Dunia teknologi terus berkembang begitu cepat. Internet mencakup media sosial di dalamnya juga terus mengalami perkembangan. Hal ini belum dimanfaatkan betul untuk kepentingan dakwah Nahdliyin meskipun secara esensi nilai-nilai dakwah sudah mencukupi.
“Kita memiliki konten tapi kita terlambat menguasai IT,” kata Iip D Yahya, penulis, kepada 16 Kiai dan Nyai di Bali, Kamis (29/8).
Meskipun demikian, ia melihat ada harapan besar penguasaan teknologi akan lekas dimiliki oleh kaum santri guna menebarkan dakwah yang bersifat merangkul. “Dakwah kita ini, dakwah yang mengajak dan merangkul,” katanya.
Lebih lanjut, Iip mengungkapkan bahwa situs web juga perlu menyediakan wacana berbahasa daerah. Sebab, ia melihat tak kurang peminat atas konten-konten yang menggunakan bahasa daerah.
“Setiap web, usahakan ada kolom yang mengguanakan bahasa daerah. Itu pasti diminati pembaca dan akan memiliki banyak pengunjung,” ujar pria yang pernah menjadi Visiting Scholar di Universitas Michigan, Amerika Serikat itu.
Pandangannya ini bukan sekadar asumsi belaka. Ia melandasinya dengan fakta gandrungnya warganet terhadap pengajian KH Bahauddin Nur Salim atau yang akrab disapa Gus Baha dan pengajian Ihya Ulumiddin Gus Ulil Abshar Abdalla yang sarat akan bahasa daerah. “Saya senang saat ini kita memiliki Gus Baha dan Gus Ulil dengan ngaji Ihyanya,” ujar pria kelahiran Tasikmalaya 49 tahun yang lalu itu.
Oleh karena itu, Iip mengusulkan perlunya membuat pengajian daring (online) khusus menggunakan bahasa Bali. “Membuatkan Majlis Ta’lim Online berbasis kitab dengan pengantar Bahasa Bali,” ucapnya.
Menurutnya, salah satu faktor pengajian Gus Baha bisa banyak diakses di Youtube karena ada bahasa Jawanya. Sementara itu, Gus Ulil dengan ngaji Ihya yang disiarkan secara langsung di Facebooknya juga memiliki jamaah yang militan di media sosial.
Di samping itu, Iip juga melihat pentingnya pemanfaatan Bali sebagai objek pariwisata yang begitu dikenal luar masyarakat internasional. Hal itu dilakukan guna memperluas kerjasama dengan pihak-pihak yang selama ini belum tersentuh, seperti non-muslim, non-Indonesia. Karenanya, ia mencontohkan permintaan khusus kepada bule untuk menulis sejumlah artikel tertentu.
“Bali sebagai daerah pariwisata, dan didatangi banyak pelancong dari luar negeri dan dalam negeri harus dimanfaatkan untuk melakukan kerjasama. Misalnya minta para bule-bule menulis berita atau tulisan opini dengan tema yang kita tentukan,” jelasnya.
Hal yang tidak kalah penting, menurutnya, adalah penguasaan mendalam terhadap budaya Bali. “Kita harus belajar secara khusus dan mendalam terkait budaya Bali,” pungkas penulis buku Ajengan Cipasung: Biografi KH Ilyas Ruhiyat itu.