Menikah adalah impian hampir setiap orang, sebab fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan adalah hidup berpasang-pasangan melalui jalan pernikahan. Hanya saja, terkadang beberapa orang tidak tahu kapan sebaiknya ia menikah, sehingga ada yang menundanya dengan berbagai alasan.
Hukum dasar menikah adalah Sunnah. Namun, pada situasi tertentu, syariat mewajibkan seseorang untuk segera menikah. Ahmad Zarkasih dalam Nikah Sebaiknya Kapan? (2019: 24-26) menjelaskan bahwa pendapat kebanyakan ulama, bahwa nikah hukumnya menjadi wajib jika ia adalah orang yang “bersyahwat tinggi” yang sulit dicegah.
Seseorang yang berada pada kondisi dan status yang jalan fahisy (perzinahan) terbuka atau bisa dibuka dengan apa yang ia punya dari jalan atau juga harta.
Dalam bahasa Arab, sering disebut dengan istilah Tauqan. Itu adalah istilah yang dipakai oleh kebanyakan orang Arab untuk menunjukkan keinginan yang besar dan memuncak. Dalam hal ini tentu keinginan atau syahwat yang tinggi terhadap lawan jenis.
Selain itu, juga sangat dikhawatirkan akan jatuh kepada keharaman lain, seperti istimna’ (onani), atau juga keharaman yang bahaya, yakni perzinahan. Jika tidak menikahnya justru membuatnya jatuh pada keharaman, maka menikah menjadi wajib, sebagai bentuk penjagaan diri dari keharaman.
Pandangan Ulama 4 Madzhab
Imam Al-Kasani dari kalangan al-Hanafiyah dalam Bada’i al-Shana’i (2/228)menyebut:
لَاخِلَافَ أَنَّ النِّكَاحَ فَرْضٌ حَالَةَ التَّوْقَانِ
Tidak ada perdebatan di antara ualam bahwa nikah hukumnya menjadi wajib jika dalam keadaan tauqan (orang bersyahwat tinggi).
Imam al-Dardir dari kalangan al-Malikiyah dalam kitabnya al-Syarhu al-Kabir (2/214) juga menyebut hal yang sama tentang kewajiban menikah.
فَالرَّاغِبُ إنْ خَشِيَ عَلَى نَفْسِهِ الزِّنَا وَجَبَ عَلَيْهِ
Orang yang bersyahwat dan khawatir dengan besar syahwat ia jatuh kepada perzinahan, maka wajib baginya menikah.
Dalam kitabnya berjudul Nihayah al-Muhtaj (6/181), Imam Shihabuddin al-Ramli dari kalangan al-Syafi’iyya juga menyebut bahwa kewajiban menikah bagi mereka yang khawatir jatuh kepada perzinahan.
نَعَمْ لَوْ خَافَ الْعَنَتَ وَتَعَيَّنَ طَرِيْقًا لِدَفْعِهِ مَعَ قُدْرَتِهِ وَجَبَ
Ya. Jika memang ia takut akan (jatuh) kepada ‘anat (misal: perzinahan), dan nikah adalah jalan untuk mencegah itu, dibarengi kemampuannya membiayai nikahnya, maka wajib baginya nikah.
Dari kalangan al-Hanabilah juga sama, Imam al-Mardawi dalam kitabnya al-Inshaf (8/9) mengatakan hal yang sama:
مَنْ خَافَ الْعَنَتَ. فَالنِّكَاحُ فِي حَقِّ هَذَا: وَاجِبٌ. قَوْلًا وَاحِدًا
Siapa yang khawatir dirinya jatuh kepada ‘anat (perzinahan), maka nikah bagi dirinya adalah kewajiban. Dan inilah pendapat satu-satunya. (MZN)