KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha dalam suatu majelis pengajian bersama para santri menjelaskan tentang hukum menshalati jenazah orang fasik yang mati sebab melakukan dosa-dosa besar, seperti minum oplosan, bunuh diri, dan lain-lain.

Berikut ini penjelasan Gus Baha:

Ada Sahabat Nabi bernama Jabir Bin Abdillah memiliki murid paling alim dari kalangan tabi’in bernama Muhammad bin Munkadir yang sering dikutib kitab I’anatut Thalibin.

Itu kebalikan dari apa yang dilakukan Nabi (yakni pernah tidak menshalati jenazah fasik), tetapi tidak salah. Makanya kalau ada yang bilang sedikit-sedikit Sunnah Rasul, masih lebih tahu ulama daripada kalian.

Sahabat Jabi dan Ibnu Munkadir ketika ada orang yang mati, meskipun karena oplosan (minum arak) atau bunuh diri, mereka tetap menshalati.

Waktu itu Muhammad bin Munkadir ditanya, “Orang ini tidak benar matinya. Seumur-umurnya fasik. Kenapa orang sesholeh engkau menshalatinya?”

Saya masih hafal teksnya. Karena saya terharu. Redaksinya seperti ini:

Inni astakhi minallah. An ya’lama minni anna rohmatahu ta’jizu an akhadin min kholqin.

“Aku ini malu sekali kepada Allah, kalau Allah sampai melihat hatiku bahwa hatiku memiliki hukum yang menghukumi apabila rahmat Allah bisa saja tidak sampai ke orang ini.”

Jadi begini, aku menshalati orang fasik bukan karena simpati kepada orang fasik. Aku malu kepada Allah apabila rahmat Allah tidak bisa menjangkau orang ini.

Artinya, rahmat Allah bisa menjangkau siapa saja dan  kepada siapa saja. Dan kita bisa saja tidak tahu misalnya orang yang meninggal karena oplosan merawat anak yatim atau menyumbang masjid.

Kita tidak tahu masa lalunya. Bisa saja sekarang yang mati di masjid, meskipun dulunya pernah nakal.

Tapi kan bisa dibalik. Orang yang meninggal oplosan pernah salam tempel dengan kiai, beramal ikhlas di masjid.

Kan kita sama-sama tidak tahu?

Betapa takutnya ulama dengan Tuhan. Dia tidak ada urusannya dengan orang fasik tapi urusannya dengan Allah.

Itu yang ditiru kiai Jawa se-Indonesia. Ada orang sefasik apapun tetap dishalati.

Bukan karena melegitimasi kefasikan. Tetapi, supaya orang tidak menghukumi, membatasi, dan mengatur rahmat Allah.

Tapi, kalian jangan sampai hal ini menjadikan hukum, “Pokoknya ada orang fasik dishalati”.

Bagaimanapun Nabi juga pernah tidak mau shalat (kasus Nabi pernah enggan menshalati jenazah yang masih memilik tanggungan hutang).

Kata Imam Nawawi kan memilih ‘setengah-setengah’ (mengambil jalan tengah).

Baiknya begini, apabila ada orang meninggal karena fasik atau bunuh diri, kiai induk tidak usah menshalati. Hal ini agar menjadi pelajaran kalau orang mati jelek tidak disholati orang alim.

Tapi, orang awam saja yang menshalati. Tapi masalahnya, siapa yang mengaku alim? Maksud Imam Nawawi meminta “setengahan” itu adalah orang-orang yang top alimnya tidak perlu menshalati.

Dulu Mbah Zubair, Abahnya Kiai Maimoen Zubair, ketika ada orang terkenal PKI di kampung meninggal, orang-orang kampung diminta shalat, tapi Mbah Zubair waktu mengaku tidak pantas menshalatinya.

Itu contoh “setengahan”, kalau semua nyolati—dalam bahasa sekarangtidak menjadi efek jera. Ternyata orang mati oplosan itu sama saja yang shalat banyak.

Orang menshalati menurut saya tidak ada pengaruhnya. Doanya kan doa ngeper (seperti per) semua. Berdoanya apabila orang baik ya baiknya ditambahi, kalau jelek ya mohon diampuni. Iya kalau baik, kalau tidak?

Kadang saya mendoakan mayit kalau jelek kan tidak masuk doa yang wa in kana mukhsinan (…dan jika ada kebaikan…).

Oleh karena itu saya suka pendapat Muhammad bin Munkadir,  “Aku hanya malu kepada Allah apabila menganggap rahmat Allah terbatas.”

Hal ini penting kenapa kita harus taat dan mengikuti ulama. Tidak ada orang takwa kepada Allah seperti para ulama. Karena ulama yang mewakili perasaan Nabi Muhammad saw.

Ketika Nabi wafat, para sahabat menshalatkan orang yang terkenal munafik.

Kenapa tidak meniru Nabi? Nabi memperoleh informasi akurat dari Allah. Sementara kalian? Berdasarkan informasi su’udzon.

Sekarang orang-orang mengikuti sunnah Nabi tidak mau mensholati orang munafik. Nabi  menghukumi orang munafik pasti benarnya karena Nabi memperoleh informasi dari langit. Sementara kalian berdasarkan suudzon dan sebagainya kan?

Apabila ada orang fasik meninggal, dishalati saja, tapi jangan semua. Kalau kata Imam Nawawi orang alim tidak usah. Tetapi, yang alim siapa?

Jadi begini, Nabi pernah berkata, shollu ala shohibikum (shalatlah untuk sahabat kalian).

Kalau pun Nabi tidak berkenan, Nabi tetap meminta orang lain untuk menshalati. Hal ini karena kalau tidak dishalati, maka haknya sebagai jenazah Muslim tidak didapatkan.

Tetapi, kalau semua orang menshalati nanti tidak ada efek jera, bagaimanapun dia mati karena oplosan (fasik). Sekarang setengahan saja, tokoh-tokoh ulama tidak usah ikut menshalati. Jelas nggeh…?

Simak sumber video pengajian ini: klik >>Gus Baha – Hukum Shalati Orang Fasik

Leave a Response