Setiap memasuki bulan Ramadan istilah ngabuburit dipastikan menjadi trending topic menarik. Ngabuburit merupakan tradisi unik yang sudah menjadi budaya masyarakat Sunda pada bulan Ramadan. Sampai saat ini, tradisi ngabuburit dengan variasi kekhasan masing-masing daerah, masih sangat digemari oleh masyarakat sekalipun dalam kondisi pandemi covid-19.

Ngabuburit merupakan istilah bahasa Sunda yang berasal dari kata dasar burit yakni sore atau senja hari. Awal suku kata burit mendapat pengulangan (dwipurwa) menjadi buburit, kemudian mendapat awalan N- (nasal nga-) menjadi ngabuburit. Jadi struktur kata ngabuburit adalah burit + N- (nga) + R.  Istilah yang sama dalam Bahasa Sunda seperti kata ngabeubeurang (menunggu waktu siang) dan ngabebetah (supaya betah).

Ngabuburit mengandung arti menunggu atau menghabiskan waktu hingga menjelang sore datang. Namun pada pada saat Ramadan kata ini mengandung arti mengisi waktu dengan berbagai aktivitas yang menyenangkan dalam rangka menunggu saat berbuka puasa. Kegiatan ini dilakukan agar orang yang berpuasa konsentrasi dengan puasanya dan dapat melupakan lapar, dahaga sampai azan magrib tiba.

Beragam cara masyarakat dalam menyikapi tradisi ini. Tegantung siapa yang menjalankan kebiasaan unik ini. Berkaca pada tradisi masyarakat dulu, tradisi ini dilakukan seusai melaksanakan shalat ashar. Masyarakat terbagi kepada beberapa bagian.

Ada yang duduk i’tikaf di masjid dan musholla untuk mengkaji agama termasuk tadarus Al-Qur’an. Sebagian masyarakat ada yang pulang ke rumah untuk menyelasaikan pekerjaan yang belum tuntas. Sebagian generasi muda dan anak-anaknya ada yang pergi ke madrasah untuk memperdalam ilmu agama namun ada juga yang mengajak teman dan saudara-saudaranya bermain di lapangan terbuka atau pelataran masjid, sambil menunggu pembagian takjil.

Memang tidak dipungkiri tradisi ngabuburit ini seringkali digunakan oleh orang tua sebagai “hadiah” bagi anak-anak yang baru belajar berpuasa. Hal ini dilakukan dengan mengajak mereka jalan-jalan  ke tempat keramaian atau ke pusat kota untuk melepaskan kepenatan sambil memberikan motivasi agar mereka kuat berpuasa dan tidak terasa lapar dan haus.

Seiring dengan perkembangan zaman, tradisi ngabuburit saat ini sedikit mengalami pergeseran nilai karena hanya diartikan sebagai jalan-jalan sore, nongkrong di jalan atau mencari hiburan. Hampir tiap Ramadhan kita menyaksikan saat menjelang magrib tiba, di alun-alun, pusat keramaian, mall, pasar, ruang-ruang terbuka, dan arena bermain kebanjiran pengunjung yang ngabuburit.

Bahkan lebih parah lagi, saat ini ngabuburit sudah jauh dari akar budaya asalnya. Fenomena ngabuburit pada saat Ramadan benar-benar jauh dari nilai-nilai positif, terutama pada anak-anak muda yang sengaja ngabuburit ke luar rumah dengan berkendaraan motor, berboncengan dengan pasangan yang bukan mahramnya atau berburu hiburan yang tidak bermanfaat.

Suasana pandemi sekarang pun nampaknya tidak dapat menghalangi masyarakat ngabuburit dengan cara yang tidak elegan. Masih ada masyarakat yang ngabuburit mengabaikan protokol kesehatan yang sudah seharusnya dipatuhi.

Ada juga sebagian anak muda yang hanya diam di rumah dengan kesibukan sendiri bermain gadget, game online, atau sejenisnya. Mereka asyik dengan dirinya sendiri. Demikian juga, beberapa stasiun televisi berlomba-lomba menawarkan program ngabuburitnya. Tawaran variatif yang dianggap menarik disuguhkan walaupun tidak sedikit yang jauh dari nilai-nilai Ramadaniyah bahkan cenderung merusak pahala ibadah puasa.

Memang, fenomena ngabuburit sekarang ini masih sangat diminati dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia, tidak hanya milik masyarakat Jawa Barat saja. Bahkan beberapa Kedutaan Besar dan KJRI sering juga mengadakan tradisi ngabuburit ini dengan beragam kegiatan.

Tradisi ngabuburit, apabila dilakukan dengan baik tentu akan mengundang pahala. Namun sebaliknya jika jauh dari nila-nilai Ramadan yang penuh kesucian dan keagungan, yang didapat adalah apa yang diingatkan dalam sabda Nabi SAW:

“Berapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan bagian dari puasanya melainkan lapar dan dahaga, dan berapa banyak orang yang shalat malam tidak mendapatkan bagian dari ibadahnya melainkan bergadang saja.” (HR. Ahmad).

Untuk menjadikan ngabuburit ini berpahala, langkah yang terbaik adalah dengan cara mengembalikan cara ngabuburit ke pada makna asalnya, yaitu  menghabiskan waktu burit (sore) yang diisi dengan hal-hal postitif.

Banyak kegiatan yang justru akan mendongkrak pahala keutamaan dalam ibadah puasa kita. Kajian-kajian keilmuan, tadarus Al-Qur’an, atau kegiatan-kegiatan postif lainnya yang bersifat sosial, seperti membagi takjil bagi para shaimin atau membantu mereka yang membutuhkan.

Kalaupun ada yang ngabuburit bertujuan mengajak anak yang sedang belajar berpuasa untuk melupakan lapar dan dahaganya atau sekedar belanja untuk keperluan Ramadan, maka niatkan dengan ikhlas sambil tetap menjaga rambu-rambu puasa kita. Jangan lupa juga tetap patuhi protokol kesehatan.  Mari, jadikan ngabuburit kita berpahala.

 

Leave a Response