Duka Sigi, Pengingat untuk Bisa Hidup Bersama

“In the name of God who has created all human beings equal in rights, duties and dignity, and who has called them to live together as brothers and sisters, to fill the earth and make known the values of goodness, love and peace”

Human Fraternity Document, 2019

Berikut ialah pembukaan dokumen kemanusiaan yang dikumandangkan dengan optimis oleh Paus Fransisskus bersama Grand Syaikh Ahmad Al Tayyib belum genap 2 tahun sejak Februari 2019. Kala keduanya bersua dan mengikrarkan dokumen ini– yang mengentaskan segala latar  belakang identitas– sebagai seruan kepada masyarakat secara global untuk dapat “hidup bersama” atas nama kemanusiaan.

Karena melihat dan keprihatinan kemiskinan masih menjangkit, kesehatan yang semakin mencekam, ekonomi dunia yang merugikan masyarakt kecil, perselisihan hingga peperangan saudara maupun antar negara yang masih berlangsung di beberapa belahan bumi hari ini. Menjadi  ancaman serius untuk keberlangsungan hidup masyarakat  di seluruh pelosok dunia untuk dapat hidup nyaman dan tenang. Namun Pandemi datang dan optimisme itu seakan tenggelam kembali.

Belum benar-benar usai setelah dipukul Pandemi hampir setahun lamanya dan segala dampak yang diakibatkan oleh masalah kesehatan yang disebabkan Covid-19, Sigi, Indonesia, membumbungkan kabar duka atas nama kemanusiaan. Aksi terorisme yang merenggut satu keluarga tersebut kembali menjadi selimut hitam ditengah segala kesulitan bertahan hidup di tengah Pandemi.

Dalam kutipan wawancara Adi Briantika, Adriani Badrah selaku Direktur Celebes Institute dan Lian Gogali selaku Direktur Institut Mosintuwu sepakat. Bahwa teror MIT merupakan teror atas nama agama yang dalam hal apapun tak dapat dibenarkan dan harus diakhiri. (Dalam Artikel “Di Balik Pembunuhan di Sigi dan Biadadnya Teroris MIT Ali Kalora”).

Susah payah kita bertahan hidup di tengah kecamuk kesehatan global, kemiskinan– yang mungkin hanya menjadi fantasi semata–  dan di tanah yang katanya diciptakan suci oleh-Nya. Justru pertumpahan darah mengalir di atasnya dan kobaran api menyala untuk merenggut satu keluarga menjadi tumbalnya.

Betapa sulitnya hidup berdampingan di Indonesia. Padahal filosofi bangsa adalah Bhinneka Tunggal Ika? Andai saja Ir. Soekarno masih hidup hari ini. Betapa sedihnya beliau melihat negara yang dideklarasikannya justru merenggut nyawa rakyatnya yang sedang memeluk Tuhannya dalam doa.

Ihsan Ali-Fauzi dalam pengantarnya pada buku Ketika Agama Bawa Damai, Bukan Perang : Belajar dari “Imam dan Pastor” pada tahun 2017 Presiden Sukarno berpesan dalam “Membangun Dunia Kembali” (30 September 1960):

“Kita menginginkan satu Dunia Baru penuh dengan perdamaian dan kesejahteraan, satu Dunia Baru tanpa imperialisme dan kolonialisme dan exploitation de l’homme parl’homme et de nation par nation.”

Jika seperti ini impian proklamator kita, bagaimanakah seharusnya kita bisa menjadi saudara dalam kemanusiaan menjadi pertanyaan sekaligus optimisme yang harus terus dipupuk di negeri kita ini.

Kiranya  kita bisa melihat apa yang disampaikan oleh KH. Miftachul Akhyar, Ketua Majelis Ulama Indonesia yang baru saja dilantik untuk kepengurusan 2020-2025. Jika berdakwah itu mengajak bukan mengejek, merangkul buka memukul. Menyayangi bukan menyaingi, mendidik bukan membidik, membina bukan menghina. Mencari solusi bukan mencari simpati, membela bukan mencela.

Rasanya ketentraman dan kehidupan bersama semakin realistis untuk terjadi dan dihidupi oleh siapa pun. Percaya akan tatanan kerukunan dan kekeluargaan dalam kemanusiaan meski bukan dalam beda keimanan.  Juga sebenarnya Cinta Kasih-lah yang menjadi pijakan semua agama dalam mengajarkan dan pegangan hidup untuk umatnya, termasuk Islam.

Melalui Rasulullah saw., yang menakhtakan andil kemunisaan, cinta dan sikap welas asih di atas segalanya. Beliau begitu tulus mencintai dan menyayangi keluarganya, sahabat-sahabatnya, serta umatnya bahkan kepada mereka yang memusuhinya sekalipun. Teladan yang dituliskan oleh Muhammad Ghuffron dalam Resensi buku Muhammadku Sayangku karya Edi Ah Iyubenu.

Dan yang dapat direfleksikan ke dalam diri kita ialah sejauh mana kita dapat “hidup bersama” dan “bersama hidup” dengan saudara kita yang berbeda warna identitasnya. Menanggalkan terlebih dahulu latar belakang kegamaan, karena sejatinya tidak ada percakapan antar  iman sebelum adanya obrolan antarteman.

Sejauh mana kita mampu dan menjamin “kebebasan beragama” saudara kita, tetangga kita, teman kita, jika dalam pelukan doanya saja masih belum ada ruang aman untuk berkomunikasi dengan Tuhannya. Karena “menyerahkan kebebasannya berarti menyerahkan martabat, hak-hak asasinya bahkan kewajibannya” J. J Rousseau

Duka Sigi, Pengingat untuk Bisa Hidup Bersama

Leave a Response