Di sebelah timur Kota Semarang, ada sebuah Desa Banyumeneng atau lebih populer dengan nama Girikusumo. Girikusumo merupakan salah satu pusat penyebaran tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di Jawa. Desa ini berlokasi di kota kecamatan bernama Mranggen, satu kota kecil yang masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Demak.
Berada kurang lebih 7 km di selatan pusat kota Mranggen, Girikusumo merupakan daerah perbukitan yang berbatasan langsung dengan hutan yang memisahkan wilayah Kabupaten Demak dengan Kabupaten Semarang di selatan. Tak seperti kota Mranggen, udara di desa ini masih segar, pertanda belum terkontaminasi oleh polusi.
Di tempat inilah, dulu Kiai Muhammad Hadi atau Ki Ageng Giri memulai dakwahnya. Saat Kiai Muhammad Hadi pertama kali datang ke Girikusumo, daerah ini masih berupa hutan lebat. Ia kemudian membuka hutan dan menyiapkan lahan untuk bercocok tanam guna menopang kebutuhan Pesantren Girikusumo yang dibangunnya.
Selain Pesantren Girikusumo, salah satu penanda awal dakwah Kiai Muhammad Hadi Girikusumo adalah Masjid Babus Salam. Menurut prasasti di pintu masjid, dibangun pada 16 Rabiul Akhir 1228/18 April 1813. Masih berdasarkan prasasti di pintu masjid, masjid itu konon dibangun hanya dalam beberapa jam, yakni dari pukul 21.00 sampai pukul 01.00 dinihari.
Bila dirunut, nasab Kiai Muhammad Hadi dari jalur ayah akan sampai pada Ki Ageng Pandanaran. Ayahnya masyhur dengan nama Sunan Bayat yang makamnya ada di Bayat, Klaten. Menurut Martin van Bruinessen dalam buku Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (1995: 162), Kiai Muhammad Hadi tidak lain adalah seseorang yang dikenal dengan “Abdul Qadir” yang sekitar 1880 menggusarkan kolonial Belanda.
Sekitar tahun 1880, masih menurut Martin, Kiai Muhammad Hadi sudah kembali dari Makkah dengan membawa ijazah tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah dari Syaikh Sulaiman Zuhdi. Ketika menjadi pimpinan tarekat, ia banyak melakukan perjalanan keliling. Kiai Abdul Aziz Masyhuri dalam 99 Kiai Karismatik Indonesia (2020: 33) menyebutkan bahwa di era Kiai Muhammad Hadi, Girikusumo merupakan pusat penyebaran tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah.
Jaringan tarekat Kiai Muhammad Hadi menyebar terutama melalui dua putranya, yaitu Kiai Zahid dan Kiai Mansur. Kiai Zahid mewarisi Pesantren Girikusumo dan melanjutkan garis keguruan di sana. Sedangkan Kiai Mansur melanjutkan kemursyidan tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di daerah Popongan Klaten dan di sana menjadi sangat masyhur.
Kiai Mansur Popongan memiliki seorang khalifah yang kemudian menjadi mursyid Naqsyabandiyah Khalidiyah paling berpengaruh di Pantai Utara Jawa. Mursyid itu bernama KH Arwani Amin Kudus.
Dari banyak khalifah Kiai Arwani, dua di antaranya Kiai Abdullah Salam Kajen Pati dan Kiai Hasan Asykari yang masyhur dengan sebutan Mbah Mangli Magelang. Selain Kiai Arwani, dua khalifah lainnya adalah Kiai Hamam Nashir Grabag Magelang dan Kiai Abdullah Chafidz Rembang.
Nama yang terakhir disebut adalah Rois ‘Aam kedua Jam’iyyah Ahli Thariqah Al-Mu’tabarah (JATM), organisasi tarekat yang dibentuk para ulama pada tahun 1957 di Tegalrejo Magelang. Kiai Chafidz menggantikan Kiai Baidhowi Abdul Aziz Lasem. Khalifah Kiai Mansur lainnya, Kiai Arwani juga kemudian menjadi Rois Amm JATM setelah Kiai Chafidz Rembang.
Kiai Zahid, putra Kiai Muhammad Hadi yang mewarisi Pesantren Girikusumo, setelah wafat pada 1966 kemudian digantikan oleh putranya, Kiai Zuhri. Kiai Zuhri diteruskan oleh Kiai Munif sampai sekarang. Hingga kini, meski berada di pelosok desa, Girikusumo masih ramai dikunjungi masyarakat, terutama pada malam Jumat.
Kiai Muhammad Hadi sendiri dimakamkan di Girikusumo, di sebuah perbukitan tak jauh dari Pesantren Girikusumo. Selian Kiai Muhammad Hadi, Kiai Zahid, Kiai Zuhri, dan Kiai Nadhif, kakak Kiai Munif, juga dimakamkan di tempat yang sama. Lokasi pemakaman itu hingga kini masih terawat dengan baik. Hawa sejuk, pepohonan yang rindang, dan sungai kecil yang berada di bawah makam menjadikan nuansa di makam terasa tenteram.