Sejarah telah menggoreskan bahwa perjuangan, pergerakan bangsa Indonesia, dan penyebaran Islam di Nusantara tidak bisa lepas dari peranan ulama. Dalam pandangan orang Indonesia, pemaknaan kata ulama ditafsirkan sebagai orang suci, ahli agama, tentunya berjenis kelamin laki-laki. Padahal, jika ditelisik dalam sejarah Islam sendiri, jauh pada masa Nabi Muhammad telah dibuktikan bahwa perempuan mampu berperan layak seorang ulama. Misalnya istri Nabi yakni Siti Aisyah r.a yang berperan dalam periwayatan hadis, Khadijah berperan dalam masa awal dakwah Islam, dan masih banyak perempuan-perempuan hebat lainnya.

Dalam konteks Indonesia, kita tentu saja memiliki para perempuan hebat. Sebut saja ada Raaden Ajeng Kartina, Dewi Sartika, Rasuna Said bahkan Nyai Ahmad Dahlan. Di dalam dunia pendidikan, seorang Nyai Hj. Nuriyyah Ma’shoem juga mampu menjadi emansipatoris yang hebat di Rembang. Perannya dimulai sejak menjadi istri salah satu ulama perintis berdirinya Nahdatul Ulama (NU) yakni Kiai Haji Ma’shoem Ahmad. Bersama suaminya ia mengajar santri yang ada di pondok Pesantren al-Hidayat Lasem dan masyarakat sekitarnya. Hal ini berawal dari keprihatinannya, terhadap keadaan masyarakat saat itu yang dilanda kemiskinan dan hidup serba kesusahan.

Ibu Nyai Hj. Nurriyah yang dikenal dengan panggilan Mbah Putri. Ia lahir di desa Sumbergirang, Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, pada 1895 M/ 1312 H. Kedua orangtuanya adalah Kiai Zainuddin dan Nyai Masfuriyyah. Ia merupakan anak perempuan kedua dari lima bersaudara yang hidup dan besar dalam keluarga Islam yang terdidik dan berpengetahuan Islam Ortodoks. Dari kecil Mbah Putri mengenyam pendidikan langsung dari kedua orangtuanya. Selain itu, Mbah Putri dibesarkan dalam suasana yang kental dengan nilai-nilai religiusitas.

Pada tahun 1906 M, Mbah Putri dijodohkan dengan pemuda Lasem yang juga berasal dari keluarga pesantren yakni Muhammadun (nama asli dari Kiai Haji Ma’shoem Ahmad). Perjodohan ini diatur oleh kakek beliau yakni Kiai Haji Abdul Aziz. Ketika perjodohan terjadi perbedaan pendapat terkait usia Mbah Putri. Ada yang menyebutkan kala itu tengah berusia 9 tahun, 11 tahun, dan 12 tahun. Untuk mengambil jalan tengah, maka diputuskan usianya kala itu 11 tahun, selisih umur dengan Mbah Ma’shoem 25 tahun. Mbah Putri adalah istri kedua dari Mbah Ma’shoem, sebelumnya Mbah Ma’shoem menikah dengan putri Kiai Musthafa Lasem, Nyai Maslikhatun. Pernikahan tersebut tidak berlangsung lama karena Nyai Maslikhatun meninggal dunia.

Kehidupan pernikahan Nyai Hj. Nuriyyah Ma’shoem dan Mbah Ma’shoem terjalin dengan sangat harmonis. Mereka sangat rukun dan saling mendukung. Mereka juga memiliki hobi yang sama yakni bersilahturahmi, menyantuni fakir miskin, dan menyayangi anak kecil. Setelah menikah, tanggung jawab atas Mbah Putri diambil alih oleh Mbah Ma’shoem termasuk dalam hal pendidikan. Dengan pendidikan yang diberikan oleh Mbah Ma’shoem, sangat membantu dalam terbentuknya kepribadian mulia Mbah Putri, baik spiritual maupun intelektual. Berkat dukungan dari Mbah Ma’shoem, Mbah Putri berhasil menyelesaikan beberapa kitab, seperti Tafsir Jalalain, Fathul Mu’in, Riyadush Salihin, dan lain-lain. (Saifullah Ma’shum, Karisma Ulama)

Pada tahun 1940, didirikan Pondok Pesantren al-Hidayat Putri oleh Mbah Ma’shoem. Ini menjadi upaya awal bagi perempuan yang mengginap dan diasramakan untuk daerah Lasem. Sebelumnya pada tahun 1916 M, Mbah Ma’shoem telah mendirikan pesantren yang bernama al-Hidayat yang berada di kawasan pecinan Dasun, yang dahulu menjadi kawasan tempat tinggal orang Tionghoa Lasem. Dalam pengelolaan pesantren al-Hidayat, kontribusi Mbah Putri sangat besar. Bersama sang suami, ia melakukan pengajaran kepada santri dan masyarakat dengan spesialisasi pengajaran di bidang pengajian al-Qur’an. Di masa awal pendirian pesantren tersebut hanya terdapat 4 orang santri.

Masa awal pendirian pesantren tersebut terjadi penjajahan oleh bangsa kolonial, kemudian membuat Mbah Ma’shoem sekeluarga dan santrinya makan sekali sehari. Di saat yang sama, santri Mbah Ma’shoem sebagai generasi pertama mengajukan permintaan bahwa mereka bersedia mengaji kepadanya dengan syarat masalah makanan ditanggung keluarga Mbah Ma’shoem dan Mbah Putri. Akhirnya banyak masyarakat yang berbondong-bondong mempercayakan anak kepada Mbah Ma’shoem untuk di didik dengan harapan dapat menjadi manusia berakhlak dan berpengalaman keislaman.

Setelah sekian lama mengelola pesantren, usia Mbah Ma’shoem sudah mulai senja dan kesehatannya tidak mendukung lagi untuk mengelola pesantren. Pada Kamis, 30 November 1972 Mbah Ma’shoem meninggal dunia setelah dirawat di RSU Dr. Kariadi, Semarang. Sehari sebelum meninggalnya Mbah Ma’shoem, ia berpesan kepada Mbah Puti dan anak-anaknya untuk selalu mencintai fakir miskin, membantu mereka, dan melajutkan amaliyahnya dalam pengajian dan pengajaran agama kepada santri dan masyarakat. Pengelolaan pesantren al-Hidayat dilanjutkan oleh Mbah Putri bersama putra ketiganya.

Nyai Hj. Nuriyyah Ma’shoem merupakan seorang perempuan yang memiliki kedalaman intelektual yang tak terbatas, ia adalah orang alim yang menguasai ilmu-ilmu dan wacana keagamaan klasik. Seorang ulama yang memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan untuk disebut sebagai sosok ulama dalam Islam, baik dari segi ilmu, karakter, dan pengabdiannya kepada masyarakat. Keulamaan Mbah Putri sebagai ulama dapat dilihat dari integritas dan keilmuan yang ia miliki, kesalehan moral yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, tawadhu, dermawan, ikhlas, wara’, dan lain-lain.

Selain pengabdiannya kepada masyarakat, Nyai Hj. Nuriyyah Ma’shoem tetap menjalankan tugas domestik. Tugas domestik tersebut dengan berbagi peran bersama suami secara fleksibel dan seimbang dalam urusan rumah tangga terutama terkait pendidikan anaknya. Mbah Putri tidak hanya berperan sebagai istri kiai namun juga aktif dalam kegiatan pendidikan putra-putrinya sehari-hari.  Ia berpendapat bahwa membimbing dan mendidik anak adalah tanggung jawab suami dan istri, karena keseimbangan proses pendidikan anak didasarkan pada landasan fundamental orangtua.

Dalam ranah publik, Mbah Putri memberi pengajian kitab kuning. Mbah Putri juga memiliki majelis taklim setiap hari Jumat, siang yang dilakukan di sekitar wilayah Lasem, dan khusus Jumat kliwon pengajian diadakan di kompleks Pesantren al-Hidayat yang dihadiri ibu-ibu muslimat daerah Lasem.

Dalam menjaga Pesantren al-Hidayat, Mbah Putri sangat berperan penting. Peran tersebut adalah pengasuh sekaligus pendidik dari santri-santrinya. Sebagai pengasuh ia memimpin pesantren dengan rasa tanggung jawab. Ia menjalankan dan meneruskan program-program yang sudah ada, melakukan pembenahan-pembenahan sarana dan prasarana, mengadakan kegiataan keagamaan untuk meningkatkan spiritual hingga menjadi motivator bagi santri-santrinya.

Sebagai pendidik, Mbah Putri tetap konsisten mengajar dan mendidik para santrinya untuk dapat memahami nilai ajaran Islam dan menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Keberadaan Mbah Putri di pesantren tidak hanya mengajar santri supaya menjadi pandai, melainkan mempunyai tanggung jawab lebih dari itu yakni mendidik santri agar berwatak sesuai dengan misi yang diemban dalam agama Islam.

Tulisan ini merujuk referensi dalam Skripsi “Peran Perempuan dalam dunia pendidikan pesantren dengan studi atas keulamaan Ibu Nyai Hj. Nurriyah Ma’shoem).

 

 

 

 

Leave a Response