Sejarah pergerakan nasional mengingat pers sebagai bagian penting dalam upaya untuk mengkampanyekan gagasan antar komunitas. Orang-orang Tionghoa, Arab dan pribumi memiliki media pers masing-masing untuk propaganda serta menunjukkan eksistensi. Inilah era di mana gagasan menjadi kontestasi, dengan segala atribut identitas dan suluh organisasi.
Pada awal abad XX, organisasi-organisasi kepemudaan dari kelompok pribumi dan Tionghoa bermunculan dengan semangat serta orientasi masing-masing. Sejarah Indonesia mengenal Boedi Oetomo, Indische Partij dan Sarekat Islam. Ketiganya menggunakan pers sebagai media untuk menyuarakan gagasan, menebar kampanye kepada pembacanya.
Boedi Oetomo memanfaatkan jaringan pers untuk mengkampanyekan ide-ide organisasi dan semangat pergerakan nasional. Pikiran dari tokoh-tokoh Boedi Oetomo tersebar di beberapa media, di antaranya De Locomotif, Bataviaasch Niewsblad, dan Jong Indie. Pada 1910, Boedi Oetomo membeli Darmo Kondo dengan modal f50.000 dari Tjhie Siang Ling, seorang pengusaha pers keturunan Tionghoa.
Sarekat Islam, yang awal mula bernama Sarekat Dagang Islam, memulai pergerakan pada tahun 1905 di Surakarta. Pada perkembangannya, Tirto Adhi Soerjo (1880-1918), seorang editor Medan Prijaji dan Poetri Hindia, mendirikan Sarekat Dagang Islam di Batavia pada 1910. Sarekat Islam kemudian menggunakan media Oetosan India untuk menyebarkan gagasan-gagasan organisasi, dengan penulis-penulis handal yang mengisi kolom-kolomya: Tjokroaminoto, Tirtoadisoerjo, Abdul Muis, Haji Agus Salim, Wignjadisastra dan Surjopranoto.
Sementara, Indische Partij menerbitkan Het Tijdshrift dan surat kabar De Express. Organisasi yang didirikan di Bandung, 6 September 1912 ini juga turut mengkampanyekan gagasan-gagasan dan semangat pergerakan melalui pers. Di antara penulisnya yang rajin menyebarkan propaganda, yakni Douwes Dekker.
Komunitas Tionghoa juga mewarnai sejarah pers pada masa pergerakan nasional. Di antaranya: Sin Po, Keng Po, Perniagaan/Siang Po (Batavia), Sin Tit Po, Pewarta Soerabaja dan Soeara Poeblik (Surabaya), Warna Warta dan Djawa Tengah (Semarang), Li Po (Sukabumi), Sin Bin (Bandung), Tjin Po dan Pelita Andalas (Medan), Sinar Sumatera (Padang) serta Han Po (Palembang).
Di antara pers-pers Tionghoa itu, Sin Po menjadi media penting yang berdampak besar pada masa pergerakan nasional. Sin Po tidak hanya bergerak pada logika bisnis semata, namun ikut mendorong gagasan kemerdekaan. Sin Po memiliki hubungan erat dengan pejuang-pejuang pergerakan nasional. Pada September 1925, WR Soepratman—pencipta lagu Indonesia Raya—menjadi wartawan Sin Po (Leo Suryadinata, 2010).
Orang-orang Arab juga menggunakan pers sebagai media propaganda kemerdekaan dan diplomasi. Kedua bersaudara, Mohammad Dzya Shahab dan Mohammad Asad Shahab membangun kantor berita: Arabian Pers Board (APB). Apa tujuannya? Jelas sekali untuk berkontribusi dalam perjuangan kemerdekaan, serta diplomasi untuk meminta dukungan dari komunitas Arab maupun negara-negara berbahasa Arab di kawasan Timur Tengah agar mengakui kemerdekan Indonesia (AM Shahab, 2017).
Pers Yahudi dan Gelombang Zionisme
Orang-orang Yahudi di Nusantara layak mendapatkan perhatian dalam relasi komunitas dan penggunaan pers sebagai media informasi pada masa pergerakan nasional. Sejarah komunitas Yahudi memang sayup-sayup terdengar dalam episode sejarah Indonesia. Meski dalam jumlah yang tidak besar, orang-orang Yahudi tersebar di Batavia, Bandung, Semarang, Surabaya, Malang dan beberapa kota kecil lain.
Di Sumatera Barat, orang-orang Yahudi bermigrasi dari berbagai kawasan, di antara pesisir utara Jawa, Semarang dan Cirebon. Di kawasan Sumatera Barat, orang-orang Yahudi terdiri dari berbagai golongan, di antaranya Yahudi Jerman, Yahudi Belanda, Yahudi Turki, Yahudi Calcuta dan Yahudi Arab.
Sementara, sebuah peraturan pencatatan sipil untuk orang Yahudi di Hindia Belanda, Het reglement op den burgerlijken stand, voor alle Christen en Joden memberi pengaruh besar bagi identitas sekaligus gerak komunitas Yahudi. Peraturan ini diterbitkan di Bogor, pada 18 Juni 1828. Melalui peraturan ini, Yahudi diklasifikasi menjadi dua kelompok, yakni Nederlandsc Joden (Yahudi Belanda) dan Vreemde Joden (Yahudi Asing). Catatan peraturan ini, termuat dalam Staatblad van Nederlandsc Indie (1839: 146).
Edith Franke, seorang Profesor dari University of Marburg Jerman yang meriset komunitas Yahudi di Asia Tenggara, mengungkap betapa susah melacak jejak orang-orang Yahudi di kawasan Nusantara. Hal ini tidak hanya karena komunitasnya yang sedikit, namun juga efek antisemitisme yang ekstensif, hingga menjadikan orang-orang Yahudi enggan menunjukkan identitasnya. Lebih lanjut, Franke mengungkap betapa ketidakmunculan orang-orang Yahudi diiringi dengan stereotype negatif tentang zionisme, teori konspirasi, Freemason dan beragam isu yang ditautkan secara serampangan.
Dalam artikel risetnya, Searching for Traces of Judaism in Indonesia, Edit Franke mengungkapkan betapa nilai-nilai Pancasila menjadi sangat penting sebagai payung harmoni untuk menjamin hak-hak orang Yahudi di Indonesia. Namun, di sisi lain, secara ekstrim narasi anti-semitisme dan kebencian terhadap orang-orang Yahudi cenderung meningkat dalam beberapa dekade terakhir.
Anti-semitisme berdasar bukan pada orang-orang dan penganut kepercayaan, namun pada imajinasi keyahudian (imaniged Jewishness). Imajinasi ini, tidak sekedar tertautkan pada simbol-simbol Israel dan zionisme, namun juga hal-hal yang terkait dengan Amerika Serikat serta negara-negara aliansi Israel (Hunter, 2013: 49).
Meski antisemitisme menjadi gelombang yang memecah komunitas Yahudi di Nusantara hingga berkeping-keping, menelaah perkembangan Eretz Israel sebagai media komunikasi orang Yahudi menjadi sesuatu yang menarik. Selain pers dari Tionghoa, Arab dan pribumi, muncul juga gerakan dari orang-orang Yahudi untuk menyebarkan gagasan.
Orang-orang Yahudi di Padang, Sumatra Barat menerbitkan majalah Eretz Israel, sebagai media untuk menyebarkan gagasan dan informasi, terutama pada awal abad XX.
Sahabat saya, Romi Zarman, sedang meriset Eretz Israel sebagai media komunikasi orang-orang Yahudi di Nusantara. Ia mengungkapkan akan menerbitkan telaah atas Eretz Israel dalam serial panjang yang menjelaskan posisi media itu di antara arus komunitas orang-orang Yahudi Nusantara, serta konteks sosial dalam masa pergerakan nasional.
Dalam sejarahnya, Eretz Israel diterbitkan atas jasa penting S.I Van Creveld. Ia seorang tokoh penting Palestinafoundsen yang awalnya bermukim di Batavia, kemudian pindah ke pesisir barat Sumatra. Di Padang, Van Creveld menerbitkan Eretz Israel pertama kali pada September 1926. Eretz Israel merupakan satu-satunya majalah propaganda Zionis di Hindia Belanda, yang didistribusikan secara gratis di kalangan komunitas Yahudi dalam rangka propaganda terwujudnya Negara Yahudi di kawasan suci Jerusalem (Zarman, 2013).
Majalah ini hanya terbit dua tahun di Padang, Sumatera Barat. Sejak 1928, penerbitan Eretz Israel dipindahkan ke Bandung, Jawa Barat. Komunitas Yahudi di Jawa, Sumatera dan beberapa kawasan Nusantara terbantu dengan terbitan Eretz Israel, untuk menguatkan identitas mereka juga sebagai media penyambung informasi. Riwayat Eretz Israel berakhir ketika Jepang mengambil alih kolonisasi di Nusantara. Eretz Israel memang telah terkubur zaman, namun ia turut membentuk identitas orang-orang Yahudi di Nusantara.