Sejarah menyatakan, ada banyak kerajaan Islam di Indonesia yang dahulu pernah berdiri kemudian runtuh. Sebagian kelompok menjadikan fakta ini sebagai alasan untuk mengembalikan kejayaan Islam yang kini hilang dengan bentuk khilafah. Pemerintahan yang kini menggunakan sistem demokrasi mereka anggap telah menghilangkan status Indonesia sebagai negara Islam.
Kesimpulan tersebut dapat menyesatkan pemahaman banyak umat Muslim dalam tiga (3) poin penting:
Pertama, tidak ada keterkaitan antara negara Islam di Nusantara dengan sistem khilafah, sebagaimana hubungan antara sistem kerajaan dan sistem kekhalifahan.
Kedua, ada pencampuradukan antara istilah Darul Islam (Negara Islam), dan Daulatul Islamiyah (Pemerintahan Islam).
Ketiga, tidak ada pakar fikih yang menyatakan dengan bergantinya sistem pemerintahan di Nusantara, menjadi yang sekarang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, nusantara berubah menjadi negara kafir dan harus dikembalikan menjadi Negara Islam.
Dalam khazanah kitab kuning pesantren, Syekh Abdurrahman Ba’alawi dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin menyatakan bahwa tanah Jawa adalah Darul Islam (Negara Islam). Hal ini dikarenakan tanah Jawa dahulunya pernah dikuasai umat Islam (Bughyatul Mustarsyidin, h. 541).
Pernyataan ini memberi konsekuensi perlunya menjaga tanah Jawa dari kekuasaan nonmuslim. Dan ini juga di masa lalu mendorong perjuangan umat Islam untuk mengusir penjajah dari tanah Jawa.
Sayangnya, mengembalikan kekuasaan umat Islam di tanah Jawa dari penjajah banyak disalah pahami sebagai tujuan mendirikan pemerintahan Islam di tanah Jawa. Padahal mayoritas ulama mazhab Syafi’iyah menyatakan, suatu daerah menjadi Darul Islam tidak disebabkan unsur politik. Melainkan unsur kebebasan umat Islam dalam menjalankan syariat Islam tanpa ada ganggungan dari pihak nonmuslim, meskipun itu di negara nonmuslim (Hasyiyah As-Syarwani, jilid 12, h. 108).
Hal serupa diungkapkan oleh dua ulama pakar fikih konteporer, yaitu Syekh Abdullah Ibn Bayyah dan Syekh Sa’id Ramadhan Buthi. Mereka berdua satu pemahaman, bahwa menjadikan syariat Islam sebagai dasar negara tidaklah menjadi syarat sebuah daerah menjadi Darul Islam (Fikih Kebangsaan, 3/104). Oleh karena itu, ketiadaan negara menerapkan syariat Islam sebagai dasar negara, tidak berpengaruh pada status Darul Islam pada suatu daerah.
Maka, penerjemahan istilah Darul Islam secara literal sebagai “Negara Islam” tentunya mudah disalah pahami sebagai pemerintahan Islam, bukan status yang diberikan pada suatu daerah yang dikuasai pemerintahan Islam. Namun, artinya lebih pada ke kawasan yang umat Islam yang di dalamnya dapat secara bebas menjalankan syariat Islam, kendati tidak dalam naungan pemerintahan Islam.
Memperjuangkan Nusantara sebagai Darul Islam tidak bisa hanya melulu dipahami mendirikan pemerintahan Islam. Apalagi terlalu jauh sampai pada mendirikan khilafah. Hanya saja, dapat dipahami sebagai mengembalikan kebebasan umat Islam dalam menjalankan syariat di depan umum. Hal ini kebebasan tersebut pernah dirampas oleh penjajah di masa lalu.
Kondisi Indonesia saat ini sangat mengakomodir kebebasan umat Islam dalam menjalankan syariat Islam, meski bukan negara yang berlandaskan syariat Islam. Bahkan, dalam undang-undang dasarnya banyak yang bersumber dari hukum Islam. Sebagaimana dalam undang-undang yang mengatur pernikahan dan hukum waris.
Selain pemerintah memberi kebebasan warga negaranya untuk menjalankan syariat Islam, pemerintah juga menyodorkan regulasi pemerintahan untuk mengakomodir keinginan umat Islam dalam mendirikan pendidikan Islam yang bersinergi dengan pemerintah.
Hal ini diwujudkan dengan keberadaan Madrasah, Perguruan Tinggi Islam, hingga lahirnya Undang-Undang Pesantren yang menaungi pendidikan Islam tertua di Nusantara.
Sepanjang sejarah, acapkali muncul ketimpangan serta ketidakadilan umat beragama. Hal ini bukan hanya problem dalam sistem demokrasi sebagaimana dianut Indonesia, namun juga problem dalam pemerintahan Islam.
Bahkan, semenjak awal mula perkembangan Islam, lalu berlanjut mengiringi runtuh dan berdirinya berbagai dinasti pemerintahan. Maka, solusinya bukanlah mengubah sebuah sistem pemerintahan secara keseluruhan, tapi melakukan perbaikan-perbaikan di dalam suatu sistem pemerintahan.
Belakangan beredar kampanye gagasan perlunya mengubah sistem negara Indonesia kepada Pemerintahan Islam. Gagasan ini berlandaskan, bahwa Indonesia (Nusantara) dahulunya merupakan Negara Islam, sehingga kita wajib untuk menjaga statusnya. Demikian itu adalah gagasan yang berlandaskan kesalahanpahaman terhadap status Nusantara sebagai Darul Islam menjadi negara Islam, khilafah, dan sejenisnya.
Hal ini meniscayakan gagasan tersebut sebagai gagasan yang tak berdasar. Apalagi status Indonesia saat ini merupakan hasil perumusahan dan kesepakatan bersama para pendiri bangsa yang berbeda-beda baju agama maupun kelompok.
Bagaimana bisa? Ya, gagasan tersebut berpotensi besar menimbulkan perpecahan di tengah warga negara Indonesia yang plural, terutama soal identitas agamanya. Bahaya nyata yang demikian ini dapat melemahkan dominasi umat Islam pada suatu daerah.
Selain itu, bisa berakibat terbukanya kesempatan bagi pihak-pihak yang dapat mengancam kebebasan umat Islam dalam menjalankan syariat. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada zaman penjajahan sebelum kemerdekaan Indonesia.
Dalam soal mendukung gagasan perlunya mengubah sistem negara Indonesia menjadi Pemerintahan Islam misalnya, paling tidak kita berhadapan dua pilihan. Yaitu, antara menjaga yang sudah ada dan sudah dirasakan manfaatnya, atau hendak melakukan perubahan yang belum pasti hasilnya?