Menurut Gade (2015) sebagaimana disadur oleh Bagir dan Martiam (2017), di Indonesia, nalar publik hukum Islam dan hukum lingkungan memainkan peran penting. Yaitu sebagai mesin perubahan sosial untuk menghadapi krisis ekologi.
Menghadapi wacana ekologi tersebut, beberapa ormas Islam memberikan responsnya. Di antara ormas Islam yang memberikan respons tersebut adalah Muhammadiyah, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Nahdlatul Ulama (NU).
Pada tahun 2008, Muhammadiyah melalui Majelis Lingkungan Hidup bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup menerbitkan buku Teologi Lingkungan: Etika Pengelolaan Lingkungan dalam Perspektif Islam. Buku tersebut ingin menegaskan bahwa Islam adalah agama yang eco-friendly.
Sementara itu, MUI memilih mengeluarkan fatwa yang secara spesifik membahas pengelolaan sampah dan upaya mencegah krisis ekologi. Fatwa tersebut tertuang dalam Nomor 41 Tahun 2014 fatwa tentang Pengelolaan Sampah untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan. Fatwa tersebut menelurkan ketentuan hukum sebagai berikut.
Pertama, setiap Muslim wajib menjaga kebersihan lingkungan, memanfaatkan barang-barang gunaan untuk kemaslahatan serta menghindarkan diri dari berbagai penyakit serta perbuatan tabdzir dan israf.
Kedua, membuang sampah sembarangan dan/atau membuang barang yang masih bisa dimanfaatkan untuk kepentingan diri maupun orang lain hukumnya haram. Ketiga, pemerintah dan Pengusaha wajib mengelola sampah guna menghindari kemudharatan bagi makhluk hidup.
Keempat, mendaur ulang sampah menjadi barang yang berguna bagi peningkatan kesejahteraan umat hukumnya wajib kifayah. Sejurus dengan MUI, NU melalui Lembaga Bahtsul Masail (LBM) dan Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan Fiqih Penanggulangan Sampah Plastik pada tahun 2019.
Buku tersebut berisi permasalahan sampah plastik di Indonesia, penanggulangan sampah plastik perspektif Islam, serta peran NU dalam penanggulangan sampah plastik.
Upaya lebih jauh untuk membangun kultur konservasi dalam menghadapi krisis ekologi adalah melibatkan para pemuka agama dan umat. Khotbah Jumat dapat menjadi salah satu sarana para imam untuk membawa isu ekologi ke dalam diskusi keagamaan. Dengan begitu, imam dan ummat dapat bersama-sama membangun kepedulian ekologis.
Praktik keterlibatan para pemimpin keagamaan Islam dan konservasi melalui khotbah Jumat sejatinya pernah dilakukan di Trengganu, Malaysia, dalam usaha untuk mengkonservasi penyu belimbing.
Dalam jurnal berjudul “Buddhist Rituals, Mosque Sermons, and Marine Turtles: Religion, Ecology, and the Conservation of a Dinosaur in West Malaysia” (2007), Nortchott menceritakan bagaimana salah satu NGO yang fokus terhadap isu lingkungan melibatkan pemuka agama dalam proses konservasi.
Pertama, NGO memberikan edukasi kepada para imam Masjid melalui kegiatan semacam pelatihan. Pelatihan tersebut juga mendengarkan feedback dari para imam baik secara lisan maupun tulisan. Setelah mendapat pelatihan, imam-imam tersebut pun kemudian memberikan khotbah di Masjid.
Dalam salah satu khotbahnya, seorang imam menutup khotbahnya dengan tiga pernyataan yaitu, manusia bertanggungjawab untuk menjaga lingkungan karena alam adalah anugerah yang tak ternilai dari Tuhan. Lalu, bencana lingkungan disebabkan oleh tindakan oknum manusia sendiri yang tidak bertanggung jawab. Dan terakhir, Muslim harus menghargai dan menjaga setiap pemberian Tuhan termasuk alam, dan bukan justru merusak dan mencemarinya.
Pada tahap akhir, penelitian tersebut menunjukkan bahwa ada kesadaran tinggi untuk berpartisipasi dalam konservasi penyu belimbing melalui keterlibatan para imam yang berkhotbah di Masjid. Mereka yang mendengarkan khotbah juga mengindikasikan adanya dukungan terhadap upaya konservasi melalui alokasi dana tertentu.
Penelitian ini membantu menjelaskan bahwa keterlibatan para pemuka agama dapat menjadi salah satu solusi krisis ekologi yang sedang dihadapi bersama oleh manusia.
Jadi, Islam pada dasarnya mempunyai fondasi teologi, hukum, dan etika yang sejalan seirama dengan upaya konservasi dalam menghadapi krisis lingkungan. Di level kultur, Islam juga mempunyai potensi yang signifikan untuk mengupayakan kepedulian ekologis.
Misalnya, melibatkan para imam untuk mengedukasi ummat tentang pentingnya konservasi melalui khotbah di Masjid. Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan agama mampu menjadi salah satu strategi menghadapi isu-isu ekologi.