Dari tepi jalan seberang pom Maesan, saya mengedarkan pandang ke sekeliling sawah. Langit tampak cerah ketika kaki menapakkan diri di antara bebatu yang berfungsi sebagai pembatas makam. Saya sedikit menemui kesulitan kala menyibak rumput setinggi lutut, semak belukar liar, daun berserakan serta hijau lumut.

Kendati begitu, gaya Eropa pada makam masih menyisakan kesan bersahaja. Beberapa kamboja tua yang menggugurkan bunga-bunga menambah keyakinan bahwa yang beristirahat di alam sana adalah sosok dicinta.

Berdiri di bujur makam, saya memandang epitaf nisan berupa tulisan “Hier Rust Djemilah Birnie, Geb: 30 Juni 1845. Overl: 14 April 1906”.

Kalimat ini kira-kira berbunyi “Di sini beristirahat Djemilah Birnie, lahir 30 Juni 1845, wafat 14 April 1906.” Mendapati tahun sebelum ia bersemayam, saya termangu membayangkan kehidupan pribumi yang berasal dari Madura ini.

Ketika sistem tanam paksa mencapai puncak kejayaan, Belanda mendatangkan banyak pekerja dari Madura guna mengembangkan sektor perkebunan. Saat itu, Jember masih menjadi wilayah Distrik dari Afdeling Bondowoso. Sektor tembakau yang memiliki mangsa pasar di Eropa menjadi komuditas utama yang dikembangkan di wilayah Tapal Kuda.

George Birnie, lelaki kolonial keturunan Skotlandia memanfaatkan kesempatan ini. Ia mendirikan perusahaan bernama Landbouw Maatschapij Oud Djember (LMOD). Dibentuk pada tahun 1859, perusahaan ini memiliki 440 gudang penyimpanan dan pengolahan dengan keseluruhan luas 80.000 kaki. Apabila semua gudang digabung menjadi satu atap, konon setara dengan jalanan sepanjang Rotterdam hingga Schveningen.

Rupanya, selain mengembangkan bisnis tembakau, George Birnie memiliki misi lain. Ia menikahi Rabina sebagai istri sah. Bukan sebagai gundik. Langkah ini diikuti partner kerja yang tidak lain adalah sepupunya, Gerhard David Birnie. Pilihan Gervard jatuh pada Djemilah.

Agaknya, Rabina dan Djemilah cukup beruntung. Sebab pada saat bersamaan, lelaki kolonial biasanya memelihara gundik. Perekrutannya terdapat beberapa cara. Bisa diambil dari salah satu pelayan rumah. Dicari jongos si tuan ketika tuannya memerintahkan mencari perempuan. Atau dengan cara yang sangat menyakitkan, yakni dijual keluarga atau suami sendiri.

Nasib para perempuan yang menjadi istri simpanan ini memang berubah. Ia tak akan lagi mengenakan kebaya kusam seperti yang dipakai sehari-hari. Tetapi dari sisi lain, status sosialnya justru makin menyusut. Selain gereja melarang pernikahan antara lelaki kolonial dan perempuan pribumi, hal ikhwal berupa memperlihatkan ke publik adalah bentuk aib.

Tak ayal kebanyakan lelaki kolonial memilih menyembunyikan gundik. Fakta ini memperkuat status keabu-abuan perempuan yang dipanggil nyai ini. Di kalangan kolonial para nyai disetarakan dengan pelacur, sedangkan dari kalangan bangsa sendiri, mereka memiliki derajat gengsi.

Pada akhirnya, martabat yang terkesan lebih tinggi hanya tersaji di pelupuk mata saja sebab nyai ini tidak memiliki hak apa pun. Mereka tak ubahnya properti pelengkap. Bahkan tak jarang orang Eropa menyebut mereka sebagai Meubel karena bisa dipindahtangankan ke lelaki Belanda lainnya.

Fenomena ini berlangsung sangat lama. Ann Stoler dalam Making Empire Respectable menyebut penyebab awetnya keadaan ini karena kolonial menganggap pergundikan sebagai peruntungan dari segi politik dan kesehatan lelaki Belanda. Mereka tak perlu repot mendatangkan perempuan Eropa, dan tak perlu pusing tertular penyakit kelamin yang tersebar di rumah bordil.

Takdir sial pada nyai masih berlanjut. Neraka busuk masih dialami ketika mereka melahirkan keturunan. Putra dan putri yang lahir dari farji sendiri tidak dianggap sebagai orang Eropa. Citra antar rasa begitu kental terasa. Aturan mengenai pengakuan keturunan yang dikeluarkan pada 1828 menyebutkan bahwa apabila si ayah tak ingin mengadposi anaknya, pendaftaran kelahiran tetap bisa dilakukan dengan menyandang nama ayah dengan penulisan terbalik.

Ketika peraturan lain menyusul, yakni pasal 40 dan 354 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tahun 1848 menyebut bahwa anak-anak hasil pergundikan yang diakui dan diadopsi sang ayah, maka secara hukum hubungan dengan ibu kandungnya akan gugur. Ketidakberdayaan perempuan kian dijajah lelaki.

Inilah yang terjadi pada Nyai Ontosoroh dalam novel Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer. Manakala sang suami meninggal, hak asuh anak tidak jatuh pada sosok yang melahirkan. Sekuat apa Nyai Ontosoroh berjuang, ia tetap kalah di hadapan hukum kolonial. Annelis, sang anak, tetap jatuh di tangan hak asuh Maurits.

Mengingat kerapuhan nyai di mata lelaki kolonial, saya betul-betul tergagap membayangkan masa silam Djemilah Birnie. Tentu Gervard mencintainya sebagai istri, bukan sebagai pelayan hasrat seksual. Sebagaimana Raja Shah Jahan membangun Taj Mahal sebagai bukti cinta pada Mumtaz Mahal. Rasa-rasanya mustahil Gervard memakamkan Djemilah dengan arsitektur megah seperti ini kalau bukan karena cinta.

Apalagi di dalam komplek pemakaman, terdapat tiga makam berukuran lebih kecil. Konon katanya, makam tanpa nisan ini adalah makam anak Djemilah dan Gervard. Barang tentu kehidupan Djemilah lebih mujur daripada nyai-nyai bernasib tragis yang dipisahkan dengan anak sendiri.

Saya kira, usaha Gervard memperjuangkan feminisme patut diapresiasi. Kendati sebatas sejarah yang hanya ditemui lewat makam Djemilah di Maesan—perbatasan Jember dan Bondowoso—setidaknya feminisme harus senantiasa digalakkan. Ia harus diperjuangkan, mengingat perempuan kerap dipandang sebatas selangkangan yang tidak memiliki pilihan ketika diganyang di atas ranjang.

 

Leave a Response