Krisis ekologi yang terjadi akhir-akhir ini tidak bisa dilepaskan dari peran manusia sebagai bagian dari spesies yang sama-sama hidup di alam semesta. Salah satu media yang menjelaskan hubungan antara manusia dan makhluk lain adalah agama.
Keterkaitan dan pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam semesta, pada dasarnya, sudah ada dalam banyak tradisi keagamaan seperti dalam agama-agama abrahamik, agama-agama rakyat Tiongkok, maupun agama-agama leluhur. Menurut Rappaport (1967), ritual keagamaan tidak hanya tentang hubungan antarunit sosial atau simbol yang mengikat unit sosial dan lingkungannya, tapi juga mengakomodasi kepentingan spesies lain.
Bauman, Bohannon, dan O’Brien dalam “Ecology: What Is It, Who Gets to Decide, and Why Does It Matter?” (2017) membagi respons agama terhadap ekologi menjadi tiga pendekatan. Pertama, menemukan kembali ajaran tradisi (recovering religious truth).
Misalnya, mengutip DeWitt (2010), dia menyatakan bahwa salah satu ajaran keagamaan yang mendukung usaha-usaha konservasi termaktub dalam Genesis bab kedua yang menyatakan bahwa manusia diperintahkan untuk “menjaga” taman Tuhan.
Ini menunjukkan bahwa manusia telah ditempatkan oleh Tuhan ke dalam hubungan dengan semua makhluk lain untuk saling melayani satu sama lain di dunia secara keseluruhan.
Kedua, menafsirkan ulang kembali tradisi (reforming religious tradition). Tradisi tersebut berupaya untuk merespons ekologi dengan mereformasi ajaran-ajaran yang sudah ada. Contoh-contohnya adalah Laudato Si’ di dalam ajaran Katolik, Eco-Lutheran di dalam ajaran Lutheran, Eco-Kosher dalam tradisi Yahudi, dan Eco-halal dalam tradisi Islam.
Terakhir, respons agama terhadap ekologi yang cukup radikal adalah dengan mengganti tradisi yang sudah ada dengan tradisi baru (replacing religious practices)—tidak hanya me-recovery atau me-reform. Misalnya adalah kelompok-kelompok dark green religion, religious naturalist, dan environmentalism yang merupakan mazhab baru berbasis alam yang menekankan keterkaitan dengan alam dan rasa saling menghormati dengan seluruh kehidupan.
Ammar dalam “Islam and Deep Ecology” (2001) menyatakan bahwa Islam mendalilkan bahwa Tuhan memiliki semua alam semesta (al-Mulk lillah). Dualitas antara Pencipta (creator) dan ciptaan (created) atau Khalik dan makhluk menjadikan manusia dan makhluk lain seperti alam, hewan dan tumbuhan berada dalam satu kesatuan kelas bernama ciptaan Tuhan.
Berkenaan dengan ini, Ammar mengutip Muhammad yang bersabda, “Semua makhluk adalah tanggungan Tuhan dan yang paling dicintai Tuhan di antara mereka adalah yang berbuat baik pada tanggungan Tuhan.”
Yang dimaksud “tanggungan” adalah semua makhluk—yang meskipun beragam tapi tetap mempunyai kesamaan karakteristik tertentu. Penjelasan tersebut tertulis dalam teks suci Islam, Qur’an. Pertama, semua ciptaan adalah cerminan dari kesucian, kemuliaan, dan kuasa Tuhan (11: 115).
Kedua, ciptaan Tuhan tersebut teratur, memiliki tujuan, dan ada dengan fungsi (15: 19, 59: 49). Ketiga, kategori ciptaan semuanya diaktualisasikan untuk menyembah dan menaati Tuhan (22: 18). Keempat, semua makhluk diciptakan dari elemen yang sama, air (24: 45). Kelima, kesatuan ciptaan Tuhan juga dapat dikategorikan sebagai sebuah struktur sosial (6: 38).
Oleh karena itu, manusia dan alam semesta (ciptaan lainnya) mencerminkan kekerabatan dan rasa saling hormat di antara keduanya.
Salah satu firman Tuhan di dalam Islam berbunyi, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (30: 41).
Ayat tersebut mengindikasikan bahwa manusialah yang paling bertanggungjawab atas kerusakan ekologi yang terjadi di bumi karena tangan manusia sendiri. Menurut Mekar (2008) sebagaimana dikutip oleh Northcott, di dalam Islam, manusia adalah khalifah Tuhan atau wakil tertinggi (supreme representative).
Sebagai khalifah, manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga bumi agar kebahagiaan hidup dan lingkungannya tetap terjaga dan bermanfaat bagi generasi penerus selanjutnya. Sehingga, setiap orang memiliki peran untuk menjaganya.
Senada dengan itu, Ammar juga menyatakan bahwa khalifah adalah manajer, bukan pemilik—penjaga untuk semua generasi (2:22). Manusia diberi tanggung jawab untuk mengelola bumi karena memiliki sifat-sifat khusus, bukan karena memiliki sifat yang lebih baik.
Mengutip Izzi Dien (1992), kualitas-kualitas khusus tersebut mencakup kemampuan mereka untuk berbicara dan mengetahui nama-nama ciptaan (2:31), kemauan mandiri untuk mengetahui yang baik dari yang jahat, dan kemampuan mereka untuk mencegah kejahatan (91: 7–8). Selain itu, Tuhan menemukan bahwa hanya manusia yang setuju untuk mengambil tanggung jawab tersebut (33:72).
Untuk alasan ini, alam semesta kemudian diberikan kepada manusia sebagai “ammanah” (trust) yang manusia terima ketika memberikan kesaksian tentang Tuhan dalam perjanjian Tauhid (Ammar, 2001, h. 198).
Lebih jauh, Bagir dan Martiam (2017) menyatakan bahwa hubungan Islam dengan isu kontemporer seperti ekologi membuat peran syari’ah sebagai hukum dan etika menjadi signifikan. Syari’ah telah diterapkan dalam banyak pemahaman, yang paling sempit adalah fatwa, kemudian fiqh, hingga metodologi pengambilan keputusan etis.
Terkait dengan masalah lingkungan, syari’ah memiliki fungsi yang berbeda, bukan semata dimaknai sebagai hukum yang dapat ditegakkan, tetapi juga sebagai alat retorik dan strategi untuk mengadvokasi “eco-justice” (keadilan lingkungan).
Dalam wacana progresif hari ini, konsep maqasid (tujuan) syari’ah, yang didefinisikan sebagai kepentingan umum (public interest atau maslaha) sebagai salah satu prinsip utamanya, telah memainkan peran sentral sebagai kerangka hukum/etika. Kepedulian ekologis telah diberi keutamaan hukum yang menjadikannya tujuan inti dari hukum (maqasid).