Fikih sebagaimana kita ketahui lebih bersifat doktriner, formal, dan kurang mengakamodir dalam realitas dinamis. Fikih juga lebih membahas persoalan ubudiyah dan tatanan agama, sehingga fikih cenderung lebih dikenal sebagai hukum yang tekstual, simbolis, dan formalis. Akan tetapi fikih juga bisa dimaknai secara kontekstual. Sebagaimana fikih yang digagas oleh KH. MA. Sahal Mahfudh yang kita kenal dengan Fikih Sosial.
Kiai Sahal, panggilan akrabnya merupakan seorang kiai dari Desa Kajen, Pati, Provinsi Jawa Tengah, menggagas sebuah terminologi yang unik dalam gagasan tentang Fikih Sosial. Kiai Sahal mengungkapkan bahwa setiap gagasan maupun wacana keilmuwan yang bersumber dari pemahaman terhadap fikih tidak hadir dalam ruang yang hampa, melainkan dipengaruhi oleh konteks, motif, kepentingan, lingkungan, situasi, dan kondisi sosial yang menyelimutinya.
Oleh karena itu, Fikih Sosial lahir sebagai jawaban kegelisahan beliau dalam menjawab bentuk-bentuk ketimpangan sosial, baik dari kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan terbatasnya lapangan pekerjaan di masyarakat pada masa itu.
Bagi Kiai Sahal, fikih bukanlah konsep dogmatif-normatif, melainkan konsep aktif-progesif. Fikih sudah seharusnya bersenyawa dan bersentuhan langsung dengan ‘af’al al-mukallifin, yang meliputi sikap perilaku, kondisi, dan sepak terjang orang-orang muslim dalam semua aspek kehidupan, baik ibadah maupun muamalah.
Selain itu, Kiai Sahal tidak menerima apabila fikih dinilai sebagai salah satu bidang keilmuan yang stagnan, sumber kejumudan, dan kemunduran umat Islam. Fikih justru merupakan sumber ilmu yang langsung bersentuhan dengan kehidupan riil di masyarakat.
Oleh karena itu, fikih harus terus didinamisir dan direvitalisir agar konsepnya mampu mendorong dan mengarahkan umat Islam dalam meningkatkan aspek ekonominya, serta demi mencapai sa’adatuddaraini yaitu kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Karena Islam menginginkan kemakmuran, kesejahteraan, ketercukupan, dan kemajuan ekonomi.
Dalam hal ini, point utama fikih sosial Kiai Sahal adalah untuk merealisasikan kemaslahatan umat secara menyeluruh. Dengan melalui gerakan pemberdayaan masyarakat, dalam bentuk ekonomi kreatif yang akan membentuk masyarakat mandiri dan berdaya.
Oleh sebab itu, dalam melakukan gerakan pemberdayaan, Kiai Sahal mempunyai pengalaman dan sejarah panjang dalam memberdayakan ekonomi rakyat kecil. Beliau mengorganisir antara tenaga ahli yang profesional dengan manajemen modern. Seperti halnya dalam menggerakkan program-program ekonomi secara partisipatif, mengelola keuangan transparan dan akuntabel, serta aktif dalam melakukan pengembangan yang sifatnya terus-menerus.
Karena dalam teori pemberdayaan, kunci keberhasilan dalam melakukan program pemberdayaan di masyarakat adalah terletak pada etos kerja masyarakat, partisipasi masyarakat, dan adanya program kerja yang sifatnya sustainable (terus-menerus). Sehingga dari situ bentuk ketimpangan dan kemiskinan yang ada di masyarakat akan berkurang dan terminimalisir.
Maka melalui gerakan pemberdayaan di atas sangat jelas, bahwa Kiai Sahal berusaha untuk membuktikan fikih tidak anti terhadap program pemberdayaan ekonomi kerakyatan, justru fikih harus tampil sebagai pelopor kebangkitan ekonomi kerakyatan. Karena melalui usaha dan riyadhoh dari dirinya sendiri, maka akan tercipta yang namanya kemandirian, kemakmuran, dan kesejahteraan sosial.
Dengan demikian fikih sosial Kiai Sahal dapat juga disebut sebagai fikih pembaharuan dalam transformasi menuju masyarakat adil, sejahtera, makmur, dan bahagia. Sehingga fikih sosial ini menjadi embrio dari lahirnya fikih hadari (fikih peradaban), maksudnya adalah fikih yang mampu melahirkan peradaban baru yang progresif, modern, dan produktif dalam melahirkan karya intelektual dan sosial.
Dan pada akhirnya, Fikih Sosial diharapkan mampu menjadi potret pola “Al-Muhafadhatu ala al-qadim al-ashalih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah”. (Mempertahankan tradisi lama yang relevan dan mengambil tradisi baru yang lebih progresif).