KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya, adab al-ta’lim wa al-muta’alim, menerangkan hak anak yang harus dipenuhi orangtua. Beberapa hak yang disebutkan oleh KH. Hasyim Asy’ari antara lain hak mendapatkan nama yang baik, hak mendapatkan susu yang bagus (sehat), dan hak diajarkan adab yang baik [Hasyim Asy’ari; 1415 H, 9]. Hak-hak tersebut harus dipenuhi sebagai bentuk tanggung jawab orangtua terhadap anaknya, terutama di era milenial sekarang ini.
Hak diberi nama yang baik pada era ini sangat logis, karena di era milenial apa-apa bisa menjadi bahan gunjingan yang mengarah pada bullying dan cyber–bullying. Tentu ini akan menjadi beban bagi anak karena perundungan tidak hanya datang dari kehidupan nyata anak, tapi juga di media sosial.
Beberapa nama yang pernah menghiasi dunia maya adalah “Kentut”, sebuah nama yang diberikan oleh orangtuanya yang juga belum diketahui makna filosofisnya, namun masyarakat dunia maya lebih dulu mem-bully-nya.
Masyarakat media sosial tidak mengenal berpikir radikal, apa yang terlintas saat scrolling akan ditanggapi dengan cara yang reduksionis. Nama yang mengandung arti buruk dalam bahasa Indonesia akan menjadi bahan lelucon, dijadikan meme yang menandakan cara berfikir yang mengalami simplifikasi.
Pembuatan meme-meme sebenarnya mengarah pada cyber-bullying secara perlahan. Lebih kacaunya, aktivitas di media sosial dijadikan acuan untuk berkomunikasi di dunia nyata.
Maka sebagai orangtua perlu menyadari bahwa “nama adalah doa” juga perlu mempertimbangkan kondisi sosio-antropologisnya.
Secara lokalistik nama “Kentut” bisa jadi memiliki arti baik dan merupakan tempat orangtua menaruh harapan. Namun tak bisa dipungkiri, orangtua perlu mempertimbangkan pemberian nama tersebut jangan sampai menjadikan bom waktu bagi anak yang awalnya tempat menaruh harapan menjadi tempat menaruh hujatan bagi orang lain. Hak anak atas pemberian nama yang baik dan dianggap baik merupakan hal vital yang harus dipenuhi oleh orangtua pada era ini.
Hak anak selanjutnya adalah hak mendapatkan susu (ASI) yang sehat. ASI yang sehat adalah hak setiap bayi dan merupakan hak asasi anak. Pemenuhan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama dan selanjutnya makanan pendamping ASI selama dua tahun sangat mempengaruhi pertumbuhan bayi.
Bayi juga memiliki hak untuk dijauhkan dari produk susu formula dan pengiklanannya, karena berpotensi menghambat tumbuh kembang bayi. Sedangkan pemenuhan ASI menjadi hak bayi karena ASI mengandung zat besi yang bagus untuk tumbuh kembang anak sekaligus melindungi dari berbagai penyakit akut dan kronis.
Hak atas ASI ini telah diatur dalam Undang Undang RI No 23 tahun 2002 tentang Perlindugan Anak yang merupakan hasil ratifikasi pemerintah Indonesia tahun 1990 dari Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the child) yang dihadiri oleh 19 negara.
Ini merupakan respon yang cukup baik dalam memperhatikan hak anak yang berpengaruh pada kesehatan bayi dan ibu bayi. Dari adanya hak anak ini pemerintah juga dituntut untuk menyediakan pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak untuk mengontrol hak anak terpenuhi.
Sedangkan dalam proses menyusui, negara harus memastikan tempat-tempat publik seperti lingkungan kerja, pariwisata ramah terhadap bayi dan ibu menyusui. Artinya bukan hanya negara, tapi juga seluruh masyarakat juga ikut memastikan bahwa hak anak terpenuhi, karena anak adalah generasi emas bagi negara.
Hak mendapatkan pendidikan adab, merupakan yang harus didapatkan anak sejak kecil, dengan kata lain orangtua yang paling bertanggung jawab atas karakter anak. Sejatinya pendidikan adalah hak mendasar bagi setiap manusia yang harus didapatkan untuk mengembangkan nalar berfikir.
Namun Hasyim Asy’ari menekankan bahwa adab adalah hal paling penting yang harus dimiliki murid (orang terdidik), bahkan pendidik.
Beliau mengatakan, pondasi dari syariah, iman dan tauhid adalah adab, tidak ada ketiganya (syariah, iman, tauhid) jika adab tidak dimiliki, bahkan ilmu yang banyak tidak lebih baik dari adab yang sedikit [Hasyim Asy’ari; 1415 H, 11].
Adab di sini bukan diartikan sebagai tunduk, patuh, dan merendah dalam menghadapi segala sesuatu, termasuk kebijakan dan pembuat kebijakan. Adab tidak mengikis kritisisme, karena letak adab berada pada cara mengkritisi bukan pada substansi kritik. Jika melihat kemungkaran dan kezaliman seseorang tidak mengkritik, bisa jadi orang tersebut belum mengoperasionalkan adabnya.
Sedangkan adab pada seorang anak sebetulnya berguna untuk meredam benturan berbagai karakter yang ditawarkan di lingkungan bebas, luar rumah. Maka menjadi kewajiban bagi orangtua untuk mendidik adab anak sebagai fondasi dasar sebelum merambah ke dunia luar.
Mendidik adab juga tidak melulu diartikan orangtua mendidik anaknya di rumah setiap hari, setiap jam. Orangtua bisa mendidik adab anak dengan mengirim anak ke pesantren, menyekolahkannya, itulah sebenarnya hak anak yang harus dipenuhi.
Adab sangat terlihat peranannya ketika dihadapkan dengan era keterbukaan informasi. Arus informasi yang semakin cepat dan hampir tanpa batas menjadikan segala baik dan buruknya inforasi sulit dibedakan. Pendidikan semakin mudah diakses setiap orang berkat digitalisasi zaman, namun tidak dengan adab.
Akses anak terhadap dunia luar semakin luas tanpa ke luar rumah. Sehingga tantangan adab semakin besar, yaitu dengan tetap berada pada pantauan orangtua (di dalam rumah) anak bisa menyalurkan emosionalnya lewat media sosial, entah baik atau pun buruk tanpa diketahui orangtua secara jelas. Di mana pun anak saat ini, mereka termasuk organisme yang rentan terhadap apa pun, rentan terpapar radikalisme, rentan terpapar kenakalan remaja, dan hal-hal buruk lainnya.
Tiga hak anak menurut Hasyim Asy’ari tersebut kiranya menjadi tugas utama orangtua untuk segera memenuhinya. Mulai memberinya dengan nama yang baik secara sosio-antropoligis yang mengandung doa orangtua, kemudian pemenuhan terhadap kebutuhan kesehatan bayi dengan ASI yang menjadi hak utamanya, dan pendidikan adab bagi anak untuk membentuk akhlaq al-karimah sebagai fondasi anak dalam menjalani kehidupan di dunia nyata ataupun di dunia maya sehingga mampu meredam paparan-paparan keburukan yang ditawarkan oleh realitas kehidupan.