Isu tentang radikalisme dalam konteks agama tidak pernah ada ujungnya. Hampir setiap tahun ia selalu memenuhi pemberitaan di berbagai media. Ini membuktikan bahwa radikalisme adalah masalah serius sekaligus masyhur diketahui oleh masyarakat Indonesia secara umum.

Namun demikian, karena kemasyhurannya tersebut, pengertian mengenai makna dan hakikat readikalisme justru menjadi kabur. Radikalisme akhirnya hanya menjadi sebuah istilah untuk mencirikan organisasi kemasyarakatan dan keagamaan tertentu.

Untuk mengetahui pemahaman dasar tentang hal itu, mula-mula kita harus tahu terlebih dahulu apa itu radikalisme agama dan apa saja ciri-cirinya.

Mufti Syekh Yusuf Qardhawi dalam bukunya yang berjudul al-Ṣaḥwah al-Islāmiyah baina al-Juhūd wa al-Taṭarruf mengulas tentang tema ini dengan lugas dan sangat apik. Ia menyebut Radikalisme dengan istilah al-taṭarruf adalah bermakna berdiri di ujung, jauh dari tengah-tengah (al-wuqūf fī al-ṭarfi, baīdan ‘an al-wasaṭ).

Lebih lanjut, Syekh Yusuf juga menjelaskan bahwa pada dasarnya istilah al-taṭarruf (radikalisme) dikonotasikan pada hal-hal yang sifatnya kongkret (al-ḥissiyāt). misalnya berjalan berlebihan, berdiam diri berlebihan, makan berlebihan, dan seterusnya.

Namun, kemudian istilah tersebut juga digunakan pada hal-hal yang sifatnya abstrak (maknawiy). Seperti halnya berlebihan dalam beragama, berlebihan dalam berpikir, dan berlebihan dalam bersikap. Nah, dari sinilah kemudian muncul istilah radikalisme agama (al-taṭarruf fī al-dīn).

Dengan pemaknaan dan pengertian radikalisme seperti ini, secara sederhana Syekh Yusuf Qardhawi hendak memberikan gambaran secara umum (ijmālan). Bahwa, keberadaan virus radikalisme bisa ditandai dengan pola pikir yang cenderung berlebihan, tidak moderat.

Masih di dalam buku yang sama (hlm. 39), menurut Syekh Yusuf Qardhawi ada lima (5) karakteristik atau ciri-ciri radikalisme. Ciri ini bisa dijadikan sebagai tanda/barometer untuk menilai apakah seseorang atau sekelompok orang telah mengidap virus radikalisme ataukah tidak.

Ciri pertama radikalisme adalah fanatik terhadap pendapatnya sendiri dengan menafikan pendapat lain yang boleh jadi lebih sesuai dengan tujuan-tujuan syariat (maqāṣid al-syarī’ah).

Sikap fanatik seperti ini tentu menutup ruang perbedaan pendapat dengan mengklaim pendapat mereka sebagai kebenaran mutlak. Klaim kebenaran (claim truth) yang demikian akan menutup rapat-rapat pintu dialog dan ruang diskusi untuk bersama-sama mencari kebenaran.

Pola pikir seperti inilah yang dikecam oleh Syekh Yusuf Qardhawi lantaran cenderung menyesatkan dan menganggap rendah siapapun yang berbeda pendapat dengannya. Kalau sudah demikian, kata Syekh Yusuf Qardhawi, maka tidak akan ditemukan titik temu (kalimah al-sawa’) di antara perbedaan pendapat yang terjadi.

Hal lain yang juga menjadi ciri-ciri seseorang atau sekelompok orang telah terkontaminasi oleh virus radikalisme adalah corak keberagamaannya yang cenderung ekstrem (Tasyaddud) dan mempersulit diri (ta’sīr). Dengan kata lain, ia hanya mau melaksanakan hukum azīmah, dan menolak keras untuk melaksakan hukum rukhṣoh.

Dan parahnya, ia mengklaim seseorang yang melakukan hukum rukhṣoh sebagai orang yang tasāhul fī al-dīn (bersikap enteng dalam beragama) dan tahāwun bi ahkām al-shar’iy (menyepelekan hukum syariat). Padahal dalam keterangan Abdullah bin Umar, Nabi Saw. pernah bersabda:

 إن الله يحب أن تؤتى رخصه، كما يكره أن تؤتى معصيته

Artinya: “Sesungguhnya Allah suka jika rukhṣahnya dilaksanakan, sebagaima Allah membenci bila kemaksiatan dilakukan” (Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad, Hal. 107, Juz. 10).

Kecenderungan lain yang juga menjadi representasi dari sikap tasyaddud-nya adalah menganggap hal-hal yang sunnah seakan-akan wajib dan hal-hal yang makruh dianggapnya sebagai sesuatu yang haram.

Sikap ekstrem demikian sebenarnya tidak menjadi persoalan ketika diterapkan untuk dirinya seorang, yang menjadi persoalan adalah ketika sikap ekstrem tersebut juga diwajibkan kepada orang lain.

Yusuf al-Qardhawi mengkritik hal ini sebagai sikap mewajibkan orang lain untuk melaksanakan apa yang tidak diwajibkan oleh Allah Swt. (Ilzām jumhūr al-naṣ bimā lam yalzamhum allāh bih).

Hal lain yang juga menjadi ciri-ciri dari radikalisme adalah kasar dalam berinteraksi, keras dalam berbicara, dan emosional dalam dalam berdakwah. Beberapa hal tersebut sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam yang disampaikan oleh baginda Nabi Muhammad Saw.

Strategi dakwah yang dilakukan Nabi Saw. lebih mengedepankan sikap yang santun dan lembut. Karena strategi dakwah yang demikianlah yang akan mendatangkan simpati dan rasa nyaman dalam beragama. Dalam sebuah hadis Nabi Saw. bersabda :

مَا دَخَلَ الرِّفْقُ عَلَى شَيْئٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا دَخَلَ الْعَنْفُ فِى شَيْئٍ إِلَّا شَانَهُ

Artinya: “Rasulullah Saw. bersabda ‘Tidaklah sikap lembut memasuki sesuatu, melainkan pasti menghiasinya. Dan tidaklah kekerasan itu memasuki sesuatu, kecuali pasti menodainya”. (Yusuf Al-Qardhawi, al-Ṡahwah al-Islāmiyah Baina al-Juhūd Wa al-Taṭarruf : hal. 47).

Menurut Syekh Yusuf Qardhawi, cara pandang yang juga menjadi ciri-ciri radikalisme adalah mudah menuduh buruk orang lain. Menuduh buruk di sini adalah menilai pandangan atau pendapat orang lain sebagai sesuatu yang buruk, tidak memberi celah sedikit pun untuk menilai baik orang lain.

Kelompok orang-orang seperti ini pada biasanya sering menuduh pandangan atau pendapat orang lain dengan tuduhan yang bukan-bukan. Misalnya, ketika ia melihat ahli fikih berfatwa dengan fatwa yang meringankan, maka dia akan menuduh orang tersebut sebagai orang yang main-main dalam agama. Padahal semangat agama memang meringankan, bukan memberatkan (baca ; Qs. al-Baqarah : 185).

Satu contoh lagi, ketika ia melihat seseorang yang berusaha mengkontekstualisasikan ajaran Islam sesuai tuntutan zaman, maka dia akan mengklaim orang tersebut sebagai orang yang mengada-ada dan telah kalah mental dari budaya Barat. Tentu ini pandangan yang salah. Bukankah Islam sebagai agama pamungkas memang harus selalu survive dengan perubahan zaman?

Pandangan buruk seperti ini lahir dari perasaan bangga diri (al-i’jāb bi al-nafsi) dan merendahkan orang lain. Dan perasaan seperti inilah yang dahulu kala juga pernah menimpa iblis ketika diperintahkan oleh Tuhan untuk sujud kepada Nabi Adam As.

Di penghujung pembahasannya tentang ciri-ciri radikalisme, Syekh Yusuf Qardhawi menyebutkan bahwa puncaknya adalah mencederai kesucian (‘iṣmah) orang lain. Di samping juga menghalalkan darah dan harta orang lain dengan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.

Gelombang takfīri seperti ini dahulu juga pernah terjadi pada suatu kelompok yang disebut dengan Khawarij. Ciri kelompok ini adalah semangatnya yang begitu tinggi untuk menuduh orang-orang yang berbeda. Mereka menganggap kelompok yang berada di luarnya sebagai orang yang telah keluar dari agama Islam (murtad), atau tidak pernah masuk Islam sama sekali (kafir).

Mudah menuduh kafir orang lain jelas bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Saw. Dalam sebuah hadis Nabi Saw. bersabda : “Barangsiapa berkata kepada saudaranya, ‘hai kāfir”, maka kata tersebut kembali kepada salah satu dari mereka”. Artinya jika ternyata tidak ada kekafiran dalam diri orang yang dipanggil kafir, maka klaim kafir tersebut kembali dan menempel pada orang yang mengucapkannya.

Sebagai penutup, akan saya kutip komentar Gus Baha’ atas kelompok takfīri ini yang sering beliau ungkapkan dalam berbagai forum kajian. Kata beliau, “Benar apa tidak kelompok takfīri yang sering mengkafirkan orang lain? Pasti tidak benar! Orang yang kafir tujuh puluh tahun saja dengan melafazkan lā ilāha illallāh menjadi muslim, masa dengan kalimat  yang sama (lā ilāha illallāh) yang muslim lalu menjadi kafir!?”.

Leave a Response