Kualitas Sanad Kajian Keislaman

Semenjak beberapa bulan silam, pandemi Covid-19 mulai menggegerkan dunia. Virus ini sudah mengubah lini kehidupan seperti ekonomi, pendidikan, relasi sosial dan lain sebagainya.

Salah satu terdampak virus ini adalah sistem pendidikan baik formal maupun non formal. Kegiatan belajar mengajar diliburkan semenjak beberapa bulan silam. Uniknya, seakan tak hendak diam begitu saja, banyak pendidikan yang dialihkan menjadi versi daring dengan menggunakan berbagai aplikasi. Versi pendidikan ini banyak dilakoni oleh pendidikan tinggi dan pesantren.

Khususnya pada pendidikan versi pengajian, kegiatan ini kerap digelar oleh para guru dengan berbagai latar belakang. Studi satu kitab atau term tertentu dengan latar berbagai keilmuan yang mumpuni. Sebut saja, pengajian kitab Ihya’ Ulumiddin oleh Gus Ulil Abshar Abdalla, Fathul Muin oleh Kyai Muqsith Ghazali maupun pengajian yang diampu oleh para pengasuh dan ustaz di pesantren.

Realita ini pun menuai banyak tanggapan. Sebut saja, bagi kaum santri yang terbiasa muwajahah ketika menimba ilmu, cium tangan sebelum dan selepas mengaji, rebutan kopi hingga terkadang jeweran telinga ketika ada satu dua kenakalan. Bagi sang guru, tak ada lagi riak celoteh santri, rebutan pertanyaan, sanggah menyanggah bahkan yang paling sederhana suguhan kopi dan penganan di saat pengajian.

Namun positifnya, pengajian via daring ini mampu merangkul santri yang jauh lebih makro dari sewajarnya. Banyak ‘santri baru’ yang berdatangan dari seluruh penjuru tanah air menjadi anggota pengajian via daring. Bahkan, pengajian tipe ini mampu mencapai segmen yang notabene bukan santri. Masalah ekonomi dan jarak sudah bukan lagi menjadi hambatan untuk mengaji.

Namun di balik itu semua, sesekali ada yang mempertanyakan keabsahan sanad kajian daring tersebut. Apakah mungkin sanad keilmuan tetap bersambung sebagaimana pengajian tatap muka? Jika tidak, lantas bagaimana menyikapi kegiatan yang sejatinya menjadi solusi di masa pandemi seperti saat ini? Untuk menjawab hal ini, menarik kita definisikan sanad terlebih dahulu.

Sanad didefinisikan oleh Muhammad al-Qari dalam kitabnya Syarh Nukhbatul Fikri sebagai jalur yang menyampaikan matan suatu hadis atau ilmu. Dalam bahasa yang lebih mudah, sanad dapat didefinisikan sebagai jalur keguruan suatu matan hadis atau ilmu dari pihak pertama hingga sampai kepada penerima terakhir.

Dalam tradisi pesantren, sanad menjadi sesuatu yang sangat urgen. Kualitas sanad yang dimiliki, dapat menentukan kualitas keilmuan dan legalitas sebagai santri.

Sulaiman bin Musa mengatakan:

“janganlah kau mengambil ilmu (belajar) dari shahafiy”.

Begitu juga dengan Tsaur bin Yazid:

لاَ يُفْتِي النَّاسَ صَحَفِيُّ وَلاَ يُقْرِئُهُمْ مُصْحَفِيُّ

shahafiy tidak boleh memberi fatwa kepada khalayak dan mushhafiy tidak boleh membacakan (suatu ilmu) kepada mereka”.

Yang dimaksud shahafiy dan mushhafiy dalam dua kutipan tersebut adalah orang-orang yang belajar hanya melalui lembaran buku atau kitab. Mereka belajar suatu ilmu tanpa melalui ajaran dari seorang guru.

Orang-orang seperti inilah yang dilarang untuk mengajar dan memberikan fatwa suatu ilmu kepada khalayak. Karena orang yang semacam ini, adalah orang yang tidak memiliki guru yang dapat mengoreksi kesalahan dan menunjukkan jalan yang benar kepadanya. Artinya kualitas sanadnya diragukan.

Dalam kajian kitab daring, seorang yang hendak mengaji dipertemukan secara maya dengan gurunya. Di seberang, sang guru menyampaikan suatu ilmu agama tertentu. Keilmuan guru ini tentunya juga diperoleh dari sanad keilmuan yang jelas.

Ibaratnya, kedua belah pihak sejatinya berhadapan walau tak nyata. Poin penting yang menyatukan kegiatan ini adalah adanya transfer keilmuan dengan sanad yang utuh walaupun tanpa bertemu langsung.

Dalam literatur klasik, saat santri belajar kepada guru harus menempuh jarak yang jauh dan dalam waktu lama. Kecanggihan teknologi kemudian memperpendek jarak dan waktu tempuh tersebut. Jadi, jika ada sanggahan mengenai keabsahan sanad pengajian daring, maka cukup dijawab bahwa yang dilarang dari agama, adalah menyampaikan ilmu atau fatwa agama yang diperoleh dari lembaran kitab atau buku.

Dalam berbagai referensi, penulis belum menemukan kriteria bahwa syarat transfer sanad haruslah bertemu langsung. Bahkan, tak jarang kisah wali dan ulama-ulama tertentu yang belajar, bertanya suatu masalah maupun melakukan kritik keilmuan kepada ulama terdahulu atau bahkan kepada Nabi Muhammad saw. langsung.

Dapat disimpulkan, yang menjadi keharusan adalah kesinambungan sanad antar guru dan murid. Selain itu, menghindari melakukan aktivitas belajar-mengajar dari dan kepada orang yang berbekal teks saja tanpa guru.

Menarik direnungi sebuah syair yang digubah oleh Hasan bin Abdur Rahman:

“Ilmu yang kehilangan sanad pengajarnya, ibarat rumah tanpa atap dan tali pengikatnya”

Ala kulli hal, pengajian online ibarat sebuah rumah singgah yang dipilih ketika sedang capai di tengah perjalanan. Sementara menjadi santri utuh yang bisa mengaji sembari muwajahah dan menerima sanad secara langsung, tetaplah menjadi tujuan yang tak bisa ditawar. Wallahu A’lam.

 

Leave a Response