Pelaksanaan ibadah haji pernah dikenai banyak aturan, bahkan sempat dilarang oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Bagaimana mungkin pelaksanaan haji yang seperti kita tahu tujuannya hanya untuk beribadah, sempat ditakuti oleh kaum penjajah?
Sebelum kedatangan Snouck Hurgronje, seorang penasihat hukum Islam Hindia Belanda, pemerintah kolonial memiliki aturan yang berubah-ubah terkait pelaksanaan haji di Hindia Belanda. Walaupun diberi kebebasan untuk melaksanakan ibadah rukun Islam kelima itu, namun para haji seringkali dicurigai oleh penjajah. Para haji yang pulang dikhawatirkan akan memimpin pemberontakan karena membawa pemikiran baru untuk melawan penjajah kolonial.
Snouck Hurgronje menuturkan ada empat motivasi kaum muslimin Hindia Belanda menunaikan ibadah haji, di antaranya adalah untuk menunaikan perintah agama, memperluas agama, status sosial (gelar haji), dan kekecewaan akan penjajahan di Tanah Air yang membuat mereka ingin tinggal di Mekkah.
Beberapa dari mereka yang berhaji, sempat mendalami ilmu agama dan menjalin hubungan dengan para ulama serta umat Islam internasional. Mereka pun telah berkenalan dengan Pan-Islamisme, gerakan untuk menyatukan umat Islam di seluruh dunia di bawah satu pemerintahan untuk mengusir penjajahan. Gerakan inilah yang membuat penjajah Belanda khawatir.
Islam yang dipadukan dengan politik membuat Islam di mata penjajah amat menakutkan. Tak bisa dipungkiri, banyak sekali perlawanan umat Islam terhadap pemerintah kolonial. Jihad dalam ajaran Islam telah mengantarkan umat Islam Hindia Belanda melawan kolonialisme bangsa Eropa. Beberapa perlawanan tersebut yaitu Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Paderi (1821-1837), dan Perag Aceh (1871-1912).
Peraturan haji yang diberikan pemerintah Hindia Belanda seringkali berubah-ubah. Alasan utamanya adalah mereka ingin membatasi ruang gerak haji karena khawatir para haji mampu memimpin pemberontakan serta menanamkan paham Pan-Islam.
Husni Rahim dalam buku Sistem Otoritas dan Administrasi Islam menjelaskan bahwa telah ditetapkan keharusan membayar pas jalan sebanyak 110 gulden bagi yang akan berhaji. Lalu dikenakan denda sebesar 1000 gulden bagi siapapun yang tidak membeli pas jalan. Aturan ini tercantum dalam Beslit No. 9 tahun 1825.
Denda yang dibayarkan ternyata lebih mahal daripada membayar pas jalan itu sendiri. Karena tak ada yang mampu membayar, maka dikeluarkan peraturan Beslit No. 24 tahun 1831 untuk mengurangi denda dari 1000 gulden menjadi 220 gulden.
Pada masa Gubernur Jenderal Duymaer Van Twist (1851-1856), aturan haji tidak terlalu diperketat. Lahirlah peraturan Beslit No. 9 tahun 1852 untuk menggratiskan pas jalan dan menghapuskan denda. Peraturan haji diperbarui kembali pada 1859 karena kekhawatiran penjajah Belanda setelah terjadi pemberontakan di India pada 1857.
Salah satu ketentuan dari peraturan 1859 (Staatsblad tanggal 6 Juli 1859 No. 42) yakni pelaksanaan ujian bagi jamaah yang telah menunaikan ibadah haji. Mereka diuji oleh bupati/kepala daerah yang ditunjuk. Jamaah yang lulus diperbolehkan menggunakan gelar haji dan pakaian haji.
Kehadiran Snouck Hurgronje, seorang orientalis Belanda yang banyak mempelajari Islam, telah memberikan perubahan dalam kebijakan pelaksanaan haji di Hindia Belanda. Menurutnya, Islam sebagai agama (ibadah) tidak perlu ditakuti pemerintah Belanda. Islam sebagai politiklah yang perlu diawasi dan dimusuhi.
Tidak terlalu banyak Jamaah haji dari Indonesia yang mendapat pengaruh gerakan Pan-Islam. Sehingga menurut Snouck hal tersebut tidak diperlu ditakuti. Para jamaah yang menetap atau bermukim di Mekkah justru yang perlu ditakuti. Hal ini karena mereka bertemu dengan umat Islam internasional dan telah berkenalan dengan Pan-Islamisme.
Berangkat dari penjelasan Snouck Hurgronje, terbitlah Staatsblad 1922 No. 698 untuk mengatasi jamaah haji agar tidak terpengaruh Pan-Islamisme. Aturan ini telah membatasi jamaah haji agar tidak menetap atau tinggal lebih lama di Mekah. Hal ini mengharuskan mereka membeli tiket pulang dan pergi.
Snouck Hurgronje telah membagi Islam menjadi tiga lapangan aktivitas, yaitu, pertama, ibadah. Menurutnya, pemerintah kolonial haruslah memberikan kebebasan beribadah bagi umat Islam. Apabila pemerintah membatasi umat Islam dalam beribadah, maka akan muncul konflik dan perlawanan yang akan membahayakan pemerintah kolonial itu sendiri.
Kedua, kemasyarakatan. Pemerintah kolonial perlu memberikan kebebasan bagi umat Islam dalam mengurus kehidupan bermasyarakat seperti pernikahan, warisan, dan wakaf. Hal ini mampu memberi simpati karena umat Islam dibiarkan menjalankan urusan sosialnya sesuai dengan ajaran agamanya sehingga tidak timbul keinginan mewujudkan negara Islam.
Ketiga, politik atau kenegaraan. Untuk urusan politik dan kenegaraan, Hurgronje berpandangan agar pemerintah Belanda bersikap tegas dan keras. Jangan sampai ada politik yang bersumber dari Islam termasuk konsep Pan-Islamisme.
Snouck Hurgronje pun berpendapat agar pemerintah memberikan pendidikan Barat kepada anak-anak beragama Islam. Hal ini bertujuan agar mereka satu perasaan dengan pemerintah dan mampu menjauhkan mereka dari ajaran agama.
Pemerintah kolonial pun harus selalu mengawasi dan bertindak tegas jika muncul doktrin Pan-Islam. Persatuan umat Islam memiliki bahaya yang besar terhadap kedudukan penjajah Belanda. Konsep ini mampu menyuntikkan semangat perjuangan melawan penjajah kolonial.
Ilustrasi: Dinas imigrasi Hindia-Belanda memeriksa surat-surat calon jemaah haji Indonesia sebelum mereka berangkat menuju Tanah Suci, Tanjung Priuk, 1938 (Arsip Nasional)
Referensi:
Effendi, E. (2012). “Politik Kolonial Belanda Terhadap Islam Di Indonesia Dalam Perspektif Sejarah (Studi pemikiran Snouck Hurgronye)”. Jurnal Tapis: Jurnal Teropong Aspirasi Politik Islam, 8(1).
Hurgronje, C. S. (1997). Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje Jilid VIII, Terj. Soedarso Soekarno. Jakarta: INIS.
Rahiem, H. (1998). Sistem Otoritas dan Administrasi Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.