Hari-hari setelah Kiamat terjadi merupakan serangkaian masa yang pasti akan dilalui oleh siapa pun yang hidup di dunia ini. Banyak sekali nash agama –Al-Qur’an dan hadis Nabi– yang mengisahkan kengerian hari itu. Dalam Al-Qur’an informasi hari akhir bisa kita jumpai dengan mudah dalam surat makkiyyah.

Kita juga bisa membuka kitab Jāmi’ al-Ushūl fī Ahādīts al-Rasūl jilid 10 karya Ibn Atsīr, kitab hadis yang mengompilasi enam kitab hadis mu’tabar. Di sana terdapat hadis yang khusus berbicara tentang Kiamat. Mulai tanda-tandanya hingga neraka beserta kengeriannya dan surga berikut kenikmatannya. Kitab ini ditulis oleh Imam Ibnu Katsīr dengan judul al-Nihāyah fi al-Fitan wa al-Malāhim.

Merujuk hadis no. 7948 yang ditulis oleh Ibn Atsīr, terdapat informasi bahwa kelak manusia akan digiring dalam keadaan telanjang tanpa alas kaki. Namun demikian, kejadian ini tidak bisa membuat laki-laki dan perempuan bisa saling memandang. Lantaran suasana yang terjadi saat itu lebih dahsyat dari sekadar saling melihat satu sama lain.

Membayangkan hadis yang diriwayatkan oleh Syaikhan dan Imam al-Nasa’i ini kita jadi teringat bagaimana masing-masing dari kita saat terjadi gempa. Semuanya lari menyelamatkan dirinya masing-masing. Tidak ada yang perduli dengan saudaranya dan bahkan harta bendanya.

Pada hari itu jarak Matahari sangat dekat dengan manusia, yakni antara 1 atau 2 mil. Saat itu, keringat setiap orang tergantung pada amalnya. Ada yang keringatnya sampai dua telapak kaki, lutut, pinggang, dan bahkan sampai mulutnya (hadis no 7956 dalam karya Ibn Atsīr). Padahal Matahari dengan jarak 150 juta km saja sudah membuat seseorang malas keluar rumah.

Di dalam rumah pun terkadang masih mencari minuman dingin yang menyegarkan. Sementara saat keluar rumah, keringat yang mengucur hanya mampu membasahi baju saja. Tidak lebih. Apalagi nanti hanya 1 atau 2 mil saja? Terbayang sudah, betapa keberadaan telaga Nabi ini sangat berarti.

Dalam kitab Syarah Sullam Taufiq karya Syekh Nawawi Al-Bantani, diceritakan bahwa telaga Nabi ini gambarannya seperti lautan yang berada di bumi baru –sebagaimana informasi Allah dalam QS. Ibrahim: 48 bumi dan langit yang ada saat ini akan diganti oleh-Nya– yang berwarna putih keperak-perakan.

Panjang daripada telaga ini  akan selesai ditempuh dengan perjalanan yang memakan waktu sebulan. Aromanya lebih harum dari minyak misik. Ia memiliki aneka warna yang dimiliki minuman-minuman surga dan aneka rasa yang ada pada berbagai macam buah-buahan surga.

Siapa pun yang meminumnya –terang Syekh Nawawi dalam Mirqād Shu’ūd al-Tashdīq-nya– tidak akan merasa haus untuk selamanya. Saat itu, Umat Nabi Muhammad terbagi menjadi 3 golongan. Yang pertama adalah mereka yang dipastikan bisa langsung meminumnya, yakni umatnya yang bertakwa.

Yang kedua golongan yang tidak akan bisa meminumnya yakni mereka yang mengingkari ajarannya. Dan yang ketiga kelompok yang akan meminumnya tapi ditangguhkan sebagai hukuman. Golongan ketiga ini adalah umat Muhammad yang beriman tapi masih suka bermaksiat.

Mereka baru bisa menikmati telaga tersebut sebelum masuk neraka. Ada yang bilang sebelum melewati jembatan shirāth al-mustaqīm atau sebelum amal mereka ditimbang.

Demikianlah kurang lebih gambaran telaga yang dipaparkan oleh Ulama Jawa yang mendunia ini. Adapun dalam karya Ibnu Katsīr tadi, informasi seputar telaga Nabi bisa kita temukan di juz 1, bagian akhir. Setidaknya informasi Nabi ini menguatkan pengetahuan kita betapa meminum telaga Nabi menjadi sesuatu yang luar biasa nanti.

Kehidupan seseorang setelah kematian sangat tergantung pada perilakunya saat di dunia. Jika terbiasa melakukan kebaikan, kenikmatan dan kemudahanlah yang akan ditemuinya nanti. Sebaliknya, jika keburukan yang menjadi kebiasaannya, dikhawatirkan ia akan mati dalam keadaan bermaksiat yakni su`ul khatimah.

Jika sudah demikian, maka siksa dan kesulitanlah yang akan menemaninya. Lantas, bagaimana caranya agar kita termasuk umat Nabi yang berhak atas telaga Kautsar itu?

Amalan agar Mendapat Telaga Kautsar

Dalam kitab Audlah al-Bayān fī mā Yata’allaqu bi Wazhā`if Ramadlān, Hadlrotus Syaikh Hasyim Asy’ari mengutip dua hadis Nabi yang menuturkan amalan dengan ganjaran berupa meminum air telaga Kautsar. Hadis pertama bisa kita temukan dalam bab kewajiban puasa bulan Ramadan, yakni hadis ke-4.

Adapun hadis yang kedua tercantum pada bab keutamaan puasa terlebih puasa Ramadan dengan nomor urut ke-15 dari 25 hadis yang nukilnya. Setidaknya ada dua amalan yang bisa kita temukan dalam dua riwayat ini, yakni memberi minum orang yang berpuasa dan berpuasa pada bulan Ramadan.

Hadis yang pertama, diriwayatkan oleh Imam Ibn Khuzaimah dan Imam al-Baihaki dari sahabat Salman al-Farisi dalam dua kitab sahih mereka. Di situ –kurang lebih– dituturkan bahwa barang siapa yang memberi minum orang yang berpuasa, Allah akan memberinya seteguk air minum dari telagaku di mana peminumnya –setelah meminumnya– tidak akan merasa haus sampai ia masuk surga.

Sementara hadis yang kedua ini sangat menarik. Di sana diceritakan berbagai amalan yang menyelamatkan pemiliknya dari berbagai kesulitan hari akhir. Di antara amalan tersebut adalah berpuasa pada bulan Ramadan.

Saat itu –dalam hadis  yang diriwayatkan oleh al-Hafiz Abu Musa al-Madīni dari sahabat Abdurrahmān bin Samuroh– Nabi  diperlihatkan seorang lelaki yang menggeliat kepanasan atau menjulurkan lidah karena kehausan. Setiap kali dirinya mendekat ke telagaku, ia tidak bisa dan terlempar. Kemudian puasa Ramadan menghampirinya dan memberinya minum sampai ia puas.

Leave a Response