UIN/IAIN dengan Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU) melakukan perjanjian kerja sama pelaksanaan program sertifikasi pembimbing manasik haji yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas, integritas dan memberi pengakuan, serta menerapkan standarisasi kompetensi para pembimbing.
Sertifikasi pembimbing manasik haji adalah proses penilaian dan pengakuan pemerintah atas kemampuan dan keterampilan seseorang untuk melakukan bimbingan manasik haji secara legal dan profesional. Landasan hukum penyelenggaraan sertifikasi pembimbing manasik haji adalah berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nomor: D/223 Tahun 2015 tentang Pedoman Sertifikasi Pembimbing Manasik Haji dan Keputusan Dirjen PHU D/127/2016 tentang Perubahan Atas Keputusan Dirjen PHU D/223/2015, sebagai pedoman bagi semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan sertifikasi.
Riset yang dilakukan oleh Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama ini menelaah dan berusaha melakukan analisis untuk melakukan evaluasi penyelenggaraan sertifikasi pembimbing manasik haji, dengan menggunakan model CIPPO (Context, Input, Process, Product dan Outcome). Analisis Context meliputi tujuan dan manfaat penyelenggaraan kegiatan sertifikasi.
Dimensi input menganalisis peran dan tugas narasumber, asesor, prosedur administrasi calon peserta, persyaratan umum dan khusus peserta, penyelenggaraan sertifikasi (persiapan), kompetensi dan kurikulum. Selain itu, dilakukan juga telaah atas perencanaan pembelajaran dan materi pembelajaran, metode, pendekatan, sikap narasumber dan sarana.
Pada bagian process analisis difokuskan pada pelaksanaan pembelajaran program sertifikasi (teori dan praktik), dan monitoring. Selanjutnya, dimensi product memberikan eksplanasi tentang penilaian hasil pembelajaran dan kelulusan serta pelaporan.
Untuk dimensi outcome analisis diarahkan mengenai perubahan perilaku pada aspek bekerjasama, prakarsa, kualitas kerja (berdasarkan kepuasan pelanggan dan peningkatan kualitas diri pembimbing manasik).
Lokasi pengumpulan data dalam riset ini adalah di 10 UIN dan 2 IAIN, yaitu: UIN Sumatera Utara, UIN Imam Bonjol Padang, UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, UIN Sunan Gunung Djati Bandung, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, UIN Walisongo Semarang, UIN Sunan Ampel Surabaya, UIN Mataram, dan UIN Alaudin Makassar. Sedangkan untuk IAIN yaitu: IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan IAIN Purwokerto.
Adapun Waktu pengumpulan data dilakukan melalui 2 tahap yakni pada tanggal 2-11 September 2020 dan tanggal 12-21 Oktober 2020, yang melibatkan beberapa informan di antaranya peserta sertifikasi, narasumber, asesor, dan panitia penyelenggara (Kanwil Kementerian Agama Provinsi dan Kankemenag Kabupaten/Kota), serta Pengurus KBIH.
Temuan Penelitian
Setelah melakukan wawancara mendalam kepada 10 orang narasumber di 12 lokasi dan proses analisis data, maka riset ini menemukan beberapa hal penting sebagai berikut:
1. Perjanjian Kerjasama antara UIN/IAIN dan Ditjen PHU ditemukan terdapat ketidaksesuaian terkait SK penyelenggaraan sertifikasi (panitia, narasumber, asesor dan peserta) seharusnya penunjukan oleh Kepala Kanwil Kemenag Provinsi yang selanjutnya diganti oleh SK Rektor UIN/IAIN. Penanggung jawab kegiatan seharusnya oleh Kepala Kanwil Kemenag Provinsi, kemudian digantikan oleh Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN atau Dekan Fakultas Dakwah IAIN.
Adapun sasaran target pembimbing bersertifikat sebanyak 4.000 orang. Untuk diketahui, data pada 15 Juni 2020 jumlah pembimbing yang sudah bersertifikat sebanyak 6.751 orang.
2. Kualifikasi narasumber, asesor, dan persyaratan umum peserta sebagian besar sudah sesuai dengan peraturan. Sementara itu, informasi tentang pendaftaran, prosedur pendaftaran, prosedur pengumpulan berkas, prosedur penetapan calon peserta, dan koordinasi penyelenggaraan dengan Kanwil Kemenag Provinsi belum selaras dengan regulasi yang telah ditetapkan. Selain itu, hal yang tidak diatur selama proses sertifikasi adalah perangkat pembelajaran/bahan ajar, sarana dan prasarana, serta biaya mengikuti sertifikasi.
3. Kedisiplinan dan presensi peserta selama proses sertifikasi sudah berjalan dengan baik. Akan tetapi, penerapan kurikulum 75 JPL perlu ditinjau kembali. Adapun hal yang tidak diatur adalah tentang metode dan pendekatan program pembelajaran adalah: narasumber, media pembelajaran, agenda kegiatan/jadwal, perbandingan peserta dengan asesor, dan sarana/prasarana yang digunakan.
4. Pemberlakuan ketentuan kelulusan dan proses evaluasi sudah diterapkan sesuai peraturan. Sementara itu, proses pelaporan dan pengumpulan laporan kegiatan masih tidak sesuai dengan standar yang diberikan.
5. Dirjen PHU Kementerian Agama agar menghentikan sementara penyelenggaraan sertifikasi pembimbing manasik haji dengan melakukan revisi dahulu terhadap pedoman sertifikasi pembimbing manasik haji baik Keputusan Dirjen PHU D/223 Tahun 2015 maupun Keputusan Dirjen PHU D/127 Tahun 2016.
Dengan mempertimbangkan kondisi riil secara umum (misalkan: syarat peserta harus S-1), sehingga aturan/persyaratan yang diatur dalam pedoman sepenuhnya dapat diikuti/dipenuhi oleh calon peserta. Langkah yang dilakukan dengan melakukan kegiatan evaluasi/FGD antara: Direktorat Bina Haji, Kanwil Kementerian Agama Provinsi dan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN/IAIN;
6. Menambah volume penyelenggaraan sertifikasi pembimbing manasik haji reguler, dengan merancang kebutuhan dan sebaran daerah domisili pembimbing bersertifikat;
7. Menyiapkan perubahan penyelenggaraan sertifikasi secara online atau digitalisasi (informasi dan pendaftaran peserta, materi, pelaporan, data pembimbing bersertifikat, dll). Pembimbing manasik haji yang sudah mempunyai kemampuan, pengetahuan dan profesional, boleh langsung mengikuti uji kompetensi tidak harus mengikuti pembelajaran 75 JPL. (mzn)
Baca hasil penelitian selengkapnya: Puslitbang Kemenag