Jonathan Black alias Mark Booth, sarjana jebolan Oriel College, Oxford, dalam bukunya, Sejarah Dunia yang Disembunyikan, memberikan pertanyaan yang cukup menohok tentang sejarah: bagaimana jika sejarah—atau yang kita ketahui sebagai sejarah—ditulis oleh orang yang salah? Bagaimana jika semua yang telah kita ketahui hanyalah bagian dari cerita yang salah tersebut?
Ketika dikatakan bahwa generasi Muslim di Indonesia dewasa ini merasa tidak memiliki pahlawan (herolessness), dari kalangan Islam sendiri, mungkin kebanyakan di antara kita akan menyanggahnya. Kita punya Kiai Ahmad Dahlan, kita juga punya Kiai Hasyim Asy’ari. Keduanya merupakan mu’assis dua Ormas terbesar di negeri ini: Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama (NU).
Bahkan, kita mungkin juga akan mengatakan, tanpa darah-darah pejuang Muslim melawan penjajah, negeri ini tidak akan merdeka—frasa yang mungkin oleh sementara kalangan dipandang berlebihan karena menegasikan perjuangan non-Muslim. Dalam konteks sosial-keagamaan sendiri, kita punya Wali Songo, sebuah ikon dari damainya keberagaman di negeri ini, namun pada saat bersamaan menjadikan Islam sebagai ‘yang dominan’.
Akan tetapi bagaimana misalnya peran para Muslim tersebut tak dibukukan sejarah? Atau tertulis, tetapi tak dalam takaran yang proporsional? Memang benar bahwa sejarah mencatat mereka, namun bukan dalam ensiklopedi sejarah Nasional. Kita bisa setuju atau tidak ini disebut ‘deislamisasi’, tetapi Bung Karno sudah mengisyaratkan, mereka para ulama hanya menjadi abu, bukan api, dari sejarah itu sendiri.
Deislamisasi Sejarah
Pertanyaan terakhir Jonathan Black: bagaimana jika semua yang telah kita ketahui hanyalah bagian dari cerita yang salah, benar-benar harus kita cermati. Sebab, sejarah sebagai tulisan melahirkan kontinuitas bagi dirinya sendiri. Apa yang dituturkan sejarah tidak hanya menentukan kita di hari ini, tetapi juga segala yang akan terjadi di masa depan. Sementara deislamisasi itu tentu bukanlah sesuatu yang stagnan.
Jayakarta, kini bernama Jakarta, dibangun pada 22 Juni 1527 atau 22 Ramadan 933 H. Nama Jayakarta didasarkan pada surah al-Fath [48]: 1, tentang kemenangan paripurna—Jayakarta memiliki arti kemenangan paripurna. Fatahillah, menantu Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati menamai demikian sebagai rasa syukur terhadap keberhasilannya membumihanguskan Kerajaan Katolik Portugis di Pelabuhan Kelapa atau Sunda Kelapa.
Testamen imperialisme Paus Alexander VI dalam Perjanjian Tordesilas tahun 1494 direspon heroik oleh Sunan Gunung Jati. Tetapi sebagaimana para Wali Songo lainnya, kisah heroik tersebut tak terbukukan secara signifikan, kecuali bahwa dakwah Islamisasi mereka menggunakan pendekatan sufistik—penetrasi nilai Islam ke dalam kebudayaan setempat. Kebanyakan kita mendengar kisah Wali Songo, terkesan tak ubahnya dongeng belaka.
Empat ratus tahun sesudahnya, kemenangan paripurna bangkit kembali, dan Jakarta menjadi nama Ibu Kota Republik Indonesia, bersamaan dengan pembacaan naskah Proklamasi oleh Bung Karno pada Jumat Legi, 17 Agustus 1945 atau 9 Ramadan 1364 H. Bahkan, ideologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945 dipelopori oleh ulama, di antaranya Kiai Wachid Hasyim dari NU dan Kiai Bagus Hadikusumo dari Muhammadiyah.
Ketercatatan keduanya sebagai “Tokoh Nasional” bukan berarti sama sekali menghilangkan deislamisasi. Istilah ‘Nasional’ sendiri dipopulerkan oleh Centraal Sjarikat Islam, dalam National Congres Centraal Sjarikat Islam Pertama- 1e Natico di Bandung, 17-24 Juni 1916. Tetapi sejarah justru mencatat bahwa istilah tersebut dipelopori Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) besutan Bung Karno, di Bandung, 4 Juli 1927—sepuluh tahun sesudah CSI.
Setiap upaya perlawanan terhadap imperialisme disebut Nasionalisme, dan pelakunya disebut Nasionalis. Sayangnya, ulama dan santri sebagai pelopor perlawanan tersebut justru (di)absen(kan). National Congres Centraal Sjarikat Islam 1916 juga menuntut Indonesia merdeka, tetapi sejarah mengatakan bahwa pelopornya ialah Bung Karno, di depan pengadilan kolonial, di Bandung, sepuluh tahun sesudahnya.
Deislamisasi menjadi semakin kentara melalui, setidaknya, dua fakta: hari lahir Boedi Oetomo, 20 Mei 1908 diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Padahal menurut A.K. Pringgodigdo, bahkan ketika Kongres Boedi Oetomo di Solo, pada 1928, Boedi Oetomo tetap menolak pelaksanaan cita-cita persatuan Indonesia. Tetapi Kabinet Hatta 1948 mendesak umat Islam bersedia menaati 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Narasi Santri-Nasionalis
Bila direnungi, narasi tersebut sebenarnya mengandung unsur dikotomis: santri diibaratkan kalangan yang paham seluk-beluk keagamaan, tetapi kurang paham akan kenegaraan. Sementara Nasionalis dianggap paham seluk-beluk keagamaan, namun kurang mumpuni dalam bidang keagamaan. Dalam Pemilu 2019, narasi dikotomis ini menguat, ironinya santri selalu dianggap tidak pernah lebih tinggi dari Nasionalis—dianggap second class.
Tentu saja saya tidak sedang mengada-ada. Saya pikir juga setiap umat Islam di negeri ini menyadarinya. Dan yang jelas, saya pikir narasi demikian kurang tepat. Bila secara faktual santri memiliki peran yang sangat berarti dalam berdirinya NKRI, maka pada saat yang bersamaan mereka adalah Nasionalis. Nasionalis tak melulu soal abangan, tetapi barangkali sejarah tertulis telah menggiring mindset mendegradasi peran santri.
Hari Pendidikan Nasional diperingati setiap 2 Mei, konon didasarkan hari lahir Ki Hadjar Dewantara, pendiri Taman Siswa—awalnya merupakan komunitas Kebatinan Seloso Kliwon—pada tahun 1922. Karena sudah konsensus, mungkin kita merasa tabu untuk bertanya, kenapa tidak didasarkan kelahiran Kiai Ahmad Dahlan saja, pendiri Muhammadiyah pada tahun 1912, atau sepuluh tahun sebelum Taman Siswa berdiri.
Garis Nasionalis tampaknya memang sengaja dipisah dari ‘aroma’ santri, tetapi santri berjiwa Negara wajib ditambah gelar, yakni Santri-Nasionalis, seakan Nasionalisme tak pernah melekat dalam kesantrian itu sendiri. Padahal, slogan “Cinta Tanah Air Sebagian dari Iman (Hubb al-Wathan min al-Îmân)” tidak lahir kecuali dari kaum pesantren yang kecintaannya terhadap Negara inheren dalam status kesantriannya.
Masa Depan Kemerdekaan
Negara kita memang sudah benar-benar merdeka, dan pada 17 Agustus 2019, kemerdekaan kita sudah berusia 74 tahun. Kendati demikian, kewajiban kita untuk kemerdekaan ini belumlah final. Deislamisasi yang telah diulas barusan bisa saja dianggap bukan masalah, tetapi menurut saya, ia memiliki peran penting lahirnya Islam garis keras yang menginginkan NKRI Bersyariah—mengubah pola kenegaraan agar lebih religius.
NKRI Bersyariah merupakan respon sementara umat yang merasa bahwa marwah Islam diinjak-injak dalam kelas politik. Mereka tidak terima menjadi second class. Cita-cita tersebut, dalam tingkat keriskanan, setali tiga uang dengan cita-cita mengganti sistem Negara menjadi khilafah. Tetapi, sebagai gerakan politik, pelakunya tidak melulu santri, justru dalam hal ini term ‘santri’ memerlukan klasifikasi kembali.
Menjaga NKRI adalah tugas bersama. NU konsisten dengan kewajiban universal tersebut. Itulah kenapa gerakan kultural NU berusaha mengkonter sekuat tenaga kekuatan politik yang dapat memecah-belah bangsa, seperti paham radikal dan Islam transnasional. Di sinilah jiwa nasionalisme inheren dalam status kesantrian. Ini perlu diklasifikasi, sebab yang menyuarakan NKRI Bersyariah “tak jarang” juga kalangan yang lancar baca kitab kuning.
Ketika deislamisasi dianggap riil, ketidakterimaan sementara kalangan merupakan konsekuensi logis. Tetapi, penting dihayati bersama, ada yang lebih krusial daripada memperjuangkan hak ‘satu identitas’, yaitu menjaga kerukunan ‘semua identitas’. Kebhinnekaan merupakan sesuatu yang niscaya di negeri ini, dan merawat kesatuan adalah tugas utama demi masa depan kemerdekaan ini.
Apa yang akan terjadi pada kemerdekaan ini di masa depan, adalah hasil dari yang kita lakukan hari ini. Sistem kenegaraan sudah final, dan mementingkan hak secara egaliter, sehingga paham transnasional seperti gerakan khilafah tidak berguna, juga mesti dilawan. Langkah seperti ini merupakan personifikasi dua Ormas penjaga republik ini: Muhammadiyah dan NU. Mari Menuju Indonesia Unggul!