Kerusakan lingkungan terjadi demikian mengkhawatirkan. Tak hanya menghilangkan sejumlah fauna liar, kerusakan lingkungan telah mengancam masa depan hunian manusia ini. Terbukti, sejumlah bencana alam terus terjadi dan akan terus menghantui generasi mendatang. Bumi seakan tak mampu lagi menampung gaya hidup 7 miliar manusia.
Kemampuan bumi menyediakan sumberdaya bagi manusia terus mengalami penurunan. Alih-alih menyediakan sumberdaya, hunian kita ini justru memberikan bencana dan malapetaka. Banjir, longsor, kekeringan, dan sebagainya menjadi bukti nyata bahwa alam semakin tak bersahabat dengan kita.
Penyebabnya tentu saja tangan-tangan rakus, pikiran-pikiran tamak, dan kehendak untuk menundukkan alam, baik yang mewujud dalam dalam sosok perusahan-perusahaan, pemerintah, maupun masyarakat. Ketika bencana terjadi karena kerasukan tersebut, teriakan dan protes baru terdengar, itu pun sayup.
Tak banyak intelektual Islam yang mengulas soal betapa Islam menaruh perhatian sangat penting terhadap lingkungan. Sebagian besar lebih banyak disibukkan dengan bagaimana ritus-ritus, tapi abai terhadap ajaran terpenting kedua setelah tauhid, yaitu menjaga lingkungan.
Islam menekankan umatnya untuk menjaga kelestarian lingkungan dan berlaku arif terhadap alam (ecology wisdom). Dalam QS. al-Anbiya’/21: 35-39 Allah mengisahkan kasus Nabi Adam. Adam telah diberi peringatan oleh Allah untuk tidak mencabut dan memakan buah khuldi. Namun, ia melanggar larangan itu. Akhirnya, Adam terusir dari surga. Ia diturunkan ke dunia. Di sini, surga adalah ibarat kehidupan yang makmur, sedangkan dunia ibarat kehidupan yang sengsara. Karena Adam telah merusak ekologi surga, ia terlempar ke padang yang tandus, kering, panas dan gersang.
Doktrin ini mengingatkan manusia agar sadar terhadap persoalan lingkungan dan berikhtiar melihara ekosistem alam.
Akan tetapi, doktrin tersebut tidak diindahkan. Perusakan lingkungan tidak pernah berhenti. Eksplorasi alam tidak terukur dan makin merajalela.
Dampaknya, ekosistem alam menjadi limbung. Ini tentu saja sangat mengkhawatirkan. Alam akan menjadi ancaman kehidupan yang serius. Ia senantiasa siap mengamuk sewaktu-waktu.
Fiqh Islam pun tumpul. Fiqh belum mampu menjadi jembatan yang mengantarkan norma Islam kepada perilaku umat yang sadar lingkungan. Sampai saat ini, belum ada fiqh yang secara komprehensif dan tematik berbicara tentang persoalan lingkungan. Fiqh-fiqh klasik yang ditulis oleh para imam mazhab hanya berbicara persoalan ibadah, mu’amalah, jinayah, munakahat dan lain sebagainya. Sementara, persoalan lingkungan (ekologi) tidak mendapat tempat yang proporsional dalam khazanah Islam klasik.
Karena itulah, merumuskan sebuah fiqh lingkungan (fiqh al-bi’ah) menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Yaitu, sebuah fiqh yang menjelaskan sebuah aturan tentang perilaku ekologis masyarakat muslim berdasarkan teks syar’i dengan tujuan mencapai kemaslahatan dan melestarikan lingkungan.
Dalam rangka menyusun fiqh lingkungan ini (fiqh al-bi’ah), ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, rekonstruksi makna khalifah. Dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa menjadi khalifah di muka bumi ini tidak untuk melakukan perusakan dan pertumpahan darah. Tetapi untuk membangun kehidupan yang damai, sejahtera, dan penuh keadilan. Dengan demikian, manusia yang melakukan kerusakan di muka bumi ini secara otomatis mencoreng atribut manusia sebagai khalifah (QS. al-Baqarah/2: 30).
Karena, walaupun alam diciptakan untuk kepentingan manusia (QS. Luqman/31: 20), tetapi tidak diperkenankan menggunakannya secara semena-mena. Sehingga, perusakan terhadap alam merupakan bentuk dari pengingkaran terhadap ayat-ayat (keagungan) Allah, dan akan dijauhkan dari rahmat-Nya (QS. al-A’raf/7: 56).
Karena itulah, pemahaman bahwa manusia sebagai khalifah di muka bumi ini bebas melakukan apa saja terhadap lingkungan sekitarnya sungguh tidak memiliki sandaran teologisnya. Justru, segala bentuk eksploitasi dan perusakan terhadap alam merupakan pelanggaran berat.
Sebab, alam dicipatakan dengan cara yang benar (bi al-haqq, QS. al-Zumar/39: 5), tidak main-main (la’b, QS. al-Anbiya’/21: 16), dan tidak secara palsu (QS. Shad/38: 27).
Kedua, ekologi sebagai doktrin ajaran. Artinya, menempatkan wacana lingkungan bukan pada cabang (furu’), tetapi termasuk doktrin utama (ushul) ajaran Islam. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi dalam Ri’ayah al-Bi’ah fiy Syari’ah al-Islam (2001), bahwa memelihara lingkungan sama halnya dengan menjaga lima tujuan dasar Islam (maqashid al-syari’ah).
Sebab, kelima tujuan dasar tersebut bisa terejawantah jika lingkungan dan alam semesta mendukungnya. Karena itu, memelihara lingkungan sama hukumnya dengan maqashid al-syari’ah. Dalam kaidah Ushul Fiqh disebutkan, ma la yatimmu al-wajib illa bihi fawuha wajibun (Sesuatu yang membawa kepada kewajiban, maka sesuatu itu hukumnya wajib).
Ketiga, tidak sempurna iman seseorang jika tidak peduli lingkungan. Keberimanan seseorang tidak hanya diukur dari banyaknya ritual di tempat ibadah. Tapi, juga menjaga dan memelihara lingkungan merupakan hal yang sangat fundamental dalam kesempurnaan iman seseorang.
Nabi bersabda bahwa kebersihan adalah bagian dari iman. Hadits tersebut menunjukkan bahwa kebersihan sebagai salah satu elemen dari pemeriharaan lingkungan (ri’ayah al-bi’ah) merupakan bagian dari iman. Apalagi, dalam tinjauan qiyas aulawi, menjaga lingkungan secara keseluruhan, sungguh benar-benar yang sangat terpuji di hadapan Allah.
Keempat, perusak lingkungan adalah kafir ekologis (kufr al-bi’ah). Di antara tanda-tanda kebesaran Allah adalah adanya jagad raya (alam semesta) ini. Karena itulah, merusak lingkungan sama halnya dengan ingkar (kafir) terhadap kebesaran Allah (QS. Shad/38: 27). Ayat ini menerangkan kepada kita bahwa memahami alam secara sia-sia merupakan pandangan orang-orang kafir.
Apalagi, ia sampai melakukan perusakan dan pemerkosaan terhadap alam. Dan, kata kafir tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang tidak percaya kepada Allah, tetapi juga ingkar terhadap seluruh nikmat yang diberikanNya kepada manusia, termasuk adanya alam semesta ini (QS. Ibrahim/14: 7).
Selain itu, kita perlu memperjuangkan politik hijau (green politic), sebuah gerakan mendampingi pembangunan agar berperspektif ekologis. Kebijakan-kebijakan politik yang anti-ekologi, mekanistik, dan materialistik diarahkan menuju kebijakan politik yang sadar lingkungan (ecological politic).
Hal ini penting karena kerusakan alam yang sedemikian parah tidak mungkin hanya diselesaikan melalui pendekatan agama. Akan tetapi, perlu pendekatan yang komprehensif. Mulai dari agama, ekonomi, politik, budaya, dan sosial bersatu padu menangani krisis ekologis ini.
Al-hasil, menjaga dan memelihara lingkungan adalah kewajiban bagi setiap individu manusia, fardhu ‘ain.
[Tulisan ini diadaptasi dari tulisan Hatim Gazali pada bulletin An-Nadhar, pada tanggal 30/03/2005]