Setiap suatu karya tulis yang lahir tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi dari situasi dan kondisi penulisnya. Kondisi tersebut dapat berasal situasi internal atau dalam pribadi penulis maupun dari faktor eksternal penulisnya. Artinya, suatu karya lahir tidak dalam ruang yang hampa.

Karena hal demikian, sang penulis selalu berdialektika dengan realitas keadaan sosial, politik, maupun budaya di sekitarnya. Alquran misalnya, ayat-ayatnya hadir berkait erat dengan situasi dan kondisi budaya Arab saat itu. Begitu juga dengan berbagai karya tafsir yang ada.

Dalam konteks ini, kita berbicara tafsir Fayd al-Rahman karya KH. Shalih Darat dari Semarang. Dalam riwayat sejarahnya, beliau merupakan Maha Guru dari para kiai Nusantara. Di antara para muridnya yang terkenal ialah KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhamadiyah), KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU), dan RA. Kartini (tokoh emansipasi wanita Indonesia).

Shalih Darat menulis tafsir Fayd al-Rahman tersebut dengan bahasa lokal (Jawa ngoko) yang khas dengan menggunakan aksara pegon. Tafsir ini merupakan karya monumental pada zamannya. Selain menjadi tafsir bahasa Jawa yang pertama di Indonesia, juga memiliki spirit anti kolonial.

Namun siapa sangka, aktor di balik munculnya karya ini adalah sosok perempuan. Yang  pada saat itu peran perempuan pada umumnya termarjinalkan dari kaum laki-laki. Tidak lain, sosok tersebut ialah murid KH. Shalih Darat sendiri yaitu RA. Kartini. Seorang wanita kelahiran Jepara, Jawa Tengah.

Penduduk Indonesia, siapa yang tidak mengenal Kartini. Ia merupakan sosok pahlawan wanita yang dengan gigih memperjuangkan hak-hak wanita Indonesia dalam berbagai hal, salah satunya hak untuk berpendidikan. Oleh karenanya, Kartini berkeinginan besar untuk menyetarakan hak antara laki-laki dan perempuan. Sehingga tidak ada deskriminasi terhadap di antara keduanya.

Banyak pemikiran-pemikiran cemerlang Kartini yang menimbulkan pro-kontra oleh sebagian orang pada zamannya. Akan tetapi tidak bagi yang lainnya, termasuk KH. Shalih Darat. Salah satu pemikirannya yang ‘kontroversial’ saat itu ialah penyebab lahirnya tafsir Fayd al-Rahman itu sendiri.

Setidaknya ada satu hal yang ‘dilanggar’ oleh Kartini pada saat itu. Sekitar abad ke 19 sebagian ulama al-Azhar mengharamkan segala bentuk penerjemahan Alquran ke dalam berbagai bahasa (termasuk Jawa). Karena mereka berargumen, bahasa terjemahan tidak dapat mewakili bahasa aslinya.

Pelarangan tersebut juga datang dari pihak kolonial yang saat itu sedang menjajah Indonesia. Pihak kolonial menilai bahwa spirit anti-kolonial salah satunya lahir dari Alquran itu sendiri, yang menjadikan penduduk pribumi melawan mereka.

Larangan itu tidak diindahkan oleh Kartini. Justru ia gelisah atas adanya pelarangan tersebut. Ia berpikiran, apa gunanya mempunyai kitab suci Alquran yang notabene hadir sebagai petunjuk. Namun tidak memahami isi dari petunjuk tersebut. Kegelisahan inilah yang kemudian dicurhatkan kepada KH. Shalih Darat.

Mengutip artikel Masrur, berikut dialog antara Kartini dengan KH. Shalih Darat yang ditulis oleh Ny. Fadhilh Shalih, salah seorang cucu KH. Shalih Darat:

“Kiai, perkenankan saya bertanya, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya? Tertegun Kiai Shalih Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diplomatis itu. ”Kenapa Raden Ajeng bertanya seperti itu? Kiai Shalih Darat balik bertanya, Sambil berpikir dan bertanya hampir sama dengan apa yang pernah di angan-angankan.”

 “Kiai, baru pertama kali ini aku mengerti arti surat dan makna surat yang pertama, induk Alquran. Yang maknanya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati ini  kepada Allah, namun aku heran tak habis pikir, mengapa para ulama melarang menerjemahkan dan menafsirkan Alquran dalam bahasa Jawa, bukankah Alquran itu kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi umat manusia?”

Mendengar curhatan ini, KH. Shalih Darat mengabulkan pemintaan Kartini.  Akhirnya KH. Shalih Darat menuliskan tafsir dengan bahasa Jawa yang disebut tafsir Fayd al-Rahman.

Beliau mulai menulis tafsirnya pada 20 Rajab 1309 H dan rampung pada tanggal 7 Muharram 1311 H/1893/94 M. Tafsir ini pertama kali dicetak di Singapura oleh penerbit Haji Muhammad Amin pada 29 Jumadil Akhir tahun 1311 H/1894.

Sayangnya kitab tafsir ini belum genap tiga puluh juz, hanya terdiri dari dua jilid. Mulai dari surat al-Fatihah sampai penafsiran surat al-Nisa’. Tafsir ini pula yang kemudian dihadiahkan oleh KH. Shalih Darat kepada Kartini ketika pernikahannya.

Leave a Response