Seringkali gosip dicitrakan untuk seorang perempuan, bahkan untuk membuktikan hal tersebut sampai-sampai adagium China menyebutkan bahwa lidah merupakan pedang bagi kaum perempuan,dan mereka tidak akan membiarkannya berkarat.

Meskipun ada stereotip yang mengatakan perempuan lebih suka bergosip daripada laki-laki. Anggapan itu tidak cukup data yang memadai untuk mendukung hal tersebut. Gosip tidak mengenal usia, masyarakat desa maupun kota, dan tak pandang kelamin, Lak-laki pun suka bergosip, seperti halnya perempuan. Hanya saja, tidak dengan cara yang sama.

Baumeister, Zhang, dan Vohs menyebutkan bahwa tema gosip para lelaki adalah para pesohor (selebriti), politisi, dan terkadang cenderung promosi diri. Hal ini dianggap wajar karena lali-laki lebih berorientasi sosial dan kebudayaan.

Jadi seringkali mereka menyebutnya “Bertukar informasi” atau “berbagi kabar” sehingga percakapan yang dilakukan tidak terdengar seperti gosip, meskipun secara esensial merupakan gosip.

Sedangkan di pihak perempuan tema gosip yang sering muncul adalah anggota keluarga dan teman-teman dekatnya. Perempuan juga cenderung membuat gosip lebih detail dan rinci dengan nada yang lebih bersemangat.

Penyihir? Mungkin ketika kita mendengar kata itu, seketika yang akan muncul di pikiran kita adalah sosok perempuan tua yang jahat, bermuka jelek, dan seram menakutkan. Dan sepertinya memang betulah realitanya.

Inilah awal dalih sebuah pembantaian dan upaya pendisiplinan kaum perempuan. Dan stigma ini berhasil bertahan hingga kini pun gambaran seorang penyihir pasti akan mengacu pada perempuan.

Mungkin akan ada yang bertanya apa hubungannya penyihir dengan gosip? Kita lihat saja bagaimana persekusi penyihir dan gosip saling terpaut kuat satu sama lainnya.

Dalih pembunuhan tak terelakkan lagi, pembantaian besar-besaran pun mendera jadi, Silvia Federicci dalam bukunya Caliban and the Witch:Women, the Body and Primitive Accumulation menjelaskan secara gamblang tentang pengadilan penyihir sebagai alat yang efektif untuk mengontrol tubuh perempuan dan mempercepat laju-kembangnya kapitalisme pada masa transisi menuju kapitalisme.

Perempuan dijadikan target utama persekusi karena merekalah yang paling terdampak kemiskinan akibat kapitalisasi kehidupan ekonomi sehingga melahirkan populasi pengemis dan gelandangan yang menjadi ancaman tatanan kapitalis yang sedang berkembang.

Bayangkan saja, atas nama penyihir persekusi itu dilakukan, untuk mengurangi hambatan dan melancarkan proses maju-kembangnya kapitalisme awal. Lebih dari 600 ribu orang yang menjadi korban, 85% di antaranya adalah perempuan dan semuanya berasal dari kelas bawah. Mereka ditangkap dan dieksekusi, ada yang melalui proses pengadilan dan juga banyak yang tidak. Melalui siksaan yang kejam dengan cara diikat rantai besi lalu dibakar dalam kobaran api.

Akar masalah terjadinya insiden ini tidak dapat dilepaskan dari menjamur dan membiaknya kapitalis awal. Sebagai upaya tindak lanjut perkembangan mereka, apapun harus segera dilakukan meskipun harus menumbalkan korban.  Tidak peduli berapa pun jumlah korban yang akan berjatuhan yang terpenting laju kembangnya kapitalisme harus diprioritaskan.

Selanjutnya Federicci menulis buku barunya Witches, Witch-Hunting, and Women sebagai tindak lanjut dari buku sebelumnya. Baginya pemicu utama persekusi ini adalah upaya pemagaran tanah. Bagaimana tidak, tanah yang semula bersifat komunal diprivatisasi menjadi usaha komersial.

Hingga akhirnya lambat laun perempuan termarjinalkan, karena tanah bagi mereka adalah tempat untuk mengais kehidupan. Secara tidak langsung upaya pemagaran tanah/ pemberian batas atas tanah komunal mengakhiri hak-hak adat dan mengusir petani, serta penghuni liar yang bergantung pada tanah untuk keberlangsungan hidupnya.

Semula sebelum terjadinya kebijakan ini, kaum perempuan memiliki kekuatan di berbagai lini kehidupan sosial. Tidak satu pun dari mereka memiliki ketergantungan pada laki-laki untuk bertahan hidup. Tidak seperti (kebanyakan) perempuan saat ini yang memupuk banyak harapan dari sang lelaki.

Dari konteks inilah istilah penyihir mengalami peyorasi. Yang semula merujuk pada perempuan petani yang juga seorang tabib (dukun beranak) yang membantu perempuan lain dalam persalinan atau pengguguran kandungan. Sehingga dikenal memiliki kekuatan supranatural. Sehingga perempuan memliki peran sosial yang berpengaruh karena dianggap sebagai wujud kontrol atas reproduksi perempuan dan penguasaannya terhadap pengetahuan alam.

Bagi kaum kapitalis, seksualitas perempuan mengandung bahaya sosial, ancaman terhadap disiplin kerja, kekuasaan atas orang lain, dan hambatan bagi pemeliharaan hirarki sosial dan hubungan kelas. Tidak hanya itu, perempuan dianggap dapat menyihir laki-laki dengan pesonanya, mengontrol laki-laki di bawah kekuasaannya. Menjebak mereka dalam hasrat dan menyebabkan mereka melupakan semua jarak sosial dan kewajiban.

Sebisa mungkin, bagaimana pun caranya untuk menciptakan tranformasi sosial baru yang membuat perempuan terdomestikasi; sebatas reproduksi dan prokreasi. Salah satunya dengan menjadikannya sebagai penyihir. Hampir kesemua korban adalah mereka yang hidup di garis kemiskinan.

Sejak awal kelas kapitalis mengalami hambatan. Mau tidak mau, ia harus mengalahkan ancaman dari rakyat yang menjadi gelandangan, pengemis, buruh tak bertanah yang kapan pun bisa memberontak melawan tuan-puan barunya.

Dalam hal ini, perempuan tua yang membenci kesuraman / ketidakadilan, mereka pergi dari rumah ke rumah dengan gumaman pembalasan. Tak ayal ini menjadi hal yang ditakuti, khawatir menumbuhkan bibit konspirasi melawan kapitalisasi yang semarak terjadi.

Dari deretan peristiwa tersebut, pada puncaknya merembet ke gosip, ini juga tidak dapat dilepaskan dari konteks insiden tadi. Gosip salah satu kekuatan sikap politis perempuan. Jika kita mau menilik lebih dalam, gosip pada masanya memiliki kekuatan politis yang amat kuat. Gosip sebagai senjata perlawanan politik perempuan terpinggirkan yang dilakukan dalam upaya melawan elit kapitalis.

Upaya pembungkaman terhadap perempuan penuh berdarah-darah. Para perempuan akan dibawa ke pengadilan dan didenda karena telah “mengomel atau menghardik (menggosip)”. Para ulama/rohaniawan mengutuk lidah mereka.

Upaya pendisiplinan ini terus gencar, hingga pada tahun 1547 Sebuah pengumuman dikeluarkan untuk melarang perempuan saling bertemu, mengobrol, dan berbicara, dan memerintahkan suami untuk menjaga istrinya di rumah (Louis B. Wright: 1965) solidaritas perempuan ini sebagai pemicu perlawanan yang menjadi target pembungkaman sehingga menyeret mereka ke persidangan, dipaksa untuk saling melaporkan, teman terhadap teman, anak perempuan terhadap ibu mereka.

Ketaatan seorang istri adalah tugas utama yang diatur sedemikian rupa. Berbagai kalangan turut mendukung, gereja dan rahaniawan turut melaknat, hukum mengamini, opini publik tak kalah gencarnya, hingga akhirnya diberlakukan hukuman kejam yang diterapkan terhadap omelan dan hardikan (upaya perlawanan) seperti scold’s bridle; alat sadis yang terbuat dari logam dan kulit yang akan merobek lidah perempuan yang mencoba untuk bicara. (Silvia Federicci, 2018)

Dalam konteks inilah gosip berubah dari kata persahabatan dan kasih sayang menjadi kata fitnah dan ejekan. Pada akhirnya gosip mengalami peyorasi akibat sering membincangkan keburukan orang lain.

Padahal itu adalah upaya perlawanan sebagai korban yang tak berdaya. Agama pun umumnya menoleransi membicarakan keburukan orang lain. Seperti membicarakan kezaliman pemimpin maupun dalam proses kebijakan dan penegakan hukum.

Memang tidak dapat kita pungkiri the power of Gosip, selain berpotensi ke arah yang melulu negatif; menggunjing, tidak bermanfaat, bikin perselisihan, adu domba atau lainnya yang mungkin berpotensi jatuh ke arah kriminalisasi semacam pembunuhan.

Gosip pun memiliki jalan politiknya sendiri, sebagai media mengkritisi permasalahan publik. Lihat saja masyarakat kita saat ini, pengambil keputusan dan kebijakan umumnya diambil oleh laki-laki.

Begitu pun dalam agenda kehidupan kemasyarakatan, laki-lakilah yang mendominasi, sementara perempuan terdomestikasi. Di agenda informal inilah (gosip) para emak-emak menyampaikan suaranya atau kampanye diam-diam menyampaikan prespektifnya.

Gosip juga berpotensi sebagai kontrol sosial yang tidak melulu membual dari mulut ke mulut saja, itu pun bisa menjadi hukuman bagi orang-orang yang melanggar norma dan kesepakatan masyarakat.

Temuan Malinowski (Eko A. Meinarno, dkk: 2011) terkait gosip pada masyarakat kepulauan Trobriant cukup mengerikan. Ketika tersebar gosip bahwa seorang ayah memperkosa anak perempuannya, si ayah tidak dihukum. Ia dibiarkan hidup sebagaimana biasanya dengan kondisi sosial yang tak berbeda. Namun, gosip yang beredar tanpa diduga membuatnya tertekan sehingga pada suatu hari ditemukan tewas lantaran bunuh diri.

Suka atau tidak suka itulah realita yang terjadi di lapangan. Sejak dulu, sekarang, dan mungkin di masa mendatang budaya gosip tetap diperlukan sebagai media kontrol sosial (dengan syarat dan ketentuan berlaku). Tidak hanya media membual memecah pertikaian.

Leave a Response