa Gedugan sendiri Petik Laut rutin dilaksanakan pada bulan Mei selama 3 hari.

Pada pelaksanaannya, Petik Laut ditempatkan di pantai dengan berbagai macam kegiatan dan hiburan. Hari pertama diisi oleh selamatan dengan pengajian-pengajian dan ceramah keagamaan.

Kemudian hari kedua diisi oleh berbagai penampilan anak-anak dan para pemuda pemudi berbakat desa Gedugan seperti tarian-tarian khas Madura. Dan hari ketiga merupakan hari puncak dari perayaan Petik Laut,  diisi oleh pawai perahu nelayan yang dihias dengan sangat indah. Pawai perahu tersebut berjalan mengelilingi Pulau gili Genting.

Dalam pawai ini ada acara yang sangat sakral yaitu Col-Ocolan atau Larung Perahu. Larung perahu dimaksudkan untuk menolak segala balak yang mungkin akan terjadi di laut. Larung perahu adalah perahu berukuran kecil yang dihias dan terdapat beberapa hal yang disertakan seperti sesajen ayam hidup dan ayam mati. Bubur dengan 5 warna yaitu warna kuning, merah, hitam, biru, dan putih. Kemudian perahu tersebut dilepas di tengah lautan.

Perayaan Petik Laut yang rutin dilakukan oleh masyarakat Gili Genting merupakan budaya yang turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Apabila kembali pada definisi budaya, Petik Laut sebenarnya dibentuk atas dasar lingkungan sosial masyarakat dan struktur fisik Gili Genting yang memengaruhi hidup mereka yakni berprofesi sebagai nelayan dan pulau Gili Genting yang dikelilingi lautan. Budaya ini juga dengan secara tidak langsung membentuk pola-pola kehidupan mereka yakni senantiasa menjaga kelestarian laut.

Larung perahu yang dilepas di tengah lautan sebagai sebuah penanda yang memiliki makna bahwa perahu tersebut diibaratkan membawa balak yang kemudian dilepas di tengah lautan dengan harapan para nelayan tidak mendapatkan balak tersebut.

Kemudian ayam hidup disertakan dengan harapan dapat mengemudi perahu tersebut dengan baik. Ayam tersebut diibaratkan sebagai nahkodanya. Dan yang terakhir adalah bubur dengan lima variasi warna sebagai penanda.

Adapun petanda atau makna yang terkandung di dalamnya adalah lima warna melambangkan lima rukun Islam yang wajib diketahui dan ditaati oleh setiap umat Muslim. Mengapa mesti rukun Islam? Karena budaya dibentuk oleh kondisi lingkungan sosial suatu tempat, 100% masyarakat Gili Genting beragama Islam.

Setiap tanda merepresentasikan makna lain di luar tanda itu sendiri. Bubur 5 warna merepresentasikan makna yang berbeda di luar makna bubur itu sendiri.

Kajian makna ini hanya dapat ditelaah dengan menggunakan perspektif semiotik. Makna-makna yang terkandung dalam perayaan Petik Laut tidak mungkin untuk diubah namun selalu berkembang mengikuti perkembangan lingkungannya.

 

Leave a Response