Kulliyat Al-Khamsah Menurut Gus Dur- Abdurahman Wahid atau yang kita kenal dengan sapaan Gus Dur, adalah seseorang yang bergerak dan sangat menjunjung tinggi kemanusiaan. Manusia dan kemanusiaan adalah fokus pikiran dan perhatian utama Gus Dur. Setiap hembusan nafas kehidupan Gus Dur, ia dedikasikan demi menegakan perlindungan bagi setiap manusia.

Ini terbukti dari setiap tindakan, perbuatan, tulisan-tulisan, dan juga orasi-orasinya. Bagi Gus Dur, setiap manusia berhak mendapatkan cinta dan perlindungan dari sesamanya. Tidak ada perbedaan ras, kulit, agama, dan apapun di antara satu dan yang lainnya.

Gus Dur acapkali menyampaikan di hadapan publik bahwa manusia, apapun latar belakangnya wajib dilindungi hak-hak dasarnya. Hak-hak dasar inilah yang dalam buku Samudra Kezuhudan Gus Dur karya Buya Husein Muhammad disebut lima hak dasar manusia yang harus dilindungi dan diselamatkan.

Lima dasar perlindungan ini diadopsi Gus Dur dari teori Ushul Fiqh yang populer di kalangan pesantren dengan sebutan Kulliyat Al-Khamsah. Lalu bagaimanakah menginterpretasikannya dalam kacamata kemanusiaan Gus Dur?

Dalam tafsir-tafsir dan kitab-kitab konvensional, hifz din dimaknai dengan melindungi agama (Islam) dengan konsekuensi kewajiban jihad, larangan murtad (pindah agama), dan bid’ah (penyelewengan). Jihad, dalam terma konvensional, hampir selalu dimaknai dengan perang militeristik dengan seluruh Agresifitasnya.

Gus Dur memaknainya justru secara terbalik. Ia memperjuangkan sistem sosial yang anti kekerasaan, penghapusan hukuman mati, termasuk menolak hukuman mati bagi seseorang yang murtad.

Dalam memaknai hifz din, Gus Dur juga bersikeras dalam mendukung kebebasan manusia dalam beragama atau berkeyakinan, menghargai inovasi-inovasi kebudayaan, dan ilmu pengetahuan manusia yang beragam. Komitmen Gus Dur ini dibuktikan dengan keputusannya memberikan hak hidup agama Konghucu di Republik Indosia.

Hifz Nafs dalam literatur konvensional diinterpretasikan antara lain dengan kewajiban qishash (hukuman setimpal). Sementara Gus Dur memaknainya dengan menentang hukuman mati bagi manusia.

Perlindungan terhadap akal dalam interpretasi konvensional adalah larangan terhadap hal-hal yang membahayakan akal atau menghilangkannya. Seperti meminum khamar yang membuat seseorang mabuk dan hilang akal. Gus Dur memaknainya lebih dari hal itu.

Gus Dur memaknai hifz aql dengan kebebasan berpikir, berpendapat, berekspresi, hak berorganisasi, dan lain sebagainya. Salah satu sikap yang ditunjukkan atas hal ini adalah ketika Tabloid Monitor dibrendel oleh pemerintah dikarenakan tulisan Arswendo Atmowiloto yang “dianggap” banyak orang menghina Nabi Muhammad.

Gus Dur malah menjadi satu-satunya yang membela. Ia bukan membela penghinaan terhadap Nabi Muhammad, namun ia berpendapat bahwa negara tidak berhak ikut campur dalam pilihan-pilihan masyarakat atas suatu ideologi atau pikiran.

Hal senada juga terjadi pada kasus buku paling kontroversial karya Salman Rushdie yaitu The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan). Baginya, buku ini adalah buku yang bagus, meski dalam segi isi ia tidak setuju. Ia ingin mengajak orang orang lain membaca karya sastra ini dengan jernih. Ia tidak percaya jika hanya dengan membaca buku ini orang bisa jadi murtad. Ia keberatan bila sebuah buku dan setia karya intelektual harus dilarang oleh negara.

Dalam kajian ini, masih banyak ulama yang menerjemahkan hifz nasl dengan anjuran menikah, berketerunan, pengharaman zina, menuduh zina, proteksi ketat atas tingkahlaku perempuan, ketabuan atas hak-hak seksualitas perempuan, dan keharusan bercadar.

Gus Dur memaknainya dengan lebih luas dan mendalam. Bagi Gus Dur makna hifz nasl adalah perlindungan atas hak-hak seksualitas dan hak-hak kesehatan reproduksi. Ia menerima dengan terbuka orang semacam Dorce Gamalama yang harus berganti kelamin.

Gus Dur tak pernah menyebut bahwa mereka (yang harus berganti kelamin) sebagai “menyimpang seks” dan wajib dimusnahkan dari muka bumi, sebagaimana dilontarkan oleh banyak orang. Singkatnya, keberadaan diri seseorang adalah pemberian yang diciptakan oleh tuhan, maka kita harus menerima dan menghargainya.

Secara konvensional, pemakanaan kajian ini selalu dengan memelihara harta adalah kewajiban menjaga dan memelihara harta benda dalam rangka sebagai sarana untuk beribadah kepadanya. Maka seseorang dilarang mencuri dan merusak hak orang lain. Lagi-lagi Gus Dur memaknainya jauh lebih luas dan dalam.

Baginya, hifz mal bearti melindungi kepemilikan umum dan keselamatan stabilitas bersama. Bahkan jika kepemilikan kita dapat merusak kepentingan umum, maka lebih baik kita melepaskannya. Hal ini dibuktikan dengan peristiwa pengkudetaan kursi kepresidenan Gus Dur.

Warga nahdhiyin yang kala itu berjumlah jutaan dan siap untuk memprotes pengkudetaan tersebut. Gus Dur redam dan tahan karena ia tahu, jika ia memutuskan untuk melawan, maka perang saudara antar penduduk dan tumpah darah akan terjadi. Bahkan ia berkata: “Tidak ada jabatan yang harus dipertahankan mati-matian.”

Sekilas, mungkin banyak perbedaan antara interpretasi konvensional yang terdapat dalam kitab-kitab klasik dan Gus Dur, bahkan beberapa bertentangan. Tapi jika diperhatikan dengan seksama, intrepretasi konvensional tampak lebih memperlihatkan makna-makna ekslusifitasnya sedangkan Gus Dur justru membuka lebih luas, inklusif, dan kontekstual. Wallahualam.

Leave a Response