IQRA.ID – Pada momen kurban di hari raya Idul Adha, terkadang tidak sedikit umat Islam yang bertanya, “bagaimana hukum membagikan daging kurban kepada orang non-muslim?”
Pertanyaan ini muncul sebab realitas masyarakat Indonesia pada umumnya beragam agamanya, sehingga solidaritas sosial seringkali tidak melihat status agamanya.
Dalam hal ini, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, KH Ma’ruf Khozin, menyatakan bahwa hukumnya boleh memberikan daging kurban kepada non-Muslim, asalkan daging yang diberikan sudah dalam keadaan matang dan layak konsumsi.
Kebolehan tersebut dikuatkan oleh Al Qur’an Surat Al-Mumtahanah ayat 8, yang merupakan bagian dari muamalah.
“Kalau sudah dimasak dimensinya sudah dimensi sosial, itu boleh. Hanya saja jangan dalam keadaan mentah setelah disembelih, sebab itu masih proses ritual,” kata Kiai Ma’ruf di acara Webinar Fiqh Kurban yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Tafsir Shohihuddin 02, Ahad (18/7) malam.
Dijelaskannnya, bahwa ada dua pendapat hukum dalam urusan pembagian daging kurban pada non-Muslim. Ada yang secara mutlak melarang, ada pula yang membolehkannya dengan catatan merujuk pada muamalah atau interaksi sosial.
“Jadi, ketika kemudian bermuamalah atau interaksi sosial itu diperbolehkan,” jelas Ketua Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur ini.
Lebih lanjut, Kiai Ma’ruf menerangkan daging hasil sembelih hewan kurban baiknya tidak dimakan sendiri atau oleh orang yang berkurban saja, tetapi juga harus dibagikan kepada orang lain yang membutuhkan.
“Menurut madzhab Syafi’i pemilik itu boleh mengambil 1/3 dan yang lainnya wajib disedekahkan kepada fakir miskin,” terangnya.
Terkait pembagiannya, terdapat beberapa ketentuan mengenai siapa saja yang berhak menerima daging hewan kurban. Secara umum, kata dia, penerimanya terdiri dari 3 kelompok, yaitu orang yang berkurban, kerabat terdekat, dan faqir miskin.
“Sepertiga pertama untuknya (boleh diambil, boleh juga tidak), lalu sepertiga kepada faqir miskin sebagai sedekah ini hukumnya wajib,” ucapnya, sebagaimana dikutip dari situs NU Online.
Selanjutnya, kata dia, sepertiga terakhir dihadiahkan kepada panitia kurban sebagai bentuk apresiasi karena telah bersusah payah mengurusi, menyediakan pakan dan membersihkan tempat pra-penyembelihan hingga pasca penyembelihan dilakukan.
“Di lingkungan kita takmir atau panitia kurban itu luar biasa pengorbanannya, maka kita sebagai pengurban harus mengerti ketika mereka mengambil bagiannya, karena itu bagian dari porsi hadiah,” ujar Kiai Ma’ruf.
Selain itu, menurutnya, sebagaimana ketentuan dari Imam Syafi’i, daging yang diberikan selain harus memiliki standar kelayakan juga dianjurkan dalam keadaan mentah, agar memudahkan penerima dalam penggunaannya.
“Ini sebagai bentuk pemberian sempurna kepada orang miskin. Apakah dia akan memasaknya atau menjualnya, itu terserah sesuai dengan apa yang diinginkannya,” imbuh Kiai asal Malang itu. (Syifa Arrahmah/Aiz Luthfi)