Dalam fiqh, muncul pertanyaan yang memprihatinkan: apakah seorang istri (perempuan) memiliki hak untuk meminta dan menikmati hubungan seksual bersama suami (laki-laki) ataukah tidak?

Ini artinya ada keraguan tentang hak menikmati seksualitas bagi istri, lebih luas lagi bagi perempuan. Akan tetapi, tidak demikian bagi suami atau laki-laki. Laki-laki atau suami seolah secara otomatis memiliki hak untuk meminta, dilayani, dan menikmati hubungan seksual dengan istrinya, sehingga tidak perlu lagi dipertanyakan.

Apabila ditelusuri lebih mendalam, persepsi ini muncul berangkat dari pemaknaan terhadap kata “nikah” itu sendiri. Dalam fiqh, mayoritas ahli fiqh mendefinisikan nikah sebagai hak kepemilikan laki-laki atas tubuh perempuan untuk tujuan penikmatan seksual (milk istimtâ’ ar-rajul bi al-mar’ah). Demikian dirujuk dari Wahbah az-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islâmiy wa Adillatuhu (2004, h. 6513)

Meskipun dengan bahasa yang berbeda-beda, tetapi ada kesepakatan mayoritas ulama mazhab empat mendefinisikan nikah sebagai akad yang memberikan kepemilikan kepada laki-laki untuk memperoleh kesenangan dari tubuh seorang perempuan. Mereka sepakat bahwa pemilik kesenangan seksual adalah laki-laki.

Bahkan dalam fiqh berkembang pandangan bahwa suami tidak berkewajiban melayani keinginan seksualitas istri. Berbeda dengan hasrat suami yang jika tidak dilayani oleh istri, maka sang istri akan dilaknat oleh malaikat. “Ketika suami mengajaknya berhubungan seksual, istri harus memenuhinya sekalipun ia sedang berada di dapur atau di punggung unta,” demikian teks Hadits yang diriwayatkan at- Tirmidzi.

Hadits lain bahkan memperingatkan konsekuensi yang merugikan istri apabila dia menolak. “Ketika suami mengajaknya berhubungan seksual, kemudian sang istri menolaknya, sehingga suami tidur dengan penuh kegundahan, maka ia dilaknat oleh para malaikat sampai pagi,” demikian Hadits riwayat al-Bukhari.

Sementara hal yang sama tidak berlaku bagi suami, karena tidak ada satu Hadits pun yang secara eksplisit menunjukkan norma kebalikan ini. Jika demikian, maka seksualitas perempuan dikonstruksi fiqh hanya pelengkap dari seksualitas laki-laki. Ia hanya ada bagi kepentingan laki-laki. Istri seolah-olah hanya mempunyai kewajiban memberikan kesempatan [tamkîn] bagi suami untuk menikmati tubuhnya kapan dan di mana saja suami menghendaki.

Dalam suatu riwayat, Rabi’ah al-‘Adawiyyah, sufi perempuan ahli mahabbah, setiap malam selalu berhias, memakai pakaian yang indah, menyemprotkan wewangian pada tubuhnya, lalu menawarkan dirinya kepada suaminya, “Silahkan, aku persembahkan tubuhku untukmu.”

Jika suami tidak berminat, ia lepas semua pakaian indahnya, ia cuci tubuhnya dari wewangian, lalu menghadap Allah SWT. Ia mendirikan sembahyang dan berdzikir sepanjang malam. Demikian tugas inti perempuan dalam konstruksi sejarah patriarkhi; mempersiapkan tubuhnya untuk dinikmati laki-laki.

Dalam penjelasan-penjelasan fiqh klasik yang patriakhis, ada beragam pendapat tentang hak perempuan untuk memperoleh layanan seksual dari suaminya. Ada yang mengatakan cukup sekali dalam empat hari, dengan asumsi seorang laki-laki memiliki empat istri dan setiap istri berhak giliran satu malam.

Ada yang mengatakan cukup satu bulan sekali, ada yang berpendapat empat bulan sekali, dan ada yang menyatakan bahwa istri hanya berhak menuntut satu kali saja layanan seksual dari suaminya selama perkawinan. Alasannya, layanan seksual dari suami itu tergantung hasrat seks darinya, tidak bisa dipaksakan. Apabila tidak berhasrat, laki-laki tidak mungkin bisa melayani kebutuhan istrinya.

Pemahaman yang berkembang berabad-abad ini membentuk persepsi umum bahwa Islam telah mereduksi hak seksual perempuan dan bersikap diskriminatif. Dalam banyak kasus, teks-teks keagamaan tersebut dijadikan senjata bagi suami untuk mengaktualisasikan hasrat seksualnya tanpa memperhatikan hasrat seksual istrinya.

Pemahaman seperti ini tentu saja tidak sejalan dengan substansi ayat Al-Qur’an yang sudah disebutkan di atas dan Hadits Nabi yang diriwayatkan Ibnu Abbas, “Aku suka berdandan untuk istriku sebagaimana aku suka dia berdandan untukku.”

Pemahaman ini boleh jadi dilatarbelakangi oleh asumsi yang bias bahwa hasrat seksual perempuan lebih rendah dari pada hasrat seksual laki-laki, sama dengan argumen yang melegitimasi poligami. Pemahaman yang bias ini agaknya tidak bisa lepas dari pemahaman yang bias terhadap teks Al-Qur’an surat al-Nisâ [4] Ayat 34:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang shaleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Perempuanperempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

Teks ketuhanan ini menginformasikan kepada kita tentang status subordinat istri (perempuan). Laki-laki dalam pembacaan tekstual ayat ini adalah “qawwâm”—yang diterjemahkan secara berbeda-beda: pemimpin, pendidik, pelindung, atau makna lain yang menunjukkan superioritas laki-laki atas perempuan.

Atas pemaknaan ini, perempuan dipandang oleh sebagian besar masyarakat Muslim sebagai ciptaan Tuhan kelas dua. Pemahaman ini penting diluruskan. Sebagaimana sudah dikemukakan, teks Islam semacam ini sesungguhnya adalah teks yang sedang berbicara dalam sejarah sosial Arabia pada abad ke-6 Masehi. Kebudayaan Arabia, seperti kebudayaan dunia saat itu, adalah patriarkhi, bahkan dalam banyak kasus misoginis.

Maksudnya, teks tersebut sejatinya tidak sedang menjustifikasi sistem subordinasi perempuan, melainkan sedang mengakomodasi dan bicara tentang realitas sosial saat itu. Tidak terdapat indikasi yang jelas dalam teks tersebut tentang faktor-faktor yang mendukung superioritas laki-laki atas perempuan. Akan tetapi para ahli tafsir menyebut faktor superioritas itu antara lain: akal-intelektual, sesuatu yang tidak disinggung teks.

Teks menyebut secara jelas bahwa keunggulan/superioritas laki-laki atas perempuan didasarkan karena laki-laki “memberi nafkah”. Apabila “nafkah” sebagai faktor, maka berarti tidak mutlak dan tidak kodrati, melainkan fungsional belaka. Dengan logika ini, perempuan pun bisa menjadi “qawwâmah” apabila secara fungsional bisa memberikan nafkah.

Kita harus memahami bahwa teks tersebut tengah menjalankan peran transformasinya. Teks Al-Qur’an ini sedang dalam proses mendialogkan diri dengan realitas sosio-kultural saat itu untuk suatu perubahan yang diidealkan. Agak sulit memang untuk dapat memahami kesimpulan ini secara cepat.

Analisis ini diperlukan untuk menemukan titik temu dengan maqâshid al-syarî’ah dan teks-teks universal (al-kulliyyât). Tanpa pendekatan ini kita akan terus menghadapi kontradiksi-kontradiksi pernyataan tekstual Tuhan dengan realitas sosial hari ini dan di sini. Ini sesuatu yang tidak boleh terjadi.

 

Artikel ini dikutip Fiqh Seksualitas terbitan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) tahun 2011 yang disusun oleh Husein Muhammad, Siti Musdah Mulia, dan Marzuki Wahid.

Leave a Response