Manusia modern lebih sering dikenal sebagai manusia rasional. Segala sesuatu yang tidak rasional maka akan lebih mudah dibantah dan tidak terverifikasi. Ki Ageng Suryomentaram (1892-1965) adalah salah satu produk dari manusia modern yang hadir sebagai ulama khasnya keraton Jawa di abad modern.
Jawa pada saat itu telah kehilangan identitas kejawaannya akibat kolonialisme. Manusia Jawa sudah tercerabut dari akar kejawaannya bahkan ada yang mengatakan “wong Jowo ora jowoni”. Tidak mengherankan jika sekarang manusia Jawa lebih mengagungkan peradaban dan ilmu pengetahuan bangsa lain ketimbang mau menilik dan menggali falsafahnya sendiri.
Namun pada spketrum yang lain Jawa hadir kembali dalam narasi kesatuan Nusantara dengan daerah yang memilik nasib dan perjuangan sama sebagai daerah jajahan kaum kolonial.
Kawruh Begja atau Kawruh Jiwa merupakan salah satu khazanah pengetahuan yang ditorehkan oleh Ki Ageng Suryomentaram untuk menjadikan manusia Jawa lebih rasional dalam menjawab problem dan tantangan kejawaan yang selama ini sudah hilang.
Ia merupakan khazanah intelektual Islam Jawa yang dijadikan sebagai usaha dalam merekonstruksi ulang terkait “pengetahuan mistik” yang mungkin pada masanya telah menarik masyarakat Jawa terhadap budaya “klenik” sebagai implikasi dari pengetahuan mistisnya yang memang sudah mendarah daging. Namun pada sisi yang lain term-term yang ada dalam Kawruh Jiwa seperti mulur-mlungkret, bungah-susah, mawas diri, dijadikan jangkar untuk melihat manusia Jawa secara utuh dan rasional.
Irfan Afifi menandaskan bahwa Kawruh Jiwa adalah pengetahuan rasional yang senapas dengan geliat zaman rasionalisme, ia juga sebentuk pengetahuan yang masih berkutat soal masalah kejiwaan atau olah jiwa yang merupakan konsep penting dalam pengetahuan lama sebagai subjek dan laku pemikiran dan laku dunia kejawaan (Irfan Afifi, 2021:89).
Dengan begitu Kawruh Jiwa hadir bagi manusia Jawa yang pada saat itu masuk dalam pusaran rasionalisme dan modernitas yang sulit ditolak oleh manusia Jawa dengan tidak menanggalkan kejawaannya.
Manusia tidak bisa menolak yang datang dan mengcengkeram dengan erat yang pergi. Meskipun demikian manusia tentu akan berusaha mati-matian dalam mencari, menghindari atau menolak sesuatu, walaupun seyogyanya tidak pantas dicari, ditolak, atau bahkan dihindari.
Senang dan Susah itu Tidak Tetap
Sesuatu yang dicari atau ditolak secara mati-matian pada hakikatnya tidak akan menyebabkan orang bahagia selamanya, atau celaka dan susah selamanya. Tetapi pada waktu orang menginginkan sesuatu pasti akan mengira keinginannya tercapai dan dia akan merasa bahagia dan senang selamanya, dan jika tidak tercapai tentunya akan merasa celaka dan susah selamanya.
Bagi Ki Ageng pendapat seperti itu jelaslah keliru, karena sifat alamiah manusia tidak akan pernah terpuaskan dengan suatu hal. Ketika mereka (manusia) keinginannya sudah tercapai beribu-ribu kali, tetap saja dia tidak akan bahagia, melainkan senang sebentar, kemudian akan merasakan kesusahan lagi.
Sebaliknya, jika sudah beribu-ribu keinginannya tidak tercapai, namun tetap saja tidak celaka, melainkan bersusah sebentar kemudian bersenang lagi. Jadi pendapat yag menyatakan keinginan menyebabkan rasa bahagia atau tidak tercapainya keinginan menyebabkan rasa celaka, menurut Ki Ageng jelaslah keliru.
Adalah yang menyebabkan senang pasti tercapainya keinginan. Keinginan tercapai akan menimbulkan rasa senang, gembira, lega, puas dan lain sebagainya. Padahal ketika inginan tercapai pasti akan mengalami sifat mulur, memanjang, dalam artian meningkat.
Dalam hal ini apa yang diimpikan atau diinginkan akan meningkat baik jumlahnya ataupun mutunya sehingga tidak akan tercapai dan hal ini sudah pasti akan menimbulkan kesusahan dalam diri sendiri. Jadi seyogyanya kesenangan itu tidak dapat berlangsung secara terus menerus (Ki Ageng Suryomentaram, 1975:9).
Kita ambil contoh misalkan, hari ini semua orang menginginkan menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), setelah mereka berhasil menjadi PNS maka keinginan itu bukannya berhenti malah semakin mulur, memanjang, tidak ada puasanya, mereka pasti menginginkan kedudukan lebih tinggi dari pada PNS semata.
Jadi jelaslah bahwa lahirnya keinginan dalam usaha mencapai kedudukan apabila sudah terlaksana pasti akan mulur, memanjang. Maka senang itu sifatnya tidak tetap.
Demikian juga rasa susah tidak tetap. Karena susah disebabakan tidak tercapainya keinginan yang berwujud tidak enak, menyesal, kecewa, tersinggung dan lain sebagainya. Padahal esensinya ketika keinginan tidak tercapai pasti mungkret (menyusut) dalam artian apa yang diinginkan berkurang baik dalam jumlah maupun mutunya, sehingga dapat tercapai, maka timbullah rasa senang. Jadi secara otomatis bagi Ki Ageng rasa susah juga itu tidak tetap.
Lanjut Ki Ageng menjelaskan bahwa keinginan yang mungkret ini masih tidak terpenuhi, pasti akan mungkret lagi. Mungkretnya keinginan ini baru berhenti bila keinginan itu sudah terpenuhi.
Tentunya apa yang diinginkan itu memang ada atau mudah diperoleh, sehingga keinginan itu mudah untuk dipenuhi dan akan menimbulkan rasa bahagia. Secara gamblang sifat susah tidak tetap adanya karena semua itu dikembalikan pada keinginan kita.
Jadi, jelas bahwa keinginan senang dan susah itu tidak tetap. Sebab senang itu disebabkan karena keinginan tercapai, dan keinginan yang tercapai akan menimbulkan sifat mulur, sehingga yang diinginkan tidak mungkin tercapai, maka timbulah rasa susah.
Sedangkan rasa susah diakibatkan keinginannya tidak terwujud, padahal ketika keinginan tidak terwujud maka akan menimbulkan sifat mungkret. Maka sifat keinginan itu sebentar mulur, sebentar mungkret, sebentar mulur, sebentar mungkret. Hal inilah yang menyebabkan mengapa rasa hidup manusia itu sejak muda hingga tua sebentar susah, sebentar senang.
Dua term tadi menjadi contoh betapa rasionalnya Ilmu Begja yang ditelurkan oleh Ki Ageng Suryomentaram. Jika diamati secara saksama dan ditelisik secara mendalam, melalui Ilmu Begja, Ki Ageng telah benar-benar meninggalkan metode pengetahuan mistik yang sebelumya dijadikan pijakan utama dalam meniliti diri terutama tentang ilmu jiwa. Oleh karenannya, sifat rasional benar-benar ditekankan dalam metode Ilmu Begja–nya Ki Ageng.