Perkembangan Islam semakin pesat di tengah perkembangan teknologi masa kini, terutama di bidang komunikasi. Apalagi era revolusi industri 4.0 saat ini menuntut adanya digitalisasi, termasuk pula konten-konten yang berisi ajaran Islam.

Media sosial sebagai salah satu bagian dari transformasi bentuk media selama ini telah menyajikan beragam informasi dan pengetahuan. Namun sayangnya, sadar atau tidak, sisi positif itu ternoda oleh propaganda yang narasinya mengarah pada ajakan ekstremisme-radikalisme.

Tidak sedikit pihak yang mendiamkan fenomena yang banyak menargetkan kalangan muda itu. Sepatutnya kita tahu bahwa propaganda ekstremisme-radikalisme itu dapat merusak cara berpikir dan bersikap baik itu dalam beragama dan berbangsa.

Sebelum melangkah lebih jauh, dalam hal ini kita layak sepakat bahwa ekstremisme-radikalisme bukanlah bagian dari ajaran agama. Pelakunya tidak hanya dari satu agama saja, melainkan bisa dari agama apapun. Maka, konteks tulisan ini merupakan salah satu contoh bagaimana ada segelintir kelompok yang ‘membajak’ kesucian nama “Islam”, tetapi sejatinya tidak merepresentasikan agama Islam.

Survei Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada April hingga Juli 2019 tentang Indeks Diseminasi Media Sosial meliputi konten yang memicu radikalisme secara nasional berada pada skor 38,33 (skala 0-100), sebagaimana dilansir Republika.co.id pada Rabu, 11 Desember 2019. Kepala BNPT Suhardi Alius menyebut bahwa skor tersebut sudah termasuk kategori tinggi.

Saat ini media sosial merupakan sarana paling strategis dalam mengalirkan pandangan-pandangan keagamaan. Ketika masyarakat tidak dapat menemui tokoh agama yang menjadi rujukan terdekat, tentu media sosial menjadi tempat mereka menanyakan beragam persoalannya. Tak ayal, mengingat angka radikalisme yang tinggi, mereka menemukan jawabannya yang demikian.

Dalam Hashtag Islam, Gary R Bunt mencatat ada lebih dari 60 ribu akun di media sosial yang berjejaring dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS/ISIS). Sementara penelitian yang dilakukan oleh JM Berger dan Jonathon Morgan menyebut ada 46 ribu akun Twitter yang mengatasnamakan ISIS sebagaimana dilaporkan oleh BBC pada 6 Maret 2015.

Akun-akun tersebut mengampanyekan kekerasan atas nama Islam. Video-video yang menggambarkan kekejaman pun ditampilkannya dengan tanpa dosa. Seperti pemenggalan kepala seorang tawanannya, anak-anak yang berlatih perang dengan persenjataan yang lengkap, dan bentuk kekerasan lainnya. Bahkan, penelitian tersebut mensinyalir ada lebih dari 90 ribu akun yang pro atau sepakat dengan ISIS.

Narasi melalui konten-konten ekstrem di media sosial harus kita lawan dengan narasi yang santun. Setidaknya, ada upaya untuk menyeimbangkan narasi kelompok ekstremisme itu supaya ada tawaran lain bagi para pengguna media sosial. Tujuanya lain tentu agar paham ekstrem dalam beragama tidak semakin menyebar luar.

Dalam agama Islam, misalnya, cara dakwah pada dasarnya harus dengan santun dan bijaksana sebagaimana firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an:

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Nahl: 125)

Jika merujuk ayat ini, maka penyampaian dakwah Islam mestinya dengan cara bijaksana serta nasihat yang baik. Dalam hal ini, Syekh Ismail Haqqi al-Barusawi menjelaskan, nasihat tersebut harus dapat berupa dalil-dalil yang meyakinkan atau cerita yang bermanfaat bagi masyarakat awam.

Sementara itu, Syekh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani dalam Marah Labid menafsirkan, ajakan tersebut harus dilakukan secara persuasif. Artinya, dakwah harus dilakukan secara halus dengan beragam argumentasi yang meyakinkan. Tidak justru dilakukan dengan tindakan kekerasan yang mengakibatkan orang lain terluka, baik secara fisik maupun non-fisik, perasaan.

Hal serupa juga diungkapkan Syekh Jalaluddin al-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain (2011: 355). Menurutnya, maksud redaksi al-hikmah yang dimaksud adalah Al-Qur’an. Artinya, dalam mengajak ke jalan Tuhan (dakwah) haruslah berdasarkan Al-Qur’an melalui ucapan-ucapan yang lemah lembut. Konteks ‘lembut’ ini bukan saja soal volume suara, melainkan lebih pada penekanan terhadap penggunaan diksi-diksi.

Hal ini seiring dengan kehadiran Nabi Muhammad Saw. sebagai pembawa agama Islam. Misinya dalam menyebarkan Islam adalah guna menyempurnakan akhlak. Sebagaimana sabda Rasulullah dalam suatu hadis riwayat Abu Hurairah. “Innama bu’itstu liutammima makarima al-akhlaq”, saya diutus guna menyempurnakan kemuliaan akhlak.

Ada hal menarik yang Gary R Bunt ungkapkan dalam buku Hashtag Islam How Cyber-Islamic Environments Are Transforming Religious Authority (2018). Ia menyebut, organisasi keagamaan perlu mendorong pelatihan internet untuk para imam serta mengembangkan kesadarannya. Selain itu juga perlu adanya strategi perlawanan terhadap narasi kelompok ekstrem-radikal dengan literasi teknologi.

Oleh sebab itu, para santri Nusantara yang sudah masyhur berpaham moderat harus mengambil peran strategis. Pada konteks ini dunia maya menjadi medan ‘jihad’ para santri melalui produksi konten-konten digital yang bikin adem, bukan justru bikin gaduh masyarakat.

Hal itu bisa santri lakukan dengan memproduksi konten keagamaan dalam format video lalu mengunggahnya ke channel Youtube. Kita tahu plafform Youtube saat ini menjadi salah media sosial yang paling populer di dunia.

Kabar baiknya, belakangan ini content creator dari kaum santri mulai mengemuka. Hampir seluruh platform media sosial populer sudah menyiarkan berbagai ceramah keagamaan yang moderat. Tidak cukup akun-akun resmi, publik secara personal juga turut menyiarkannya melalui akun pribadi masing-masing sehingga menambah daftar jejak digital yang ada.

Selain itu, dakwah santri di media sosial sudah ramai dilakukan dengan publikasi gambar-gambar berupa meme yang bersumber kata mutiara tokoh maupun dialog suatu topik. Konten-konten ini seringkali menjadi viral dalam berbagai forum grup Whatsapp, halaman Facebook, Twitter, hingga Instagram.

Tidak hanya santri yang sudah menjadi alumni yang bergerak di ranah digital itu. Para santri yang masih tinggal di pesantren juga melakukan gerakan dakwah digital. Tak sedikit pesantren yang sudah membuka diri dengan teknologi dengan mengaktifkan para santrinya untuk menghidupkan media-media pesantren.

Bahkan, beberapa di antaranya membuka sekolah kejuruan dengan jurusan bidang teknologi, seperti desain multimedia, teknik komputer, dan sebagainya. Hal tersebut tentu sangat mendukung dakwah para kiainya di jagat maya.

Bila kita cek di Instagram dan mengetikkan kata santri pada kolom pencarian, pastilah banyak sekali akun yang beridentitas kaum sarungan itu. Mereka juga sudah mulai aktif merambah ke media sosial lain yang berbasis video, seperti Youtube dan Tiktok.

Potongan ceramah para kiai banyak mereka unggah ulang melalui kanal-kanal Youtube. Pun ada juga yang bermain Tiktok dengan bershalawat atau lalaran nazam (syair) yang biasa mereka hafalkan.

Hal demikian tentu menjadi oase di tengah gersang dan panasnya konten yang bertopik keagamaan di media sosial. Pilihan bahasa yang santun, penuh kelembutan sesuai dengan tafsiran para ulama atas Al-Qur’an surat Al-Nahl ayat 125.

Lambat laun, jika ritme itu terus naik, maka narasi konten dakwah santri di media sosial akan menjadi dominasi yang menarik. Namun, hal ini masih perlu santri dan kalangan pesantren tingkatkan dan harus menjadi perhatian demi terjaganya Islam rahmatan lil ‘alamin. Selain itu tentu saja agar negeri kita yakni Indonesia senantiasa aman, damai, sentosa, dan sejahtera.

Leave a Response