Judul : Generasi Terakhir: Aktivisme Dunia Muslim Mencegah Perubahan Iklim dan
Kepunahan Lingkungan
Penulis : Fachruddin M. Mangunjaya
Penerbit : LP3ES
Terbit : Pertama, Juni, 2021
Dimensi : 15,5 x 23 cm; xxii + 234 halaman
ISBN : 978-602-7984-68-4
Kehidupan di muka bumi dengan seluk-beluknya, menghamparkan sebuah tantangan bagi umat manusia. Lewat tantangan tersebut agaknya harus dipahami sebagai bagian dari proses umat manusia dalam memaknai hakikat hidup ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, satu tantangan itu adalah terkait perubahan iklim. Hal itu bukanlah isu semata di kalangan publik, melainkan dari itu sebagai sebuah kenyataan yang mesti direnungi. Selain itu, dipikirkan secara mendalam akan bagaimana dampak panjang terjadi ketika tak ada upaya untuk melakukan pencegahan maupun kemauan untu bersiap dalam adaptasi.
Secara mendalam, buku ini ditulis oleh Fachruddin M. Mangunjaya dalam konteks bagaimana umat Islam perlu mewacanakan lebih dalam akan relasi keberadaan agama dengan perubahan iklim dalam jangkauan secara luas. Tak lain adalah merekonstruksi pada aspek kehidupan dilakukan manusia berhubungan dengan sains dan teknologi.
“Sains dan teknologi yang tidak berbasis agama bisa menimbulkan perilaku hedonis, hanya mencari kepuasan materi yang tidak berkesudahan, tidak lagi memikirkan dampak, melanggar etika kepantasan dan empati kemanusiaan,” demikian tulis Mangunjaya (hlm. 1-2).
Ia mengetengahkan, Islam sebagai agama perlu dihadirkan dengan keberadaan umatnya atas relasi terhadap ilmu pengetahuan. Baik terkait dengan pembangunan, etika, gaya hidup, ekologi, dan iklim itu sendiri. Ia menyebut (hlm. 58), “Islam memiliki konsep paling penting tentang alam. Sebagai muslim, kita harus mengakui bahwa langit, bumi dan segala yang ada di dalamnya adalah ciptaan Allah SWT, sebagai sebuah akidah yang harus diyakini.”
Manusia dalam menjalankan kehidupan memikul tanggung jawab terhadap berbagai dimensi kehidupan, salah satunya adalah alam semesta. Kita membaca karya Ziauddin Sardar, Sains, Teknologi dan Pembangunan di Dunia Islam (Penerbit Pustaka, 1989). Di sana ia menulis akan makna keseimbangan dalam kehidupan sebagai sebuah sikap mental.
Kita simak penjelasannya: “Ia memiliki pengertian yang dinamis dari sikap yang tidak berlebih-lebihan; ia tak berusaha untuk mendominasi maupun didominasi oleh alam, tak berusaha untuk menolak maupun diperbudak teknologi dan tak berusaha untuk menjadi sangat meterialistis maupun sangat memantangkan nafsu dunia.”
Kemudian, Mangunjaya membentangkan konsep maupun ajaran dalam Islam untuk pendekatan terhadap lingkungan, masing-masing: Tauhid, Khalifah, Mizan, dan Fitrah. “Prinsip-prinsip ini adalah tema-tema dalam Al-Qur’an yang dapat ditelusuri untuk meningkatkan kesadaran dan mendidik masyarakat tentang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan” (hlm. 10).
Tiap manusia tentu ketika memahami dan merenungkan secara mendalam, pada tindakan maupun aktivitasnya dalam kehidupan akan terus teringat pada nilai-nilai agama dan ilmu pengetahuan.
Dalam catatan sejarah, interaksi dunia terhadap krisis iklim setidaknya tercatat pada kurun 1980-an. Kita mendapatkan penjelasan lewat esai Daniel Mudiyarso, Perubahan Iklim: Dari Obrolan Warung Kopi ke Meja Perundingan, di Majalah Prisma Vol. 29, No. 2, April 2010.
Di mana tak terlepas akan keberadaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) yang lebih dikenal dengan United Nation Conference on Enviroment and Development (UNCED) di Rio de Janerio, Brasil pada Juni tahun 1992.
Salah satu kesepakatan dihasilkan adalah keberadaan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC), atau Konvensi Kerangka PBB tntang Perubahan Iklim, kemudian muncul lembaga sebagai pengambil keputusan tertinggi berupa Konferensi Para Pihak (Conference of Parties/COP) sebagai perhelatan tahunan lebh dari 170 anggota negara UNFCC.
COP melalui Subsisiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) dapat memberi mandat Panel Antarpemerintah tentang perubahanIklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/ IPCC) untuk melakukan kajian khusus.
Kita mendapati penjelasan akan kinerja IPCC dalam esai itu sebagaimana berikut: “Namun demikian, segala bentuk kajian yang dihasilkan IPCC tidak bersifat preskriptif atau wajib diikuti anggota COP, meskipun sangat relevan dengan kebijakan anggota COP. Sejak akhur 1980-an IPCC telah melakukan kajian ilmiah secara teratur. Laporan pengkajian Pertama diterbitkan pada 1990, disusul yang kedua (1995), ketiga (2001), dan keempat (2007).”
Di Islam sendiri, tercatat pada tahun pada bulan Agustus, 2015 memberikan respons terhadap perubahan iklim dengan menyelenggarakan Islamic Symposium on Climate Change dengan menghasilkan Deklarasi Islam untuk Perubahan Iklim Global.
“Deklarasi ini merupakan sebuah contoh aplikatif yang menggambarkan para cendekiawan Muslim memberikan perhatian dan memberikan arah atau tanggapan yang positif terhadap krisis lingkungan,” kata Mangunjaya (hlm. 74).
Itu tentu saja menjadi bagian andil kalangan umat Islam akan panggilan terhadap isu yang melingkupi dunia secara keseluruhan. Khusus untuk kaum muslim bagaimana lewat deklarasi itu kemudian menjadi sebuah landasan bergerak setidaknya dalam upaya memperlambat laju, melakukan mitigasi, serta melakukan adaptasi.
Sebab, harus dipahami keberadaan krisis iklim bisa berlangsung secara masif dan global. Itu bukan proses secara linier, namun melainkan bertahap dan memungkinkan tiap komunitas dalam manusia memiliki andil maupun perannya tersendiri.
Beberapa tindakan maupun aksi sebagai langkah praksis atas deklarasi di atas adalah bagaimana memperlakukan ruang maupun aktivitas dengan berlandaskan wawasan keberlanjutan lingkungan hidup. Masing-masing adalah: Ekopesantren, Ekomasjid, Haji Ramah Lingkungan (Green Haji), Hemat Air, Pilih Maskapai Hijau, Pilih Hotel yang Peduli, Gunakan Tumbler/ Botol Daur Ulang, Hindari Kantong Plastik, Beli Lokal, Bergabung dalam Aksi, Keuangan Islam, hingga Kota Hijau Berkelanjutan.
Berbagai upaya itu tak lain adalah bagaimana pendekatan tindakan umat Islam sebagai pengejawantahan dari nilai agama yaitu berupa etika. “Manusia mesti tawadhu, bersikap adil dan berbuat baik untuk semua yang hadir di planet bumi,” sebut Mangunjaya (hlm. 185).
Kesadaran untuk terus mengelaborasikan antara Islam dan ilmu pengetahuan terus perlu dilakukan agar semuanya mengerti bahwa baik itu Islam maupun ilmu pengetahuan sama-sama bertanggung jawab dalam menghadapi permasalahan akan krisis iklim itu.[]