Judul :Celurit Hujan Panas
Penulis : Zainul Muttaqin
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: Januari, 2019
Tebal : v + 150 halaman
ISBN : 978-602-06-2155-5
Hasil penciptaan batin manusia dan seluruh pengetahuan orang-orang Madura sebagian besar memang dipergunakan untuk memahami lingkungan-lingkungan sosial yang tengah menjadi pedoman bagi mereka-mereka setiap hari. Itulah yang biasa orang-orang katakan dengan etnis, budaya, tradisi, adat istiadat, dan juga kebiasaan yang bertahan kuat hingga kini.
Kebudayaan ini tentu tidak bisa ditebus dengan rupiah. Bahkan sebagian besar dari mereka-mereka menganggap bahwa keberadaan negri multikultural ini sangat elastis. Entah karena memang sesuai dengan pemikiran-pemikiran dan asas kesenian anak bangsanya, atau malah bertentangan dengan pemikiran tapi tetap dipertahankan. Sebut saja tradisi carok misalnya.
Etnis Madura memang terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan, masyarakat Madura juga dikenal sangat kuat, disiplin, dan rajin bekerja keras: abhantal omba’ asapo’ angen; berbantal ombak berselimut angin. Harga diri, juga paling penting dalam kehidupan masyarakat Madura, mereka memiliki anggapan: katembheng pote mata, angok pote tolang; ketimbang putih mata, lebih baik putih tulang. Sifat yang seperti inilah yang melahirkan tradisi carok pada sebagian masyarakat Madura.
Meski tradisi ini sangat bertentangan dengan nyawa manusia, tapi ini yang perlu dibahas tuntas terkait kenapa dipertahankan. Boleh pembaca tanyakan kepada penulis buku ini yang telah sudi mengupas tuntas keberadaan luas bumi Madura. Kenapa sih kok bisa begitu?
Boleh peresensi kini katakan: itulah kekayaan negeri yang harus dirawat dan kita jaga keberadaannya. Hingga kemudian terjadilah persatuan dan kesatuan orang-orang Madura ketika dilihat dari ragam jiwanya, kultur, budaya, tradisi, dan kebiasaan-kebiasaan seni lainnya yang hingga kini masih bertahan di tanah Madura.
Maka peresensi ingin memperjelas terkait keseharian orang-orang Madura yang erat kaitannya dengan carok, tandak, ojung dan tradisi yang lainnya. Meski Madura biasa melenceng dari sub kultur kelembutan, tapi hidup tetap tentram. Bisa jadi muncul suatu pertanyaan-pertanyaan dari sebagian orang di luar dugaan dan nalar-nalar keabsurdan, “apa sih itu carok, dan apa sih itu tandak?”
Mendengar kata celurit yang tampak di mata adalah Madura. Inilah kelebihan orang-orang Madura. Katakanlah kebiasaan amoral yang dirasa menakutkan. Sesuatu yang tengah menjadi kebiasaan memang sulit kita rubah. Apalagi sudah berkembang di kalangan jagad raya Madura.
Tradisi dan budaya ini memang identik dengan pikiran, kebiasaan, bahkan biasa disebut sebagai akal budi pekerti, tak ubahnya kepercayaan. Kerenanya, adat istiadat semacam ini memang murni warisan nenek moyang kita. Persis seperti cerita Zainul Muttaqin dalam buku Celurit Hujan Panas ini, bahwa Madura memang kaya. Baik kaya secara akal maupun kaya secara kultural.
“Satu tahun berikutnya, salah seorang warga Tang-Batang, Maksan, tewas oleh celurit Sukib. Kejadian itu juga terjadi saat hujan panas. Hanya saja persoalan keduanya tidak berkaitan dengan perempuan, melainkan kecurangan yang dilakukan Maksan saat karapan sapi. Perbuatan curang Maksan diketahui oleh Sukib. Dengan rupa emosi, Sukib bertandang ke rumah Maksan mengajaknya carok. Besoknya mereka bertanding di bawah pohon siwalan tanpa ada seorang pun yang mengetahuinya,” begitulah sedikit sinopsis yang ditulis Zainul Muttaqin dalam buku kumcer ini. Bahwa carok tak melulu berkaitan dengan perempuan, melainkan masalah karapan sapi nyawa pun ikut melayang. (hlm. 140)
Buku yang didominasi warna biru dengan penampakan satu perempuan dan dua laki-laki mengenakan baju Sakera ini banyak menceritakan kultur Madura secara utuh. Mengajak pembaca agar tahu kehidupan orang-orang Madura yang sebenarnya. Selain demikian, kedatangan buku ini juga menjadi pelopor (penunjuk arah) serta memperkenalkan kesuraman Madura pada bangsa Indonesia. Terlebih (mungkin) pada dunia.
Celurit Hujan Panas merupakan judul buku (kumpulan cerpen) yang benar-benar diambil dari sebagian alur-kisah cerita ini. Di dalamnya mengungkap tabir berlatar kisah di tanah Madura. Tak hanya carok, penulis juga bercerita Perempuan Leter, gadis muda yang kerap meriang tersebab ia jarang disayang. Tentang Landaur, bagi orang Madura sendiri dipercaya sebagai manusia heroik yang mempunyai tubuh besar seperti raksasa. Ada pun demikian, pencerita juga memperjelas perihal hikayat Lelaki Ojung, yang merupakan pertarungan menggunakan tali rotan yang hingga kini masih dianggap sebagai ritual mendatangkan hujan.
Madura yang dulu suram kini bangkit di tengah malam. Menyeruak di tengah peradaban dan perbincangan hangat arus budaya. Tak ubahnya dulu hilang kini terang bak rembulan. Berbangga hatilah akan kedatangan buku kumcer ini yang merupakan himpunan cerita-cerita lokal sosio-kultural yang tengah mampu melambungtinggikan dan memperkenalkan keseharian orang-orang Madura di jagad kesusatraan Indonesia tanpa sedikitpun mengurangi rasa patuh kita terhadap substansi nilai yang ada.
Sebagai pembaca, buku ini sangat menarik dan merasa kehabisan bahasa kritik. Apalagi kata nyentrik. Dan inilah sepak terjang Madura lewat cerita yang sebenarnya. (*)