Mengkaji pendapat ulama dalam mazhab itu membuat kita mengerti cara berpikir tertib dan sistematis. Tidak serampangan asal comot opini atau fatwa ulama. Para Kiai di pesantren terlatih untuk mengikuti cara berpikir yang ilmiah ini—tidak sebagaimana cibiran kalangan tertentu seolah para kiai itu kuno, kolot, dan tidak ngilmiah.

Kitab Fathul Mu’in dengan Hasyiah-nya I’anatut Thalibin, sebuah kitab Mazhab Syafi’i yang banyak dipelajari dan dipedomani di pesantren-pesantren membicarakan bagaimana seharusnya bermazhab.

Dalam kitab itu disebutkan bahwa dalam bermazhab (demikian juga dalam memberikan fatwa dan memutuskan hukum di pengadilan), pendapat yang harus dipedomani adalah pendapat yang disepakati oleh Imam Nawawi dan Imam Rafi’i.

Akan tetapi jika keduanya berbeda pendapat, pendapat Imam Nawawi-lah yang harus dijadikan pedoman. Apabila tidak ditemukan pendapat Imam Nawawi, barulah dipedomani pendapat Imam Rafi’i, lalu pendapat yang dinyatakan rajih (kuat) oleh sebagian besar ulama, dan seterusnya.

Dari sisi kitab, jika kitab-kitab karya Imam Nawawi saling berlainan antara yang satu dengan yang lain maka—secara berturut-turut—kitab yang harus dijadikan rujukan ialah kitab at-Tahqiq, al-Majmu’, at-Tanqih, ar-Raudhah, al-Minhaj, dan seterusnya. Cara pandang dan sikap seperti itu terdapat pula di lingkungan mazhab lain.

Lantas bagaimana kalau terjadi perbedaan riwayat dalam memahami hasil ijtihad Imam Syafi’i? Maka Imam Nawawi dalam kitab al-Minhaj pun menjelaskan berbagai istilah yang dipakai dalam mazhab Syafi’i. Sekedar menyebutkan contoh saja:

Pertama, Al-Adzhar ( الأظهر): yaitu pendapat Imam Syafi’i yang lebih diunggulkan ketika argument beliau sama-sama kuat antara dua pendapat atau lebih. Kedua, Al-Masyhur (المشهور ): pendapat Lmam Syafi’i yang diunggulkan (al-Rajih) dari beberapa pendapat sang Imam yang argumentasinya lemah, alias dalil-dali dari pendapat yang dikatakan sebagai masyhur itu kuat dan dalil-dalil yang menyimpulkan hukum yang lain lemah, yaitu al-gharib ( الغريب ).

Ketiga, Al-Ashah ( الأصح ): Apabila terjadi perbedaan pendapat antara dua atau lebih pendapat ulama Syafi’iyyah, dan kedua pendapat yang bertentangan tersebut sama-sama kuat dari segi dalilnya, maka pendapat yang dipandang lebih rajih disebut dengan al-Ashah. Sedangkan pendapat ulama Syafi’iyyah yang tidak kuat disebut dengan ash-Shahih. Keempat, Al-Nash ( النص ): pendapat atau ucapan sang Imam as-Syafi’i, sedangkan lawan dari al-nash (النص) yaitu dhoif (ضعيف) atau qoul mukhorroj (قول مخرج), maka lawan dari al-nash ( النص ) tidak boleh diamalkan serta tidak boleh juga disandarkan (pendapat itu) kepada sang Imam kecuali dengan memberikan catatan.

Ini sebabnya Anda tidak bisa dianggap pakar dalam bidang ilmu apa pun kalau belum berpikir secara runtut, tertib, dan sistematik sesuai disiplin ilmu tersebut. Itu yang membuat para kiai di pondok pesantren sangat berhati-hati dalam memberikan fatwa.

Sebagai santri, tentu kita belum ada seujung kuku ilmunya para Kiai. Bahkan saat berbeda pandangan dengan para kiai pun kita tidak boleh su’ul adab. Mari kita doakan semoga Allah merahmati para Kiai, masyayikh dan guru-guru kita dan kita diberi ‘cipratan’ cahaya dan rahasia ilmu-ilmu mereka. Amin.

 

Ket: Artikel ini pernah diterbitkan di Suarapesantren.org yang dikelola oleh Pusat Studi Pesantren

Leave a Response