Kitab suci memiliki peran penting sebagai dasar doktrin/teks/ajaran bagi para pemeluknya. Dalam konteks Indonesia yang berpenduduk multi agama, ada enam agama yang diakui oleh negara, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu.
Masing-masing agama tersebut memiliki kitab suci, ada Al-Quran, Al Kitab, Weda, Tripitaka dan Si Shu. Pemerintah sebagai representasi negara memiliki kewajiban konstitusional untuk mengimplementasikan Undang-undang Dasar Pasar 1945 yang mengamanahkan agar menjamin warga negara dapat beribadat sesuai dengan keyakinannya, termasuk melalui pelayanan publik yang diberikan.
Pelayanan keagamaan merupakan hak konstitusional setiap warga negara, juga hak konstutisional bagi individu yang memiliki keterbatasan fisik (difabel). Kementerian Agama dalam Rencana Strategis Kementerian Agama 2015-2019, berdasarkan Keputusan Menteri Agama (KMA) nomor 39 Tahun 2015, dalam rangka meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran agama, telah menetapkan agenda peningkatan kualitas pelayanan kehidupan beragama sebagai agenda yang akan dilakukan melalui 3 pendekatan kegiatan: (i) pelayanan administrasi keagamaan, (ii) penyediaan kitab suci dan (iii) pengembangan rumah ibadat.
Selanjutnya, Renstra Kementerian Agama 2015-2019 menjelaskan bahwa penyediaan kitab suci diselenggarakan secara cuma-cuma bagi masyarakat Keseriusan Kementerian Agama dalam meningkatkan layanan kitab suci bagi masyarakat terlihat dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Kementerian Agama Tahun 2017, yang telah menetapkan pengadaan kitab suci dan buku agama bagi seluruh pemeluk agama sebagai satu dari 6 (enam) kegiatan prioritas kegiatan Kementerian Agama.
Oleh karena itu, Menteri Agama melalui keputusan (KMA) Nomor 65 Tahun 2017 tentang Indikator Kinerja Utama (IKU) Kementerian Agama telah menetapkan Indeks Pelayanan Keagamaan sebagai instrumen penilaian terhadap peningkatan kualitas pelayanan keagamaan. Satu di antara aspek yang akan dinilai melalui indeks pelayanan keagamaan tersebut adalah pelayanan di bidang kitab suci.
Variabel penting dalam keberhasilan penyelenggaraan pelayanan kitab suci oleh Kementerian Agama adalah bagaimana tata kelola penyelenggaraan pelayanan kitab berjalan efektif, karena hal tersebut akan berimplikasi terhadap tingkat kepuasan masyarakat. Efektivitas tata-kelola penyelenggaraan pelayanan kitab suci adalah terkait dengan dukungan tata-kelola mulai dari tingkat pusat sampai daerah, melibatkan instansi pusat dan vertikal, karena Kementerian Agama merupakan Kementerian yang menjalankan urusan pemerintahan yang tidak didesentralisasikan.
Metode Penelitian
Penelitian Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama ini dilakukan dengan pendekatan mixed method, yang memadukan pendekatan kuantitatif dan kualitatif guna mendapatkan gambaran mengenai implementasi tata kelola pelayanan kitab suci dan penilaian kepuasan masyarakat terhadap pelayanan kitab suci oleh Kementerian Agama. Jumlah responden untuk survei adalah 3.877 orang di 34 provinsi.
Survei serial ini dilakukan dalam 2 tahap yaitu tahun 2018 dan 2019. Sampel diambil secara quota purposive sampling berdasarkan karakteristik demografi agama di 34 Provinsi dan karakteristik yang lebih spesifik yaitu stakeholder (non-pemerintah) seperti yang terdiri dari para-pihak yang terlibat secara langsung dan yang memiliki kepentingan dalam pengadaan dan pendistribusian kitab suci, seperti yayasan atau ormas keagamaan serta masyarakat umum pemeluk enam agama yang dilayani negara sebagai pihak penerima manfaat (beneficiary) dari pelayanan kitab suci.
Hasil Penelitian
Hasil riset serial tahun 2018 dan 2019 menyatakan bahwa layanan kitab suci yang dilakukan oleh Kementerian Agama masih dalam kategori kurang baik. Tahun 2018 angka indeksnya berada di rentang 2.61 yang menunjukkan bahwa penilaian masyarakat “kurang baik.” Sedangkan penilaian masyarakat tahun 2019 hanya naik sedikit menjadi 2.76 (kurang baik). Skor indeks ditetapkan dengan range skor tertinggi 4 dan terendah 1. Indeks layanan kitab suci dapat dijabarkan dalam delapan aspek dengan perolehan skor beragam. Tidak dijumpai skor maksimal 4 (sangat baik).
Rendahnya penilaian masyarakat atas pelaksanaan pelayanan kitab suci disebabkan oleh rendahnya penilaian atas beberapa indikator terkait dengan tata-kelola pelayanan, yang skornya tak ada yang sampai pada angka 3.5. Penilaian positif diberikan masyarakat atas pelayanan kitab suci terkait dengan aspek produk, yaitu kualitas cetakan, penggunaan huruf dan penggunaan tata bahasa terjemah yang mudah dipahami.
Skor atas ketiga indikator tersebut menunjukkan kinerja yang baik, rata-rata di atas 3 atau paling tinggi 3.18. Sedangkan untuk ketercukupan pengadaan kitab suci, mendapatkan nilai terendah dibandingkan dengan aspek-aspek lainnya di angka 2.22.
Hasil penelitian selengkapnya klik di sini
Gambar ilustrasi: Warta Kota