Fenomena COVID-19 memang sebuah kejadian luar biasa (KLB) yang mampu meluluhlantakkan seluruh sendi dan aktivitas kehidupan, tak terkecuali aktivitas keagamaan.

Muncul seruan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, juga organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), tak ketinggalan tokoh-tokoh agama tentang pentingnya meningkatkan kewaspadaan terhadap penularan virus COVID-19 yang sangat cepat ini untuk membatasi aktivitas di luar rumah.

Tak terkecuali aktivitas ibadah seperti salat Jumat dan salat berjamaah, juga aktivitas keagamaan lainnya seperti pengajian umum, tabligh akbar, bahkan dalam skala yang lebih kecil majelis-majelis taklim yang tak terhitung jumlahnya di setiap perkampungan, kompleks perumahan dan yang lainnya. Semua adalah upaya untuk memutus mata rantai serta mencegah penularan virus COVID-19 yang sangat membahayakan ini.

Apa yang mereka serukan adalah demi menjaga keselamatan diri serta jiwa setiap individu. Hal ini sesuai dengan salah satu dari sekian tujuan syariat (maqashid al-syari’ah), yakni hifzh al-nafs (menjaga diri/jiwa).

Ironisnya, tidak sedikit dari masyarakat yang kemudian memahami seruan ini dengan sikap emosional, bahkan menuduh ada maksud-maksud tertentu di balik seruan pembatasan aktivitas keagamaan ini.

Narasi-narasi keagamaan pun muncul. Ungkapan seperti, “tidak perlu takut kepada corona, takutlah kepada Allah”, “ajal setiap manusia sudah ditetapkan, kalau belum tiba saatnya, tidak akan mati”, “masjid adalah tempat suci, tidak mungkin virus akan berani masuk ke masjid”, dan sejumlah narasi-narasi keagamaan lainnya yang seolah menunjukkan tingkat ketaatan yang tinggi. Tetapi sesungguhnya sebuah ungkapan yang sangat membahayakan, jika dipahami secara mentah-mentah tanpa penalaran yang baik dan waras.

Beragama itu tidak sekadar ghirah (semangat) menjalankan ritualitas, tetapi juga harus didasari oleh nalar-intelektualitas. Al- Dinu huwa al-‘aqlu, la dina liman la ‘aqla lahu.  Agama itu harus dipahami dengan nalar yang baik. Itulah mengapa dalam sejumlah ayat Alquran, Allah Swt. memerintahkan hamba-Nya untuk berpikir, menggunakan akalnya, memaksimalkan potensi nalarnya, mengembangkan intelektualitasnya.

Terkait virus COVID-19 ini, kita harus percaya dengan para ahli di bidang kedokteran, para ilmuwan yang mengkaji secara serius tentang bahayanya virus ini. Tidak cukup kita mengandalkan sikap tawakkal atau pasrah bongkokan tanpa ikhtiar, dengan meyakini bahwa jika kita orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah, maka kita akan kebal terhadap virus tersebut.

Apakah kita tahu, seberapa hebat keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah? Seberapa istimewanya kita di hadapan Allah? Jangan-jangan kita saja yang terlalu percaya diri merasa beriman dan bertakwa kepada Allah. Merasa dekat dengan Allah, sementara Allah justru menganggap sebaliknya? Who knows..

Jadi, alangkah bijaknya jika kita tetap waspada dengan virus COVID-19 yang tengah mewabah dan menjadi pandemik ini. Ikhtiar lahir batin sangat penting kita lakukan. Kita jaga kebersihan diri, mengonsumsi makanan dan minuman yang bergizi agar tubuh tetap fit dan imunitas tetap terjaga.

Mematuhi saran para ahli di dunia kesehatan dengan menjaga jarak dengan orang lain, tidak bersentuhan, menghindari kontak fisik untuk sementara waktu. Tetap di rumah jika tidak ada hal yang sangat mendesak. Serta mematuhi petuah para ulama dengan memperbanyak ibadah di rumah dengan zikir, berdoa memohon kepada Allah agar virus COVID-19 ini segera berlalu.

Sehingga kita semua bisa kembali menjalani hidup dan kehiudupan dengan tenang dan damai. Bisa beraktivitas lagi dengan baik; bisa belajar, bekerja dan beribadah dengan tenang.

Tetaplah beragama secara waras dengan akal sehat di tengah darurat COVID-19 ini. Hifzh al-Nafs (menjaga diri, menyelamatkan jiwa) jauh lebih penting dibanding sekadar menunjukkan ghirah (semangat) beragama.

Leave a Response