Siapa yang tidak kenal dengan Bung Tomo. Salah seorang pahlawan nasional yang sampai saat ini namanya masih begitu harum. Bahkan, hampir di semua kota besar di Indonesia mengabadikan namanya sebagai nama jalan. Selain itu, ia juga diabadikan sebagai sebuah stadion di Surabaya, Jawa Timur.

Memiliki nama lengkap Sutomo, Bung Tomo memiliki peran yang signifikan saat terjadinya pertempuran sepuluh November di Surabaya. Namun siapa sangka, tidak seperti pahlawan-pahlawan kemerdekaan lainnya yang tampil garang di medan perang, nyatanya ia merupakan seorang penyiar radio. Namun karena kepiawaiannya dalam menyiarkan radio, sosoknya layak disandingkan dengan mendiang presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno.

Berikut akan penulis sampaikan 5 fakta menarik seputar Bung Tomo yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat umum.

“Kita tunjukkan bahwa kita adalah benar-benar orang yang ingin merdeka. Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka”

Kalimat di atas merupakan salah satu orasi Bung Tomo melalui siaran radio. Bersama dengan seruan resolusi jihad dari Kiai Hasyim Asyari, orasinya lewat radio menjadi semacam pelecut semangat bagi para pejuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Selain kata-kata pelecut di atas, ia juga memiliki kata-kata penyemangat lainnya.

Seperi di antaranya : “Kalau ada musuh yang siap menembak, dan yang akan ditembak masih pikir-pikir dulu, itu kelamaan. Aku dikenal sebagai seorang pemimpin yang baik dan aku adalah seorang pandu yang suci dalam perkataan dan perbuatan. Pasti aku tidak akan mengecewakanmu.

“Seorang pejuang tidak akan mengingkari janjinya. Aku mencintaimu sepenuh hatiku, aku ingin menikahimu kalau Indonesia sudah merdeka. Aku akan membahagiakanmu dan tidak akan mengecewakanmu seumur hidupku,” lanjut Bung Tomo.

Selain sebagai seorang penyiar radio, usut punya usut, ternyata Bung Tomo juga merupakan seorang wartawan ulung. Ia dikenal sebagai seorang pribadi yang gemar menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan. Tulisannya kerap terpampang di beberapa media cetak, seperti Harian Soeara Oemoem, Harian berbahasa Jawa Ekspres, Mingguan Pembela Rakyat, Majalah Poestaka Timoer.

Lebih lanjut, Bung Tomo juga pernah meniti karier professional sebagai seorang wartawan. Tercatat, ia pernah menjadi seorang wakil pemimpin redaksi Kantor Berita pendudukan Jepang Domei, dan pemimpin redaksi Kantor Berita Antara di Surabaya.

Terlahir dari keluarga sederhana pada 3 Oktober 1920 di Surabaya, Jawa Timur, menjadikan Bung Tomo sebagai sosok pekerja keras. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjoyo, seorang pegawai pemerintahan. Selain itu, ayahnya juga pernah bekerja sebagai seorang asisten di kantor pajak pemerintah dan pegawai kecil di perusahaan ekspor-impor belanda.

Pada usia 12 tahun, Bung Tomo terpaksa meninggalkan pendidikan di MULO karena harus melakukan pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu. Belakangan, ia dapat menyelesaikan pendidikan di Hegere Burger School (HBS) lewat korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus.

Setelah Indonesia bisa terlepas dari agresi militer Belanda II yang berarti Indonesia bisa terlepas dari belenggu penjajahan, Bung Tomo memilih terjun kedua politik pada 1950-an. Akan tetapi, hal ini tidak berlangsung lama. Sebab beberapa tahun kemudian, ia tiba-tiba menghilang begitu saja. Baru kemudian setelah lengsernya Soekarno, ia kembali tampil kepermukaan.

Setidaknya, dalam karir politiknya, tercatat Bung Tomo pernah menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim pada 1955-1956 di era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Ia juga tercatat sebagai anggota DPR pada 1956-1959 yang mewakili Partai Rakyat Indonesia.

Dikenal sebagai pribadi yang garang dan selalu berapi-api dalam setiap kesempatan berbicara di atas panggung tampaknya masih melekat di sosok Bung Tomo, bahkan setelah dirinya menjadi bagian dari pemerintahan Soeharto. Alhasil, dalam beberapa kesempatan, terjadi beberapa perbedaan pendapat antara dirinya dan pemerintahan yang berkuasa.

Puncaknya, pada 11 April 1978, Bung Tomo ditahan atas kritikan kerasnya terhadap pemerintah. Dan baru setahun kemudian ia dibebaskan. Akan tetapi pasca kebebasannya, ia tidak lagi sevokal dahulu. Selain karena tidak lagi berminat terhadap dunia politik, usianya saat itu juga sudah memasuki kepala delapan.

Dua tahun setelah dibebaskan, Bung Tomo menjadi seorang pribadi yang taat beribadah. Pada tahun 1981, ia melakukan ibadah haji ke tanah suci Makkah. Namun pada akhirnya, saat sedang menjalankan wukuf di Arafah, singa podium Indonesia harus tumbang dan meninggalkan dunia untuk selama-lamanya.

Namun, berbeda dengan jamaah haji lainnya, jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke tanah air untuk kemudian dimakamkan di Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya. Bung Tomo mendapatkan Gellar Pahlawan Nasional usulan dari Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar (FPG) pada 9 November 2007. Setahun kemudian, tepatnya pada Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008, oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh, ia resmi dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional.

 

Leave a Response