Hukum Menikahi Wanita Hamil di Luar Nikah – Normalnya seorang perempuan atau wanita akan hamil setelah menikah. Namun, karena kurangnya pengawasan dari orangtua atau faktor lainnya, terkadang perempuan mengalami ‘kecelakaan’ sehingga membuatnya hamil sebelum waktunya.
Untuk mencegah tersebarnya aib (hamil di luar nikah), biasanya pihak orangtua akan segara menikahkan putrinya, baik kepada laki-laki yang telah menghamili atau kepada laki-laki lain. Meski begitu, terkadang tidak sedikit umat Islam yang bingung tentang hukum kasus demikian.
Lalu bagaimana hukum pernikahan tersebut dan bagaimana status nasab anak yang ada dalam kandungan menurut hukum Islam (fikih)? Menikahi wanita hamil di luar nikah hukumnya masih diperselisihkan. Sedangkan para ulama merinci mengenai status anak yang ada dalam kandungan.
Berikut ini hukum menikahi wanita hamil di luar nikah menurut 4 madzhab:
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hukum menikahi perempuan yang hamil di luar nikah adalah boleh dan sah. Mengenai hubungan intim dan status anak yang ada dalam kandungan hukumnya masih ada beberapa perincian.
Jika sang suami merupakan laki-laki yang telah menghamili, maka ia boleh langsung menggauli istrinya. Adapun status anak yang ada dalam kandungan akan tetap bernasab kepadanya. Dengan catatan sang anak terlahir setelah enam bulan dari masa pernikahan
Akan tetapi, jika anaknya terlahir sebelum enam (6) bulan, maka ia tidak bernasab. Artinya, sang ayah tidak bisa mewariskan hartanya dan tidak bisa menjadi wali saat sang anak menikah nanti.
Sementara itu, jika yang menikahi bukan dari laki-laki yang menghamili, maka ia tidak boleh berhubungan intim sampai istrinya melahirkan. Sedangkan status anak yang lahir tidaklah bernasab (Syekh Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islami Wa Adillatuh, jilid 9, hal. 140).
Imam Syafi’i berpendapat bahwa menikahi perempuan hamil di luar nikah hukumnya boleh dan sah. Kemudian sang suami (baik dari laki-laki yang telah menghamili atau pun bukan) boleh langsung berhubungan intim tanpa harus menunggu sampai istrinya melahirkan, namun hukumnya adalah makruh (Ibnu Hajar al-Haitami, Fatawa Ibnu Hajar al-Haitami, jilid 5, hal. 183).
Kemudian anak yang ada dalam kandungan perempuan itu statusnya tidak akan bernasab. Kecuali apabila laki-laki tersebut yakin bahwa sang anak merupakan hasil dari spermanya. Dan anak itu juga lahir setelah enam (6) bulan dari masa pernikahan (Sayyid Ba Alawi al-Hadhrami, Bughyat al-Mustarsyidin, hal. 496).
Imam Malik berpendapat bahwa perempuan yang hamil sebab zina tidak boleh dinikahi. Waktunya sampai ia melahirkan kandungannya dan otomatis sang anak hanya akan bernasab pada ibunya. Beliau berhujah dengan hadis Nabi Muhammad Saw. sebagaimana riwayat dari Imam Baihaqi:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ، فَلَا يَسْقِيَنَّ مَاءَهُ وَلَدَ غَيْرِهِ
Artinya : Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka ia tidak boleh meletakkan spermanya di atas anak orang lain. (HR. Baihaqi)
Imam Malik beranggapan jika perempuan yang sedang hamil dinikahkan sebelum melahirkan, maka akan terjadi kerancuan dalam status nasab sang anak. Hal ini sebab sperma hasil zina akan bercampur dengan sperma suami yang sah. (Syekh Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islami Wa Adillatuh, jilid 9, hal. 140).
Imam Ahmad bin Hanbal sebagaimana keterangan Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir (jilid 18, hal. 130) berpendapat bahwa perempuan tersebut tidak boleh dinikahi sampai ia melahirkan. Selain itu, perempuan itu harus bertaubat jika yang hendak menikahi adalah pria baik-baik.
Alasan Imam Ahmad hampir sama dengan Imam Malik, namun beliau menambahkan syarat taubat karena perempuan yang hamil sebab zina tidak layak untuk seorang mukmin yang baik berdasarkan firman Allah :
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Artinya : Laki-laki pezina tidak boleh menikah melainkan hanya kepada perempuan pezina atau perempuan musyrik; dan perempuan pezina tidak dinikahi melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin. (QS. An-Nur: 3)
Demikian ulasan singkat tentang hukum menikahi wanita hamil di luar nikah dalam agama Islam menurut 4 madzhab. Wallahu a’lam.